Sabtu, 05 Desember 2020

KRIMINOLOGI

Menurut anda, apakah perbuatan Robin Hood merupakan kejahatan? 

           Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Dari definisi tersebut perbuatan Robin Hood tersebut merupakan kejahatan, meskipun pada masanya masyarakat menggapnya sebagai pahlawan. Karena bias saja orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataannya adalah pelaku kejahatan.

Apakah ia seorang penjahat ?

        Kesulitan hukum di Indonesia untuk mendefinisikan secara yuridis siapa itu penjahat adalah tidak adanya satu pasal pun yang memuat pengertian tentang penjahat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun terdapat beberapa klasifikasi terhadap penjahat yang dapat kita gunakan sebagai pendekatan untuk memahami apa dan siapa penjahat.

Mayhew dan Moreau mengajukan tipologi kejahatan berdasarkan cara kejahatan yang dihubungkan dengan kegiatan penjahat, yaitu penjahat profesional yang menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan kriminal dan penjahat aksidental yang melakukan kejahatan sebagai akibat situasi dan kondisi lingkungan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Sedangkan Lindesmith dan Dunham membagi penjahat atas penjahat individual yang bekerja atas alasan pribadi tanpa dukungan budaya dan penjahat sosial yang didukung norma-norma kelompok tertentu dan dengan kejahatan memperoleh status dan penghargaan dari kelompoknya.

Dalam pembahasan mengenai definisi penjahat di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa seorang Robin Hood merupakan penjahat, karena walaupun demi kebaikan cara yang dilakukannya tetap salah. Walaupun Robin Hood dipandang sebagai tokoh pahlawan bagi rakyat Inggris. Kan tetapu disini yang terpenting bukanlah pemberian capnya, tetapi lebih pada bagaimana kita memahami masalah agar evaluasi terhadap kecacatan hukum di Indonesia segera tuntas.

Jelaskan bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan yang dilakukan oleh media dan sistem peradilan pidana!

Viktimisasi sekunder adalah pengulangan viktimisasi yang lebih cenderung terjadi karena perlakuan dan penanganan terhadap korban yang tidak sesuai oleh aparat hukum, seperti polisi, pelayanan untuk pendamping hukum, dan persidangan.

Bentuk viktimisasi sekunder (system peradilan pidana) : intimidasi dan pengabaian laporan oleh apparat penegak hukum, kebijakan diskriminatif, penyiksaan atau pelecehan oleh aparat dan bentuk kekerasan lain, dampak yang ditimbulkan adalah bahwa pada akhirnya banyak korban yang menutup mulut karena penanganan korban baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi untuk kasus kekerasan terhadap perempuan belum lah terbangun degan baik sehingga menyebabakan korban menjadi krisis kepercayaan terhadap Lembaga Hukum.

Bentuk viktimisasi sekunder (media) : pencantuman identitas lengkap korban perempuan yang mencakup nama lengkap, ras, agama, nama keluarga dan alamat lengkap korban perempuan. Kedua, eksploitasi foto korban dan dokumentasi keadaan korban saat ditemukan. Eksploitasi foto korban ini mencakup bagaimana pemberitaan menyertakan foto korban kejahatan dengan keadaan yang mengenaskan, penggunaan kata-kata yang berbeda dengan berita yang korbannya adalah laki-laki. Pemberitaan cenderung menggunakan kata-kata sifat tertentu yang berubungan dengan fisik, psikis dari korban perempuan, adanya kemungkinan korban perempuan mengalami victim blaming (pesan tersirat bahwa itu merupakan kesalahan korban) atas kejahatan yang menimpanya, objektifikasi pemberitaan terhadap perempuan yang mengeksploitasi semua aspek kehidupan korban, dengan contoh media memberikan informasi menarik yang jauh lebih menjual dibandingkan berita kejahatan itu sendiri. Sedangkan substansi kejahatan jauh lebih penting untuk dibahas dan hak korban lebih penting untuk dilindungi daripada diberitakan secara besar-besaran. Dan terakhir adalah pemberitaan terhadap korban perempuan mengandung stereotype. Stereotype ini muncul karena adanya padangan patriarki yang bersarang kuat di dalam badan industri surat kabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar