Sabtu, 05 Desember 2020

MAKALAH WHITE COLLAR CRIME DAN PENCEGAHANNYA

 

MAKALAH

WHITE COLLAR CRIME

DAN PENCEGAHANNYA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

DADING JAYAHADIKUSUMA

NIM : 041036339

 

 

 

PROGRAM ILMU HUKUM (S1)

UNIVERSITAS TERBUKA

UPBJJ FAKFAK

2020


DAFTAR ISI

 

Halaman

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................       i

DAFTAR ISI ..................................................................................................      ii

 

1.    PENDAHULUAN .....................................................................................       1

A.      LATAR BELAKANG MASALAH .................................................      3

B.       RUMUSAN MASALAH ...................................................................      4

 

2.    PEMBAHASAN........................................................................................      4

A.       Perkembangan White Collar Crime di Indonesia saat ini ..............      4

B.       Upaya Pencegahan White Collar Crime............................................      9

 

C.  PENUTUP .................................................................................................      12

A.    SIMPULAN .........................................................................................      12

B.     SARAN ................................................................................................      12

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 


1.    PENDAHULUAN

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah mehras dalam maq,arakat. Perkembangannya terus meninglat dari tahun ke tahrm, baik dari jumlah kasus yang tet'adi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilalrukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.[1]

Kejahatan kerah putih atau white collar crime merupakan suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki posisi dan wewenang cukup tinggi pada sektor pemerintahan maupun sektor swasta, sehingga dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan. Bicara mengenai white collar crime memang cukup luas ranah pembahasannya, dimana terkadang terjadi beberapa pendapat ahli yang berbeda terkait scope dari masing-masing kejahatan apakah bisa diklasifikasikan sebagai white collar crime atau bukan. Menurut Edwin H. Sutherland, white collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang sangat terhormat dan berstatus social tinggi di dalam pekerjaannya. Tindakan kejahatan ini dapat terjadi di dalam perusahaan, kalangan professional, perdagangan maupun kehidupan politik.

Dalam memahami white collar crime, diperlukan pengetahuan terkait tipologi pelaku kejahatan tersebut. Sebab, definisi terkait suatu tindak kejahatan dapat digolongkan ke dalam white collar crime atau tidak dapat dilihat berdasarkan tipologi pelakunya. Tipologi pertama dilihat dari status social pelaku, apakah berasal dari status “terhormat” atau tidak. Status terhormat dalam hal ini merupakan suatu jabatan yang dimiliki pelaku dalam instansi, baik negera maupun swasta, yang ia miliki. Selanjutnya, tipologi yang dapat dilihat adalah tindak kejahatan yang dilakukan memerlukan keahlian di bidang komputerisasi atau tidak. Jika, iya, maka kejahatan yang dilakukan dapat digolongkan sebagai WCC dalam lingkup cyber crime. Terakhir, tindak kejahatan yang dilakukan pelaku bertujuan untuk menguntungkan individu atau kelompok. Melalui ini, dapat dilihat pola seleksi dan penggolongan dari kasus white collar crime yang terjadi. Tipologi pelaku white collar crime dapat dilihat melalui gambar bagan berikut.

White collar crime ini pada umumnya terjadi pada negara-negara yang belum memiliki hukum korporat yang matang. Sehingga para pelaku dapat dengan mudah melakukan aksinya tanpa ragu terkait hukuman yang mungkin mereka akan peroleh. Negara dengan kematangan hukum koorporat yang rendah ini banyak terdapat di wilayah Asia, khususnya pada negara-negara berkembang. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan juga bahwa pelaku white collar crime berasal dari negara-negara dengan ekonomi tinggi, seperti Jepang dan Cina misalnya. Jepang yang seringkali digambarkan sebagai salah satu negara maju di Asia dengan tingkat kejahatan rendah justru memiliki jumlah kasus white collar crime yang tidak sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan besar, kejahatan umum (street crime) di Jepang ternilai sangat rendah akibat dikalahkan oleh kuantitas kejahatan kerah putih dan korporat yang lebih tinggi dan samar terlihat. Sedangkan di China yang merupakan negara dengan ekonomi tertinggi di Asia, white collar crime lebih banyak dipengaruhi oleh faktor reformasi ekonomi yang berimplementasi pada ketidakstabilan kehidupan ekonomi-politik negara tersebut.

