Kamis, 03 Agustus 2017

SISTEM PERADILAN PIDANA



A.     PENGERTIAN SISTEM PERADILAN PIDANA
Secara terminologi Sistem Criminal Justice System (CJS) atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penagggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Dalam system peradilan pidana ada 3 bentuk pendekatan system :
1.      Pendekatan normative : memandang bahwa aparat penegak hokum (jaksa, hakim, polisi, dan pengadilan) itu sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan sehingga aparat penegak hokum tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam penegakan hokum.
2.      Pendekatan administrative : memandang keempat aparat penegak hokum itu sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja baik hubungan yang bersifat vertical/horizontal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku tersebut.
3.      Pendekatan social : memandang keempat aparat penegak hokum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system social sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan/tidak berhasil keempat aparat penegak hokum itu dalam melaksanakan tugasnya.

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pada prinsipnya aparat penegak hukum tersebut memilki hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (crimal justice process) yang dimulai dari proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan, dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri .dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.
Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan. Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.
B.     CIRI-CIRI SISTEM PERADILAN PIDANA
1.       Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan).
2.       Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana
3.       Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara
4.       Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The Administration Of Justice


5.       TUJUAN SISTEM PERADILAN PIDANA
1.       Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana;
2.       Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan;
3.       Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial;
4.       Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
5.       Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

6.       FUNGSI PENTING SISTEM PERADILAN PIDANA
1.       Mencegah kejahatan;
2.       Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan pengertian terhadap pelaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif;
3.       Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan penindakan;
4.       Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah terhadap orang yang ditahan;
5.       Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah;
Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh masyarakat terhadap perilaku mereka ya

Rabu, 02 Agustus 2017

MAKALAH " KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA GUGAT CERAI DENGAN ALASAN SALAH SATU PIHAK BERPINDAH AGAMA " (Studi Kasus di Pengadilan Agama Manokwari)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        LATAR BELAKANG
            Tuhan telah menciptakan secara berpasang-pasangan segala hal yang ada di dunia ini,  ada laki-laki dan perempuan agar merasa tentram, saling memberi kasih sayang dan terutama untuk mendapatkan keturunan dari suatu ikatan suci yang dinamakan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu hubungan yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan lainya mengenai perkawinan.
Diharapkan dengan adanya aturan hukum ini, persoalan      perkawinan yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan      baik berdasarkan hukum positif juga berdasarkan hukum agama.
            Jika ikatan antara suami istri sedemikian kokoh dan kuat, maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekannya dibenci oleh Islam, karena dianggap merusak kebaikan dan menghilangkan kemasalahatan antara suami istri.
            Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling         utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pengertian perkawinan yang lainnya,             diantaranya menurut undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun             1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria             dengan seorang wanita sebagai suami isteri tujuan membentuk       keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan          Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Dari pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1994 diatas, jelas bahwa tujuan pekawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan yang bahagia, itulah cita-cita dan idaman semua manusia baik laki-laki dan perempuan di dunia. Namun kebahagian itu tidak bisa ditebak, kadang datang dan pergi begitu saja tidak bisa diketahui oleh manusia.
Di dalam Agama Islam juga ditegaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 44 yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Tetapi dari sisi yang lain, suami istri itu tidak seayah dan seibu, belum tentu juga sesuku dan sekampung. Perbedaan karakter dan pandangan hidup mungkin saja terdapat pada suami istri. Tidak sekedar perbedaan, mungkin saja pertentangan yang prinsipil. Selain itu jiwa manusia bisa berubah. Perbedaan pandangan hidup dan perubahan hati bisa menimbulkan krisis merubah rasa cinta dan kasih sayang menjadi benci. Tidak selamnya keimanan dan lapang dada dapat mempertahankan hubungan suami istri bila timbul pertentangan yang sangat memuncak. Permasalahannya, kalau suami istri yang berbeda prinsip hidupnya dan pertentangannya sudah memuncak, telah merubah rasa cinta menjadi benci, persesuaian menjadi pertikaian, yang tidak memungkinkan lagi untuk berpadu menjadi satu, apakah tidak terlalu aniaya kalau keduanya dipaksa harus tetap bersatu.
Hal ini akan semakin bertambah parah, jika salah satu di antara mereka menjadi murtad, secara otomatis disadari maupun tidak perjalanan hidup rumah tangga tersebut tidak akan lagi terasa harmonis seperti dulu lagi di saat rasa cinta dan kasih sayang masih terjaga dalam hati mereka berdua. Karena di antara mereka berdua mempunyai keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak bisa di satukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada bab II KHI, yaitu: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yan sakinah, mawadah, dan rahmah”. Jadi di dalam kondisi seperti ini maka perceraian yang akan menjadi obat bagi mereka berdua karena tidak ada jalan lain lagi untuk mengatasi keadaan.
Dengan melihat hal tersebut, bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir (darurat) yang ditempuh oleh suami istri, yaitu apabila terjadi persengketaan antara keduanya dan telah diusahakan jalan perdamaian sebelumnya, tetapi tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga tersebut.
Dalam Islam bercerai pada dasarnya “terlarang” atau tidak diperbolehkan kecuali karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara‟. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanafi dan Hambali,          mereka beralasan bahwa bercerai merupakan kufur nikmat, karena     perkawinan adalah suatu nikmat, sedangkan kufur terhadap nikmat          Allah hukumnya haram, sehingga bercerai hukumnya adalah haram          kecuali darurat. Madzhab Hambali lebih lanjut menjelaskannya        secara terperinci mengenai hukum bercerai. Menurut mereka         bercerai itu hukumnya yaitu: wajib, haram, dan sunnah.
Dalam undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974   pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat          dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang             bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak     bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya       tidak perlu adanya campur tangan dari Pemerintah, namun demi          menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak     suami dan akan banyak terjadinya perceraian liar, juga demi           kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran Lembaga     Pengadilan.
Berkaitan dengan berbagai hal yang disebutkan di atas,       yang akan dibicarakan adalah mengenai perceraian suatu         perkawinan karena murtad, khususnya pembahasan disini adalah mengenai putusan tentang perceraian karena murtad dari          Pengadilan Agama Manokwari.
                        Dalam hal ini Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat untuk menerima, memeriksa, menyidangkan dan memberi putusan atas perkara tersebut. Namun kadang Hakim dari Pengadilan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa harus sama persis sesuai dengan peraturan yang ada, karena hakim memang mempunyai wewenang seperti itu.
Perceraian yang dilakukan di muka sidang Pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian. Sebab sebelum ada keputusan, terlebih dahulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadinya perceraian antara suami isrti, kecuali dimungkinkan Pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami istri. Dengan proses Pengadilan yang mempersulit dan memperketat alasan-alasan perceraian, maka perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan dapat juga memperkecil jumlah perceraian. Di sisi lain, perceraian yang dilakukan dimuka sidang Pengadilan sering dirasakan ada beberapa kendalanya, terutama dalam dua hal: pembongkaran rahasia rumah tangga di muka orang banyak dan kelambatan proses yang sering kali dirasakan sebagai memperpanjang suasana perselisihan.
Melihat dari kasus tersebut, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi tentang pengajuan gugat cerai ke Pengadilan Agama Manokwari. Kemudian mengenai kasus tersebut sebagaimana dalam putusan Pengadilan Agama terhadap salah satu pihak berpindah agama dan pada akhirnya akan dibahas mengenai putusan dari Pengadilan Agama Manokwari atas pengajuan dari gugat cerai tersebut.

1.2.        RUMUSAN MASALAH
Dari tema diatas, penulis memperinci permasalahan-permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai berikut:
1.   Kewenangan dan dasar hukum apa yang dapat digunakan oleh Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara gugat cerai dengan alasan salah satu pihak berpindah agama?
2.   Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perceraian karena salah satu pihak berpindah agama?

2.1.        TUJUAN PENULISAN
Adapun hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kewenangandan dasar hukum yang dapat digunakan oleh Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara gugat cerai dengan alasan salah satu pihak berpindah agama;
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian karena salah satu pihak berpindah agama.

2.2.        MANFAAT PENELITIAN
Studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis antara lain:
            1. Secara Teoritis
     Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan serta wawasan khususnya dalam masalah perdata di lingkungan Peradilan Agama serta dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam berbagai permasalahan khususnya dalam hal kewenangan Peradilan Agama dalam perceraian karena salah satu pihak berpindah agama;
2. Secara Praktis
     Penelitian ini kiranya dapat dijadikan bahan masukan bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya khusus di Pengadilan Agama Manokwari, serta sebagai bahan acuan dan sumbangan pemikiran pada masyarakat khususnya dalam hal kewenangan Peradilan Agama dalam perceraian karena salah satu pihak berpindah agama.

2.3.        METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empirik yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari wawancara penulis, sedangkan sumber data sekunder yang penulis gunakan berasal dari bahan kepustakaan seperti Putusan pada Kantor Pengadilan Agama Manokwari, peraturan perundang-undangan, buku dan kamus.
2.4.        METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis yakni dengan cara wawancara dan studi pustaka.

2.5.        TAHAPAN PENELITIAN
Setelah peneliti menentukan tema yang akan diteliti, maka penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Manokwari dengan bertanya kepada panitera tntang perkara perceraian, sidang kasus tentang perceraian di Pengadilan Agama Manokwari secara praktik.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.        PENGERTIAN PERKAWINAN
1. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
   Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,      adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila          yang sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di    sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan            yang erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan      bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga mempunyai             unsur batin/rohani.

2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan adalah sunatullah berlaku bagi semua umat manusia guna melangsungkan hidupnya dan untuk memperoleh keturunan, maka agama Isl3am sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadist, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan akad yang kuat/mitzaaqah qhaliidhan untuk mentaati Perintah Allah SWT dan melakukannya merupakan ibadah. Selain itu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah.

