BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Tuhan telah menciptakan secara
berpasang-pasangan segala hal yang ada di dunia ini, ada laki-laki dan
perempuan agar merasa tentram, saling memberi kasih sayang dan terutama untuk
mendapatkan keturunan dari suatu ikatan suci yang dinamakan perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu hubungan yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram serta menimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya.
Indonesia
sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang
tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan lainya mengenai perkawinan.
Diharapkan
dengan adanya aturan hukum ini, persoalan perkawinan
yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positif juga berdasarkan hukum agama.
Jika ikatan antara suami istri
sedemikian kokoh dan kuat, maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan.
Setiap usaha untuk menyepelekannya dibenci oleh Islam, karena dianggap merusak
kebaikan dan menghilangkan kemasalahatan antara suami istri.
Nikah adalah salah satu asas pokok
hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pengertian perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut undang-undang
perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974,
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pengertian perkawinan menurut
undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1994 diatas, jelas bahwa tujuan
pekawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan
yang bahagia, itulah cita-cita dan idaman semua manusia baik laki-laki dan
perempuan di dunia. Namun kebahagian itu tidak bisa ditebak, kadang datang dan
pergi begitu saja tidak bisa diketahui oleh manusia.
Di
dalam Agama Islam juga ditegaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 44
yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Tetapi
dari sisi yang lain, suami istri itu tidak seayah dan seibu, belum tentu juga
sesuku dan sekampung. Perbedaan karakter dan pandangan hidup mungkin saja
terdapat pada suami istri. Tidak sekedar perbedaan, mungkin saja pertentangan
yang prinsipil. Selain itu jiwa manusia bisa berubah. Perbedaan pandangan hidup
dan perubahan hati bisa menimbulkan krisis merubah rasa cinta dan kasih sayang
menjadi benci. Tidak selamnya keimanan dan lapang dada dapat mempertahankan
hubungan suami istri bila timbul pertentangan yang sangat memuncak.
Permasalahannya, kalau suami istri yang berbeda prinsip hidupnya dan
pertentangannya sudah memuncak, telah merubah rasa cinta menjadi benci,
persesuaian menjadi pertikaian, yang tidak memungkinkan lagi untuk berpadu
menjadi satu, apakah tidak terlalu aniaya kalau keduanya dipaksa harus tetap
bersatu.
Hal
ini akan semakin bertambah parah, jika salah satu di antara mereka menjadi
murtad, secara otomatis disadari maupun tidak perjalanan hidup rumah tangga
tersebut tidak akan lagi terasa harmonis seperti dulu lagi di saat rasa cinta dan
kasih sayang masih terjaga dalam hati mereka berdua. Karena di antara mereka
berdua mempunyai keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak bisa di satukan
visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa
tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada bab II KHI, yaitu:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yan sakinah,
mawadah, dan rahmah”. Jadi di dalam kondisi seperti ini maka perceraian yang
akan menjadi obat bagi mereka berdua karena tidak ada jalan lain lagi untuk
mengatasi keadaan.
Dengan
melihat hal tersebut, bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama,
tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan
jalan terakhir (darurat) yang ditempuh oleh suami istri, yaitu apabila terjadi
persengketaan antara keduanya dan telah diusahakan jalan perdamaian sebelumnya,
tetapi tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga
tersebut.
Dalam
Islam bercerai pada dasarnya “terlarang” atau tidak diperbolehkan kecuali karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara‟. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanafi
dan Hambali, mereka beralasan
bahwa bercerai merupakan kufur nikmat, karena perkawinan
adalah suatu nikmat, sedangkan kufur terhadap nikmat Allah hukumnya haram, sehingga bercerai hukumnya adalah
haram kecuali darurat. Madzhab
Hambali lebih lanjut menjelaskannya secara
terperinci mengenai hukum bercerai. Menurut mereka bercerai itu hukumnya yaitu: wajib, haram, dan sunnah.