Kasus white collar crime banyak tersebar di berbagai negara di Asia seiring dengan tekanan yang dihasilkan dari kondisi ekonomi saat krisis. Krisis menyebabkan banyak barang yang dipasarkan melebihi dari kapasitas pembeli. Sehingga perputaran uang tidak dapat berjalan lancar. Di asia-pasific hal ini menyebabkan berkurangnya permintaan untuk berbagai area ekspor, khususnya tourism, manufaktur dan komoditas. Dengan ini, pendapatan pemerintah juga menurun drastis, terutama dari pekerja luar negeri. Di era krisis ini, korupsi kemudian menjadi salah satu fenomena yang marak berkembang. Terhambatnya arus perputaran uang di masa krisis menyebabkan banyaknya tawaran hutang luar negeri. Tawaran hutang luar negeri inilah yang banyak dimanfaatkan oleh pelaku white collar crime untuk menjalankan aksinya dengan berbagai bentuk modus kejahatan. Berbagai bentuk white collar crime yang umumnya terjadi di Asia antara lain seperti korupsi, penyuapan, penipuan, pencucian uang, penggunaan asset publik untuk kepentingan pribadi, penjualan gelap, dan penghindaran pajak.

 

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Tindak Pidana Korupsi dapat disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar crime) atau kejahatan berdasi. Para pelaku dari perbuatan white collar crime tersebut biasanya terdiri dari orang-orang terhormat, terpandang, berpendidikan tinggi atau orang-orang yang mempunyai kekuasaan atau uang, yang biasanya menampakkan dirinya sebagai orang baik-baik, bahkan di antara mereka yang dikenal sebagai dermawan, yang terdiri dari politikus, birokrat pemerintah, penegak hukum, serta masih banyak lagi. Tindak Pidana Korupsi selalu mendapatkan perhatian serius dibandingkan dengan Tindak Pidana lain karena termasuk merugikan keuangan Negara.

Menurut Munir Fuady suatu white collar crime dapat juga terjadi di sektor publik, yakni yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat pemerintah, sehingga sering disebut juga dengan kejahatan jabatan (occupational crime). White collar crime ini seperti banyak terjadi dalam bentuk korupsi dan penyuapan, sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik. Korupsi dan suap-menyuap yang terjadi di kalangan penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim adalah hal yang sangat gencar dibicarakan di mana-mana, di samping korupsi di kalangan anggota legislatif dan eksekutif. Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan para pelaku kejahatan jalanan (street crime, blue collar crime, blue jeans crime), perbuatan white collar crime ini jelas merupakan kejahatan kelas tinggi karena sama saja menjarah dana negara yang nilainya sangat besar. White collar crime ini sangat sulit untuk di ungkap sehingga perlu penanganan yang ekstra, khusus dan serius untuk ditangani.[2]

Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Korupsi telah menyelinap masuk dari berbagai penjuru dunia sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat. Korupsi mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya, diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan suatu pendekatan secara efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan Negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif.

  Hal yang sangat sulit untuk dipecahkan di berbagai Negara di Dunia termasuk juga di Indonesia adalah kejahatan korupsi. Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap

Kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hakhak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang penanganannya harus benar-benar didahulukan dari kejahatan biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimanakah perkembangan White Collar Crime di Indonesia saat ini?