2.2.        PUTUSNYA PERKAWINAN
1. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan 41 Undang-Undang No.1 tahun 1974, yang di sebabkan beberapa hal, yaitu :
a. Karena Kematian.
Yang dimaksud dengan kematian adalah meninggalnya salah satu pihak (suami atau istri) yang menyebabkan putusnya/berakhirnya perkawinan. Apabila terdapat halangan maka istri atau suami yang di tinggal mati berhak mewaris atas harta peninggalan atau sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan keperluan penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai pemakaman, kemudian untuk melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya.
Mengenai putusnya perkawinan tidak diatur dalam Undang-Undang No.1Tahun 1974 atau Undang-Undang lain, tetapi hanya menyangkut harta peninggalanatau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal, karena hal itu diaturdalam hukum waris.
b. Karena Perceraian
Mengenai perceraian, oleh peraturan perundang-undangan diatur secara mendetail dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dan Peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, Menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu menyatakan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Mengenai alasan-alasan perceraian dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sebagai berikut: “Untuk melakukan perceraian harus ada alasan cukup, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”.
Dalam Pasal tersebut termasuk alasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975, jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undan g Perkawinan No. 1 tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan walaupun alasan tersebut terpenuhi, akan tetapi masih mungkin antara suami istri untuk hidup rukun kembali, maka perceraian tidak dapat dilakukan.
c. Atas Putusan Pengadilan
Pasal 38 butir (c) UU Perkawinan yaitu atas Putusan Pengadilan berbeda dengan keputusan pengadilan dalam rangka perceraian. Putusnya perkawinan dimaksud yaitu tanpa adanya permohonan pembatalan atau gugat cerai dari pihak suami istri atau keluarganya atau yang diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan, sedangkan menurut Pasal 23 UU Perkawinan permohonan pembatalan perkawinan ini di samping dapat diajukan oleh keluarga dari suami istri atau masing-masing suami istri bersangkutan, dapat pula diajukan oleh pemerintah yang berwenang. Sehingga dengan demikian, mungkin saja suami istri tidak ingin bercerai atau membatalkan perceraian tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah yang berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan tersebut.
Jika memang perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat suatu perkawinan, sesuai dengan bunyi Pasal 22 UU Perkawinan yaitu, perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, misalnya melanggar larangan perkawinan Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu suami istri ternyata masih saudara kandung dan perkawinan juga berdasarkan suatu agama tertentu, mungkin pasangan tersebut tidak ingin bercerai tetapi perkawinan tersebut tidak sah lagi, sehingga pihak yang berwenang perlu mengusahakan melakukan pembatalan.
2. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam.
Perceraian itu sendiri tidak disukai oleh Allah dan Rasul mengenai perceraianantara suami-istri. Tidak ada suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah selain talak oleh hakim yang menyahihkannya. (Al-Hadist Rawahul Abu Daud, hadist sahih dan diriwayatkan Nail Al Authar).
   Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa pengertianputusnya hubungan perkawinan, adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami-istriyang ingin membentuk keluarga bahagia dan kekal. Sedangkan menurut Pasal 113 kompilasi Hukum Islam putusnya hubunganperkawinan dapat disebabkan :
a. Karena Kematian
Perkawinan yang telah berjalan sekian lama dapat menjadi putus seketika, jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal terlebih dahulu.
b. Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian ini sebenarnya sangatlah sulit untukdilakukan mengingat peraturan perundang-undangan sangat menjaga agarperkawinan yang telah dilakukan tetap sesuai dengan tujuan semula yaitu membentukkeluarga bahagia yang kekal.Perceraian itu hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama bagiorang Islam, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasilmendamaikan kedua belah pihak. Putusnya perkawinan yang disebabkan karenaperceraian dapat terjadi karena alasan sesuai Pasal 116 Kompilasi HukumIslam.
Selain itu perceraian itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa hal :
1. Gugat Cerai ( dari pihak istri );
2. Permohonan Talak ( dari pihak suami ).
c. Atas Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan itu sendiri bisaanya memuat tentang dikabulkannya permohonan talak dari suami atau gugat cerai dari istri dan bisa juga berisi tentang putusan dibatalkan suatu perkawinan.

2.3.        PENGERTIAN BERPINDAH AGAMA (MURTAD)
Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Timbul pertanyaan kapan seseorang Islam dianggap telah murtad? Orang Islam tidak bisa di anggap keluar dari agamanya dalam artian telah murtad kecuali bila ia melapangkan dadanya menjadi tentram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan perbuatan kufur itu. Dapat diartikan apa yang tersirat dalam hati itu gaib dan tidak dapat diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Maka untuk mengetahui kekafiran seseorang diperlukan adanya sesuatu yang menunjukan kekafiran sebagai bukti yang pasti dan tidak dapat ditafsirkan lagi.
1.    Pengertian Murtad Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an pengertian tentang murtad tidak secara langsung dijelaskan, namun beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan murtad antara lain surat An-Nissa: 137 dikatakan bahwa, sesungguhnya orang-orang yang beriman,kemudian kembali menjadi kafir bahkan bertambah ingkarnya, Allah tidaklah akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjukinya jalan yang benar.
Perbuatan murtad adalah perbuatan mana seorang muslim keluar dari agamanya menjadi non muslim dari perbuataan itu amat dibenci oleh Allah dan Allah tidak akan mengampuninya.