Dalam
undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 pasal
39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun
perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari
Pemerintah, namun demi menghindarkan
tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami
dan akan banyak terjadinya perceraian liar, juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran
Lembaga Pengadilan.
Berkaitan
dengan berbagai hal yang disebutkan di atas, yang
akan dibicarakan adalah mengenai perceraian suatu perkawinan karena murtad, khususnya pembahasan disini adalah mengenai putusan tentang perceraian karena
murtad dari Pengadilan Agama
Manokwari.
Dalam hal ini Pengadilan
Agama berfungsi sebagai tempat untuk menerima, memeriksa, menyidangkan dan
memberi putusan atas perkara tersebut. Namun kadang Hakim dari Pengadilan memiliki
pertimbangan tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa
harus sama persis sesuai dengan peraturan yang ada, karena hakim memang
mempunyai wewenang seperti itu.
Perceraian
yang dilakukan di muka sidang Pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan
pedoman Islam tentang perceraian. Sebab sebelum ada keputusan, terlebih dahulu
diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadinya
perceraian antara suami isrti, kecuali dimungkinkan Pengadilan bertindak sebagai
hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami istri. Dengan proses
Pengadilan yang mempersulit dan memperketat alasan-alasan perceraian, maka
perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan dapat juga memperkecil
jumlah perceraian. Di sisi lain, perceraian yang dilakukan dimuka sidang
Pengadilan sering dirasakan ada beberapa kendalanya, terutama dalam dua hal:
pembongkaran rahasia rumah tangga di muka orang banyak dan kelambatan proses
yang sering kali dirasakan sebagai memperpanjang suasana perselisihan.
Melihat
dari kasus tersebut, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi
tentang pengajuan gugat cerai ke Pengadilan Agama Manokwari. Kemudian mengenai
kasus tersebut sebagaimana dalam putusan Pengadilan Agama terhadap salah satu
pihak berpindah agama dan pada akhirnya akan dibahas mengenai putusan dari
Pengadilan Agama Manokwari atas pengajuan dari gugat cerai tersebut.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Dari
tema diatas, penulis memperinci permasalahan-permasalahan yang akan menjadi
inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai
berikut:
1.
Kewenangan dan dasar hukum apa yang dapat
digunakan oleh Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara gugat cerai dengan
alasan salah satu pihak berpindah agama?
2.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
perceraian karena salah satu pihak berpindah agama?
2.1.
TUJUAN PENULISAN
Adapun
hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui kewenangandan dasar hukum yang dapat
digunakan oleh Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara gugat cerai dengan
alasan salah satu pihak berpindah agama;
2. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian karena salah satu
pihak berpindah agama.
2.2.
MANFAAT PENELITIAN
Studi
yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis
maupun praktis antara lain:
1. Secara
Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan serta wawasan khususnya dalam masalah perdata di
lingkungan Peradilan Agama serta dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam
berbagai permasalahan khususnya dalam hal kewenangan Peradilan Agama dalam
perceraian karena salah satu pihak berpindah agama;
2. Secara Praktis
Penelitian ini kiranya dapat dijadikan bahan masukan bagi para
hakim dalam menjalankan tugasnya khusus di Pengadilan Agama Manokwari, serta
sebagai bahan acuan dan sumbangan pemikiran pada masyarakat khususnya dalam hal
kewenangan Peradilan Agama dalam perceraian karena salah satu pihak berpindah
agama.
2.3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum
empirik yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari wawancara penulis,
sedangkan sumber data sekunder yang penulis gunakan berasal dari bahan
kepustakaan seperti Putusan pada Kantor Pengadilan Agama Manokwari, peraturan
perundang-undangan, buku dan kamus.
2.4.
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis
yakni dengan cara wawancara dan studi pustaka.
2.5.