2.    Bagaimanakah upaya pencegahannya?

 

2.    PEMBAHASAN

A.       Perkembangan White Collar Crime di Indonesia saat ini

Kejahatan korupsi kian berkembang bahkan merajalela hingga merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia karena tidak pernah diberantas secara sungguh-sungguh hingga tuntas oleh Pemerintah. Maraknya kasus-kasus korupsi dinegeri ini membuat gemas dan cemas masyarakat terhadap masa depan Negara kita. Korupsi telah menggerogoti kehidupan bangsa dan Negara Indonesia sejak kemerdekaannya diproklamirkan.

Selama ini korupsi terus terjadi dalam struktur kehidupan sosial manusia di sepanjang periode waktu. Korupsi telah dianggap memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia baik terhadap perekonomian masyarakat, maupun terhadap norma dan budaya masyarakat. Korupsi telah menjadi masalah di dalam sebuah negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dikarenakan dampaknya yang sangat luas terhadap kehidupan manusia, maka korupsi menjadi musuh bersama yang harus di berantas. Untuk memberantas korupsi, berbagai negara termasuk Indonesia telah membentuk lembaga pemberantas korupsi.

Di Indonesia saat ini korupsi masih marak terjadi bahkan bisa dikatakan sudah menjadi budaya bangsa dan korupsi patut di lestarikan. Jadi ini sangat terbukti dengan berjalannya waktu kasus korupsi sangat fantastis dan merajalela. Banyaknya surat pengaduan kasus korupsi yang masuk, KPK telah menyusun peringkat ke 10 propinsi terkorup di Indonesia. Akibat banyaknya korupsi yang terjadi di Indonesia maka masyarakat bisa terganggu.

Semakin besar kekuasaan dan kewenangan seseorang, semakin besar pula peluang melakukan korupsi. Bedanya, terletak pada pelaku-pelaku korupsi. Dalam rezim otoriter, berkembang secara luas korupsi birokrasi (beaurocrazy corruption) yang dilakukan oleh birokrat sipil dan militer. Militerisme menyebarkan benih korupsi.penguasa kroni merupakan jaringan patronase korupsi. Itulah sebaliknya, skala dan volume korupsi dalam rezim otoriter orde baru demikian besar dan mengakar. Sebaliknya, dalam rezim demokratis, pelaku korupsi didominasi oleh aktor-aktor politik (politicien corruption).[3]

Selama ini korupsi terus terjadi dalam struktur kehidupan sosial manusia di sepanjang periode waktu. Korupsi telah dianggap memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia baik terhadap perekonomian masyarakat, maupun terhadap norma dan budaya masyarakat. Korupsi telah menjadi masalah di dalam sebuah negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dikarenakan dampaknya yang sangat luas terhadap kehidupan manusia, maka korupsi menjadi musuh bersama yang harus di berantas. Untuk memberantas korupsi, berbagai negara termasuk Indonesia telah membentuk lembaga pemberantas korupsi.

Selama ini korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang cukup serius. Hal ini di tunjukkan melalui peringkat korupsi Indonesia masih tergolong tertinggi di bandungkan negara ainnya. Kebocoran dan disalokasi anggaran di berbagai sektor pemerintahan menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, dalam keberhasilan pemberantasan korupsi sangat di perlukan kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pemberantasan koruupsi secara maksimal. Pemberantasan korupsi sangat di perlukan karena korupsi memiliki dampak yang sangat buruk dalam kehidupam berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan sosial masyarakat yang terkena dampaknya.

Pemahaman oleh masyarakat terhadap berbagai macam dampak korupsi terhadap kehidupan manusia di haraapkan dapat menciptakan norma dan budaya anti korupsi dalam masyarakat Indonesia khususnya. Penolakan masyarakat terhadap korupsi yang terjadi dalam suatu negara mampu meningkatkan tingkat deteksi terhadap korupsi. Sebaliknya pembiaran atau penerimaan masyarakat terhadap korupsi akan membuat korupsi semakin merajalela dan menjadi pola-pola perilaku yang sangat merugikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penolakan masyarakat terhadap koruptor dan perbuatan korupsi menyebabkan sanksi sosial terhadap korupsi menjadi tinggi, sehingga mengurangi niat koruptor untuk melakukan korupsi.