2.    Pengertian Murtad Menurut As-Sunnah
Murtad yang terkait dengan status perkawinan adalah yang terdapat dengan status perkawinan adalah yang terdapat dalam kitab fiqih Al Mahalli Syarah Munhanjut Thalibuin dikatakan bahwa apabila kedua suami istri itu salah satu keluar dari agama Islam (murtad), dan belum melakukan hubungan badan, maka perkawinan antara suami istri itu menjadi fasakh atau rusak, dan harus berpisah, akan tetapi setelah dilakukan hubungan badan, maka fasakh itu ditangguhkan selama masa iddah. Apabila selama masa iddah itu pihak yang murtad kembali agama Islam maka pernikahan itu tetap utuh. Dan apabila pihak yang murtad tidak bersedia memeluk Islam, maka jadilah fasakh dan pasangan suami istri itu harus pisah.
3.    Pengertian Murtad Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam terutama dalam pasal-pasal tidak ditemukan secara jelas tentang pengertian murtad, namun dalam Pasal 116 huruf (h) menyebutkan peralihan agama/murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga, berdasarkan pasal tersebut murtad dimasukkan sebagai alasan perceraian.




BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1.        KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MANOKWARI
Pengadilan Agama Manokwari mempunyai dua kewenangan yaitu:
a.    Kewenangan Absolut
Kewenangan Absolut yaitu kewenangan Pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil) yang boleh ditanganinya. Kewenangan tersebut didasarkan pada kekuasaan absolut Pengadilan Agama untuk mengadili perkara perceraian yang akad nikahnya didasarkan pada hukum Islam.
Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Manokwari meliputi 5 Kabupaten yaitu Kabupaten Manokwari, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama.
b.    Kewenangan Relatif

Kewenangan Relatif adalah kewenangan dari lembaga Peradilan sejenis yang mana berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara, antara lain:
1)  Pasal 118 HIR yang menjelaskan tentang gugatan diajukan diPengadilan Agama dimana tergugat tinggal.
2)  Jika tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan di salah           satu Pengadilan tempat tergugagat.
3)  Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya maka gugatan diajukan diPengadilan dimana tempat tinggal penggugat.
4)  Jika tempat tinggal dipilih dengan akta maka gugatan diajukan ditempat/Pengadilan yang dipilih.
3.2.        FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN
Faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian yang menjadi kasus di pengadilan agama antara lain disebabkan antara lain pologami yang tidak benar, krisis akhlak, cemburu, tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, meninggalakan kewajiban sebagai istri suami atau sebagai istri, kawin paksa, masalah ekonomi, kawin dibawah umur, penganiyaan, salah satu pihak di hukum penjara, cacat biologis, percekcokan karena beda keyakinan, dan percekcokan atas dasar pindah agama.
Suami istri memutuskan untuk bercerai karena dilatar belakangi oleh faktor-faktor dan alasan-alasan tertentu. Alasan perceraian karena atas dasar pindah agama diakui dan diterima oleh pengadilan agama sebagai salah satu alasan penyebab perceraian. Apabila karena pindah agama saja sebagai alasan perceraian tentu saja tidak dapat diterima harus ada unsur percekcokan karena pindah agama yang telah menyebabkan suatu ketidak rukunan dalam rumah tangga. Perumusan alasan perceraian tersebut tercantum dalam kompilasi hukum Islam Pasal 116 huruf (h) dan ini sering dipakai oleh Hakim Pengadilan Agama sebagai dasar pertimbangan hakim, selain itu tidak lepas tentunya dari ketentuan pokok mengenai alasan-alasan 8 perceraian yaitu ketentuan yang ada dalam Pasal 39 UU No.1 tahun 1974 dan Pasal 19 PP No.9 tahun 1975.