TAHAPAN PENELITIAN
Setelah
peneliti menentukan tema yang akan diteliti, maka penulis melakukan penelitian
pendahuluan ke Pengadilan Agama Manokwari dengan bertanya kepada panitera
tntang perkara perceraian, sidang kasus tentang perceraian di Pengadilan Agama
Manokwari secara praktik.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
PENGERTIAN PERKAWINAN
1.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, adalah karena Negara Indonesia
berdasarkan kepada Pancasila yang
sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
kerohanian, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga mempunyai unsur batin/rohani.
2.
Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan
adalah sunatullah berlaku bagi semua umat manusia guna melangsungkan hidupnya
dan untuk memperoleh keturunan, maka agama Isl3am sangat menganjurkan
perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan yang terdapat
dalam Al-Quran dan Hadist, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam,
bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan akad yang kuat/mitzaaqah
qhaliidhan untuk mentaati Perintah Allah SWT dan melakukannya merupakan ibadah.
Selain itu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rohmah.
2.2.
PUTUSNYA PERKAWINAN
1.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Mengenai
putusnya perkawinan serta akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan 41
Undang-Undang No.1 tahun 1974, yang di sebabkan beberapa hal, yaitu :
a. Karena Kematian.
Yang
dimaksud dengan kematian adalah meninggalnya salah satu pihak (suami atau
istri) yang menyebabkan putusnya/berakhirnya perkawinan. Apabila terdapat
halangan maka istri atau suami yang di tinggal mati berhak mewaris atas harta
peninggalan atau sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan keperluan
penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai pemakaman, kemudian untuk
melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya.
Mengenai
putusnya perkawinan tidak diatur dalam Undang-Undang No.1Tahun 1974 atau
Undang-Undang lain, tetapi hanya menyangkut harta peninggalanatau harta warisan
dari pasangan perkawinan yang meninggal, karena hal itu diaturdalam hukum
waris.
b. Karena Perceraian
Mengenai
perceraian, oleh peraturan perundang-undangan diatur secara mendetail dalam
Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dan Peraturan pelaksanaannya, yaitu
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, Menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu menyatakan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Mengenai
alasan-alasan perceraian dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 sebagai berikut: “Untuk melakukan perceraian harus ada alasan cukup,
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”.
Dalam
Pasal tersebut termasuk alasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 9
Tahun 1975, jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 39
ayat (2) Undang-Undan g Perkawinan No. 1 tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan
pemerintah No. 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan
walaupun alasan tersebut terpenuhi, akan tetapi masih mungkin antara suami
istri untuk hidup rukun kembali, maka perceraian tidak dapat dilakukan.
c. Atas Putusan Pengadilan
Pasal
38 butir (c) UU Perkawinan yaitu atas Putusan Pengadilan berbeda dengan
keputusan pengadilan dalam rangka perceraian. Putusnya perkawinan dimaksud
yaitu tanpa adanya permohonan pembatalan atau gugat cerai dari pihak suami
istri atau keluarganya atau yang diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28
UU Perkawinan, sedangkan menurut Pasal 23 UU Perkawinan permohonan pembatalan
perkawinan ini di samping dapat diajukan oleh keluarga dari suami istri atau
masing-masing suami istri bersangkutan, dapat pula diajukan oleh pemerintah
yang berwenang. Sehingga dengan demikian, mungkin saja suami istri tidak ingin
bercerai atau membatalkan perceraian tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah
yang berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan tersebut.
Jika
memang perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat suatu perkawinan, sesuai dengan
bunyi Pasal 22 UU Perkawinan yaitu, perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, misalnya
melanggar larangan perkawinan Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu suami istri ternyata
masih saudara kandung dan perkawinan juga berdasarkan suatu agama tertentu,
mungkin pasangan tersebut tidak ingin bercerai tetapi perkawinan tersebut tidak
sah lagi, sehingga pihak yang berwenang perlu mengusahakan melakukan
pembatalan.
2. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam.
Perceraian
itu sendiri tidak disukai oleh Allah dan Rasul mengenai perceraianantara
suami-istri. Tidak ada suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah selain
talak oleh hakim yang menyahihkannya. (Al-Hadist Rawahul Abu Daud, hadist sahih
dan diriwayatkan Nail Al Authar).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
disimpulkan, bahwa pengertianputusnya hubungan perkawinan, adalah putusnya
ikatan lahir batin antara suami-istriyang ingin membentuk keluarga bahagia dan
kekal. Sedangkan menurut Pasal 113 kompilasi Hukum Islam putusnya
hubunganperkawinan dapat disebabkan :
a. Karena Kematian
Perkawinan
yang telah berjalan sekian lama dapat menjadi putus seketika, jika salah satu
pihak baik suami atau istri meninggal terlebih dahulu.
b. Perceraian
Putusnya
perkawinan karena perceraian ini sebenarnya sangatlah sulit untukdilakukan
mengingat peraturan perundang-undangan sangat menjaga agarperkawinan yang telah
dilakukan tetap sesuai dengan tujuan semula yaitu membentukkeluarga bahagia
yang kekal.Perceraian itu hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
agama bagiorang Islam, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak
berhasilmendamaikan kedua belah pihak. Putusnya perkawinan yang disebabkan
karenaperceraian dapat terjadi karena alasan sesuai Pasal 116 Kompilasi
HukumIslam.
Selain
itu perceraian itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa hal :
1.
Gugat Cerai ( dari pihak istri );
2.
Permohonan Talak ( dari pihak suami ).
c. Atas Putusan Pengadilan
Putusan
pengadilan itu sendiri bisaanya memuat tentang dikabulkannya permohonan talak
dari suami atau gugat cerai dari istri dan bisa juga berisi tentang putusan
dibatalkan suatu perkawinan.
2.3.
PENGERTIAN BERPINDAH AGAMA (MURTAD)
Murtad adalah suatu kata
yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap sebuah
perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan maupun didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Timbul
pertanyaan kapan seseorang Islam dianggap telah murtad? Orang Islam tidak bisa
di anggap keluar dari agamanya dalam artian telah murtad kecuali bila ia
melapangkan dadanya menjadi tentram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan
perbuatan kufur itu. Dapat diartikan apa yang tersirat dalam hati itu gaib dan
tidak dapat diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Maka untuk mengetahui
kekafiran seseorang diperlukan adanya sesuatu yang menunjukan kekafiran sebagai
bukti yang pasti dan tidak dapat ditafsirkan lagi.
1. Pengertian Murtad Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an pengertian tentang murtad tidak secara langsung
dijelaskan, namun beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan murtad
antara lain surat An-Nissa: 137 dikatakan bahwa, sesungguhnya orang-orang yang
beriman,kemudian kembali menjadi kafir bahkan bertambah ingkarnya, Allah
tidaklah akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjukinya jalan yang benar.
Perbuatan
murtad adalah perbuatan mana seorang muslim keluar dari agamanya menjadi non
muslim dari perbuataan itu amat dibenci oleh Allah dan Allah tidak akan
mengampuninya.
2. Pengertian Murtad Menurut As-Sunnah
Murtad yang terkait dengan
status perkawinan adalah yang terdapat dengan status perkawinan adalah yang
terdapat dalam kitab fiqih Al Mahalli Syarah Munhanjut Thalibuin dikatakan
bahwa apabila kedua suami istri itu salah satu keluar dari agama Islam
(murtad), dan belum melakukan hubungan badan, maka perkawinan antara suami
istri itu menjadi fasakh atau rusak, dan harus berpisah, akan tetapi setelah
dilakukan hubungan badan, maka fasakh itu ditangguhkan selama masa iddah.
Apabila selama masa iddah itu pihak yang murtad kembali agama Islam maka
pernikahan itu tetap utuh. Dan apabila pihak yang murtad tidak bersedia memeluk
Islam, maka jadilah fasakh dan pasangan suami istri itu harus pisah.
3. Pengertian Murtad Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum
Islam terutama dalam pasal-pasal tidak ditemukan secara jelas tentang
pengertian murtad, namun dalam Pasal 116 huruf (h) menyebutkan peralihan
agama/murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga,
berdasarkan pasal tersebut murtad dimasukkan sebagai alasan perceraian.
BAB
III
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1.
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MANOKWARI
Pengadilan
Agama Manokwari mempunyai dua kewenangan yaitu:
a.
Kewenangan
Absolut
Kewenangan
Absolut yaitu kewenangan Pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum
(hukum materiil) yang boleh ditanganinya. Kewenangan tersebut didasarkan pada kekuasaan
absolut Pengadilan Agama untuk mengadili perkara perceraian yang akad nikahnya
didasarkan pada hukum Islam.
Adapun wilayah
hukum Pengadilan Agama Manokwari meliputi 5 Kabupaten yaitu Kabupaten
Manokwari, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten
Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama.
b. Kewenangan
Relatif
Kewenangan
Relatif adalah kewenangan dari lembaga Peradilan sejenis yang mana berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara, antara lain:
1) Pasal 118 HIR yang menjelaskan tentang gugatan
diajukan diPengadilan Agama dimana tergugat tinggal.
2) Jika tergugat lebih dari satu, maka gugatan
diajukan di salah satu
Pengadilan tempat tergugagat.
3) Jika tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya maka gugatan diajukan diPengadilan dimana tempat tinggal penggugat.
4) Jika tempat tinggal dipilih dengan akta maka
gugatan diajukan ditempat/Pengadilan yang dipilih.
3.2.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Faktor-faktor
penyebab terjadinya perceraian yang menjadi kasus di pengadilan agama antara
lain disebabkan antara lain pologami yang tidak benar, krisis akhlak, cemburu,
tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, meninggalakan kewajiban sebagai
istri suami atau sebagai istri, kawin paksa, masalah ekonomi, kawin dibawah
umur, penganiyaan, salah satu pihak di hukum penjara, cacat biologis,
percekcokan karena beda keyakinan, dan percekcokan atas dasar pindah agama.
Suami
istri memutuskan untuk bercerai karena dilatar belakangi oleh faktor-faktor dan
alasan-alasan tertentu. Alasan perceraian karena atas dasar pindah agama diakui
dan diterima oleh pengadilan agama sebagai salah satu alasan penyebab
perceraian. Apabila karena pindah agama saja sebagai alasan perceraian tentu
saja tidak dapat diterima harus ada unsur percekcokan karena pindah agama yang
telah menyebabkan suatu ketidak rukunan dalam rumah tangga. Perumusan alasan
perceraian tersebut tercantum dalam kompilasi hukum Islam Pasal 116 huruf (h)
dan ini sering dipakai oleh Hakim Pengadilan Agama sebagai dasar pertimbangan
hakim, selain itu tidak lepas tentunya dari ketentuan pokok mengenai
alasan-alasan 8 perceraian yaitu ketentuan yang ada dalam Pasal 39 UU No.1
tahun 1974 dan Pasal 19 PP No.9 tahun 1975.
3.3.
PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN KARENA
SALAH SATU PIHAK BERPINDAH AGAMA
Dalam menyelesaikan
perkara perceraian karena pindah agama (murtad) Majelis Hakim terlebih dahulu
menentukan kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang
didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan
sebagai berikut :
a. Para pihak sudah tidak dapat
didamaikan.
b. Ketika persidangan dibuka untuk
pertama kalinya dalam perkara perceraian, Hakim berusaha mendamaikan pihak yang
berpekara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun kembali dalam
kehidupan rumah tangga.
c. Usaha untuk mendamaikan kedua belah
piahk dalam sidang terbuka untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap
pokok perkara permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan
secara itensif pada setiap persidangan.
d. Apabila para pihak tidak sepakat untuk
berdamai maka dilanjutkan acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan,
mendengar jawaban tergugat dan penggugat dipersidangan, pemeriksaan dan
saksi-saksi dan pembacaan putusan.
e. Penilaian hakim mengenai telah terjadi
perselisihan dapat dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung
para pihak yang berpekara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila
terlihat nyata dalam sikap para pihak ketidak rukunan antara suami isteri
terlalu parah maka majelis hakim akan menilai bahwa kondisi yang demikian itu38
belum dapat dijadikan alasan perceraian, karena itu Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dipandang belum terpenuhi.