Jadi dikalangan masyarakat, korupsi merupakan salah satu dampak yang sangat merugikan terhadap masyarakat berbangsa dan bernegara. Tingkat korupsi di Indonesia dapat di kategorikan masih tinggi seperti kasus berikut yang baru-baru ini terjadi ditengah wabah Covid-19: DPRD Beberkan Temuan Dugaan Markup Bansos Kota Serang Rp 1,9 M.[4]

Serang - Anggaran bansos berupa jaring pengaman sosial (JPS) untuk warga terdampak COVID-19 di Kota Serang diduga ada markup Rp 1,9 miliar. Bantuan Rp 200 ribu per keluarga ini sempat jadi perbincangan karena berisi beras 10 kg, 2 sarden merek Sampit, dan 14 mi Top Ramen.

Anggota Komisi II DPRD Kota Serang Nur Agis Aulia mengatakan hasil rapat Dewan dengan Dinsos pada Selasa (12/5) menemukan ada ketidaksesuaian harga barang yang dibeli oleh penyedia. Hasilnya, ada Rp 1,9 miliar kelebihan pembayaran.


"Jadi sudah dikonfirmasi kita hitung betul komponennya berapa. Akhirnya Dinsos melakukan penghitungan kurang-lebih ada pengembalian Rp 1,9 miliar. Ini salah satu pengawasan dari kita bahwa ada ketidaksesuaian dari (harga) komoditas," kata Nur Agis di DPRD Kota Serang, Rabu (13/5/2020).


Persoalan kelebihan pembayaran ini sekarang menurutnya menjadi ranah Inspektorat.

 

Di tempat yang sama, Ketua Komisi II Pujianto menambahkan, temuan Rp 1,9 miliar merupakan di luar keuntungan pihak ketiga sebagai penyedia barang untuk bansos. Penyedia, menurutnya, mengambil keuntungan 13 persen di luar adanya kelebihan pembayaran.


"Kami siap mempertanggungjawabkan evaluasi dengan Dinsos," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Pujianto menyampaikan prosedur pengadaan bansos yang totalnya Rp 30 miliar ini sudah sesuai dengan aturan. Audit dilakukan inspektorat ke penyedia. DPRD menyampaikan temuan ini agar tidak ada polemik di tengah masyarakat.


"Kota Serang dalam menjalankan jaring pengaman sosial sudah sesuai dengan regulasi yang ada," ujarnya.


Total anggaran bansos untuk terdampak COVID-19 ini sejumlah Rp 30 miliar. Bansos dibagi sebanyak tiga kali untuk 50 ribu dengan pembagian Rp 200 ribu per keluarga. Bansos berupa beras 10 kilo, mi instan 14 bungkus, dan sarden.

 

Pola perilaku korupsi sepertinya telah merajalela di Indonesia. Tidak heran jika dalam kehidupan birokrasi, masyarakat seringkali di hadapkan oleh suap dan pungli dalam pelayanan publik yang telah menjadi rahasia umum di masyarakat. Hampir setiap hari penyajian berita pada media massa juga berkaitan dengan gratifiksi, penggelapan anggaran pemerintah, penyidikan dan pengenaan hukuman bagi para koruptor. 

Penegakan hukum yang betangung jawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, Bangsa dan Negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Memang proses penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedangkan sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses/ tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh penegak hukum dan masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.[5]

Dengan begitu, baik keluarga besar kampus, terutama mahasiswa, maupun pihak di luar kampus dapat mengontrol berjalannya sistem di dalam kampus yang transparan dan akuntabel, terutama dalam persoalan keuangan, penerimaan mahasiswa baru, rekrutmen dosen dan karyawan, serta persoalan lain yang sensitif di mata publik. Perguruan tinggi juga harus berani memasang poster, spanduk, baliho dan beragam alat peraga lain yang berisi tulisan “kampus bebas korupsi”, jika itu dilakukan, maka secara moril kampus memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar untuk terus berusaha “membersihkan diri” dari praktik korupsi. karena sampai sejauh ini, perguruan tinggi masih belum terjamah oleh isu-isu antikorupsi. Padahal, tidak ada jaminan bahwa perguruan tinggi terbebas dari praktik korupsi.