3.3.        PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK BERPINDAH AGAMA
Dalam menyelesaikan perkara perceraian karena pindah agama (murtad) Majelis Hakim terlebih dahulu menentukan kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan sebagai berikut :
a.    Para pihak sudah tidak dapat didamaikan.
b.    Ketika persidangan dibuka untuk pertama kalinya dalam perkara perceraian, Hakim berusaha mendamaikan pihak yang berpekara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun kembali dalam kehidupan rumah tangga.
c.    Usaha untuk mendamaikan kedua belah piahk dalam sidang terbuka untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap pokok perkara permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan secara itensif pada setiap persidangan.
d.    Apabila para pihak tidak sepakat untuk berdamai maka dilanjutkan acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan, mendengar jawaban tergugat dan penggugat dipersidangan, pemeriksaan dan saksi-saksi dan pembacaan putusan.
e.    Penilaian hakim mengenai telah terjadi perselisihan dapat dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung para pihak yang berpekara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila terlihat nyata dalam sikap para pihak ketidak rukunan antara suami isteri terlalu parah maka majelis hakim akan menilai bahwa kondisi yang demikian itu38 belum dapat dijadikan alasan perceraian, karena itu Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dipandang belum terpenuhi.
Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang menjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam rumah tangga tersebut untuk selanjutnya dibuktikan dengan saksi-saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak.
Alasan perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus tersebut diatas bukan merupakan sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab-sebab lain yang mendahulinnya yaitu perselisihan yang menyangkut perbedaan agama sehingga menimbulkan perbedaan dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Selanjutnya untuk menilai ada atau tidaknya suatu keretakan perkawinanharus dapat dibuktikan bahwa alasan perceraian yang diajukan ke pengadilanmerupakan peristiwa yang mengganggu keharmonisan rumah tangga sehinggamenyebabkan keretakan dan keadaan tersebut tidak dapat dipulihkan kembali.Misalnya telah terjadi perzinahan yang dilakukan oleh salah seseorang diantara suamiatau isteri dan perbuatan tersebut merupakan salah satu alasan yang dapat digunakanuntuk mengajukan perceraian sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 huruf (a)Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975. Namun perbuatan tersebut dimaafkan olehpihak yang lain dan tidak menjadi masalah dalam rumah tangga, dengan demikianperkawian tersebut tidak dapat diputuskan dengan perceraian, karena perkawinananatara suami isteri dapat dipulihkan kembali.
Untuk dapat bercerai harus dapat dibuktikan bahwa peristiwa yang merupakanalasan perceraian itu telah menyebabkan keretakan perkawian yang tidak dapatdipulihkan kembali. Pembuktian dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihakkeluarga atau orang-orang yang terdekat dengan penggugat dan tergugat. Daripemeriksaaan saksi-saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan terus menerusdalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang selanjutnya akan dituangkandalam pertimbangan keputusan.
Dengan kewenangannya, seorang hakim berhak memutus apakah perceraianditolak atau dikabulkan. Pertimbangan hukum hakim ini meliputi dalil gugatan,bantahan serta dihubungkan dengan alat bukti yang ada, selanjutnya hakim akanmenarik kesimpulan terbukti atau tidak gugatan itu. Selain itu juga berdasarkankeyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan terhadap kondisi ruamah tanggatidak mungkin diselamatkan. Peniliaian Hakim berdasarkan pada kenyataan dalamrumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan parah sehinggaperkawian itu tidak mungkin dipertahankan lagi.
Dengan demikian tujuan dari perkawinan tidak terwujud. Selanjutnya hakimdengan keadaan seperti itu perceraian lebih baik dikabulkan dari pada perkawiantetap dipertahankan ikatan perkawinan yang tidak membawa kebahagiaan bagimereka dan amat merugikan pertumbuhan anak-anak yang dilahirkan dariperkawinan tersebut.
Penyelesaian perceraian diakhiri dengan dibacakannya putusan hakim dimukapersidangan. Dalam memutus perkara hakim berpedoman pada aturan yangmempunyai dasar hukum yang kuat dalam memutuskan suatu perkara sehinggasecara yuridis tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. Putusan hakimdiharapakan dapat memberi rasa keadilan terhadap para pihak.
Sebelum keputusan perceraian itu dijatuhkan, hakim selalu bersikap hati-hatidan penuh tanggung jawab serta teliti dan berupaya sedemikian rupa kearahperdamaian. Disamping itu juga diperhatikan seberapa mutlak atau mendasar alasanperceraian itu sehingga menyebabkan rumah tangga tidak bisa dipertahankankembali.