Hakim dalam mengadili
suatu perkara perceraian yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas
tentang fakta dan peristiwa yang menjadi perselisihan dan pertengkaran terus
menerus dalam rumah tangga tersebut untuk selanjutnya dibuktikan dengan
saksi-saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak.
Alasan
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus tersebut diatas bukan
merupakan sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab-sebab lain yang
mendahulinnya yaitu perselisihan yang menyangkut perbedaan agama sehingga
menimbulkan perbedaan dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Selanjutnya
untuk menilai ada atau tidaknya suatu keretakan perkawinanharus dapat
dibuktikan bahwa alasan perceraian yang diajukan ke pengadilanmerupakan
peristiwa yang mengganggu keharmonisan rumah tangga sehinggamenyebabkan
keretakan dan keadaan tersebut tidak dapat dipulihkan kembali.Misalnya telah
terjadi perzinahan yang dilakukan oleh salah seseorang diantara suamiatau
isteri dan perbuatan tersebut merupakan salah satu alasan yang dapat
digunakanuntuk mengajukan perceraian sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 huruf
(a)Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975. Namun perbuatan tersebut dimaafkan
olehpihak yang lain dan tidak menjadi masalah dalam rumah tangga, dengan
demikianperkawian tersebut tidak dapat diputuskan dengan perceraian, karena
perkawinananatara suami isteri dapat dipulihkan kembali.
Untuk
dapat bercerai harus dapat dibuktikan bahwa peristiwa yang merupakanalasan
perceraian itu telah menyebabkan keretakan perkawian yang tidak dapatdipulihkan
kembali. Pembuktian dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihakkeluarga atau
orang-orang yang terdekat dengan penggugat dan tergugat. Daripemeriksaaan
saksi-saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan terus menerusdalam
rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang selanjutnya akan dituangkandalam
pertimbangan keputusan.
Dengan
kewenangannya, seorang hakim berhak memutus apakah perceraianditolak atau
dikabulkan. Pertimbangan hukum hakim ini meliputi dalil gugatan,bantahan serta
dihubungkan dengan alat bukti yang ada, selanjutnya hakim akanmenarik
kesimpulan terbukti atau tidak gugatan itu. Selain itu juga
berdasarkankeyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan terhadap kondisi ruamah
tanggatidak mungkin diselamatkan. Peniliaian Hakim berdasarkan pada kenyataan
dalamrumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan parah
sehinggaperkawian itu tidak mungkin dipertahankan lagi.
Dengan
demikian tujuan dari perkawinan tidak terwujud. Selanjutnya hakimdengan keadaan
seperti itu perceraian lebih baik dikabulkan dari pada perkawiantetap
dipertahankan ikatan perkawinan yang tidak membawa kebahagiaan bagimereka dan
amat merugikan pertumbuhan anak-anak yang dilahirkan dariperkawinan tersebut.
Penyelesaian
perceraian diakhiri dengan dibacakannya putusan hakim dimukapersidangan. Dalam
memutus perkara hakim berpedoman pada aturan yangmempunyai dasar hukum yang
kuat dalam memutuskan suatu perkara sehinggasecara yuridis tidak menyimpang
dari ketentuan hukum yang berlaku. Putusan hakimdiharapakan dapat memberi rasa
keadilan terhadap para pihak.
Sebelum
keputusan perceraian itu dijatuhkan, hakim selalu bersikap hati-hatidan penuh
tanggung jawab serta teliti dan berupaya sedemikian rupa kearahperdamaian.
Disamping itu juga diperhatikan seberapa mutlak atau mendasar alasanperceraian
itu sehingga menyebabkan rumah tangga tidak bisa dipertahankankembali.