Memang harus disadari bahwa sanksi pidana yang tajam tidak menjamin dapat menurunkan dapat menurunkan perilaku yang koruptif dari masyarakat. tumbuh suburnya perilaku yang koruptif tersebut tidak datang dengan sendirinya, melainkan karena adanya berbagai fakta yang menstimulusnya, termasuk dorongan kalangan masyarakat sendiri yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak prosedural dan ingin serba instan dalam setiap interaksi terkait dengan kepentingan usahanya atau pribadinya. Perilaku kalangan masyarakat yang demikian itu, secara tidak sadar telah meluluhlantahkan integritas para petugas, penguasa atau pihak-pihak yang berwenang.[6]

B.       Upaya Pencegahan White Collar Crime

Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan di antaranya sebagai berikut:

1.      Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2.      Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang  Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

3.      Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001.

4.      Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5.      Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

6.      Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

7.      Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Disamping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.

 

Strategi preventif pemberantasan White Collar Crime, sebagai berikut :

1.      Strategi Preventif

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:

1)      Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;

2)      Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya;

3)      Membangun kode etik di sektor publik;

4)      Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi  Bisnis.

5)      Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.

6)      Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri;

7)      Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;

8)      Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;

9)      Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat;

10)  Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;

11)  Kerja sama menyeluruh dari semua sub-sistem hukum, yaitu: masyarakat, pemerintah dan penegak hukum;

12)  Meningkatkan kesadaran dari pribadi manusia itu sendiri, baik melalui etika dan agama; dan

13)  Memberikan kewenangan khusus pada Lembaga Penegakan Korupsi, sebagai lembaga khusus di Indonesia.

 

Pelaksanaan strategi preventif akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

 

 

 

 

 

 

3. PENUTUP

A.      SIMPULAN

1.    Kejahatan korupsi kian berkembang bahkan merajalela hingga merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia karena tidak pernah diberantas secara sungguh-sungguh hingga tuntas oleh Pemerintah.

2.    Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

 

B.       SARAN

1.    Pemerintah sebaiknya memperbaiki sistem agar menjadi lebih baik dan bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi misalnya transparansi penyelenggara negara dengan menerima laporan seperti  LHKPN;

2.    Edukasi dan kampanye sebagai strategi pembelajaran Pendidikan Antikorupsi dengan tujuan membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak masyarakat untuk terlibat dalam gerakan antikorupsi, serta membangun perilaku dan budaya antikorupsi;

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

I.          PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

II.       BUKU-BUKU

Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 2.

Dwi Saputra dkk (ed), Tiada Ruang Tanpa Korupsi, KP2KKN Jawa tengah, Semarang, 2004,hlm.27 dan 28.

 

O.C Kaligis, Deponeering Teori dan Praktik, Alumni, Bandung, hlm. 88.

Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, Pencegahan Serta Pemberantasannya, Refensi, Jakarta 2013, hlm. 155.

 

III.   INTERNET

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5013947/dprd-beberkan-temuan-dugaan-markup-bansos-kota-serang-rp-19-m

 

 

 

 

 

 

 



[1] Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

[2] Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 2.

[3] Dwi Saputra dkk (ed), Tiada Ruang Tanpa Korupsi, KP2KKN Jawa tengah, Semarang, 2004,hlm.27 dan 28

[4] https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5013947/dprd-beberkan-temuan-dugaan-markup-bansos-kota-serang-rp-19-m

[5] O.C Kaligis, Deponeering Teori dan Praktik, Alumni, Bandung, hlm 88

[6] Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, Pencegahan Serta Pemberantasannya, Refensi, Jakarta 2013, hlm 155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar