Rabu, 02 Agustus 2017

TINJAUAN YURIDIS DEBT COLLECTOR TERHADAP KREDIT BERMASALAH

ABSTRAK

TINJAUAN  YURIDIS  DEBT  COLLECTOR
TERHADAP  KREDIT BERMASALAH

Oleh

1.                                                           
2.                                                           

Seiring perkembangan zaman, dunia perbankan kini semakin memudahkan para nasabahnya yakni dengan mengeluarkan produk baru yaitu kartu kredit. Namun dengan segala kemudahannya, ternyata juga memiliki risiko. Risiko yang dihadapi adalah kredit macet atau kredit bermasalah. Untuk mengatasi hal tersebut, bank akan mengetatkan pengawasan terhadap pembayaran tagihan nasabah agar tidak melampaui batas jatuh tempo. Tak jarang bank menggunakan jasa pihak ketiga yaitu debt collector. Akan tetapi terkadang debt collector dalam penagihan hutang kartu kredit tersebut menggunakan cara-cara yang dapat merugikan konsumen dan menjeratnya pada kasus pidana. Permasalahan dala penelitian ini adalah untuk mngetahui pengaturan terhadap penggunaan jasa debt collector dalam penyelesian kredit bermasalah dan faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa debt collector dalam penaghan kredit bermasalah. Penelitian ini merupakan penelitian library research yang mengkasi berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undnagan (statue approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan non-bahan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan debt collector dalam penyelesaian kredit bermasalah diperbolehkan dan pengaturannya terdapat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011, Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014.

Kata kunci     : debt collector, kredit bermasalah, penagihan kredit. 





BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, Bank kini semakin meningkatkan pelayanan dan menawarkan berbagai macam kemudahan, apalagi saat ini kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa semakin meningkat. Kegiatan perbankan yang awalnya hanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat kini semakin berinovasi, dan yang kian marak yakni bank menghadirkan suatu sistem pembayaran yang biasa kita sebut kredit (kartu kredit), yang sekarang ini menjadi trend gaya hidup kalangan menengah keatas.
Namun, yang memprihatinkan adalah semakin meningkatnya angka kredit bermasalah atau yang biasa disebut kredit macet pada Perbankan Indonesia. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya yakni minimum pembayaran yang telah jatuh tempo lebih dari 3 bulan. Di dunia perbankan, kredit macet lebih dikenal dengan nama Non-Performing Loan (NPL). Istilah ini mungkin terdengar asing, tapi sangat penting sekali untuk bank untuk menjaga NPL mereka. NPL menjadi indikator dalam menilai kinerja suatu bank. Jika NPL rendah, maka bank tersebut terbilang sehat. Jika NPL tinggi maka resiko yang dipikul oleh bank tersebut tinggi. Jika NPL mereka diatas batas yang sudah diforecast sebelumnya maka bank tersebut bisa dibilang bermasalah.   Kredit macet tidak menjadi masalah jika satu atau dua debitur saja yang tidak disiplin dalam membayar cicilan pinjaman kartu kredit mereka, tapi kalau jumlah pengguna kartu kredit yang banyak dalam waktu yang hampir bersamaan tidak membayar cicilan mereka maka NPL dari bank tersebut akan naik. Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menekan kuantitas kredit macet di lembaga perbankan. Pemerintah pernah membentuk Tim Supervisi Kredit Bermasalah Bank Pemerintah guna memantau penyelesaian kredit macet. Kemudian diluncurkan program sistem informasi kredit (SIK) antarbank untuk mengetahui nasabah (debitur) yang mempunyai catatan buruk karena pernah memacetkan kredit.
Manakala langkah preventif mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan kredit macet, ditempuhlah upaya represif yaitu diselesaikan melalui pengadilan. Upaya tersebut dilakukan mengingat pengadilan merupakan benteng terakhir bagi setiap orang untuk menyelesaikan segala persoalan, termasuk kredit macet.
Sebelum ditempuh jalur pengadilan, biasanya bank mencoba mengupayakan penyelesaian secara musyawarah dengan melakukan rescheduling, reconditioning, dan restructuring terhadap perusahaan (debitur) penunggak kredit. Apabila upaya tersebut tidak juga berhasil, tidak tertutup kemungkinan diselesaikan melalui jalur hukum dengan melibatkan institusi pengadilan.
Akan tetapi, dewasa ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kasus penagihan utang terhadap debitur oleh kreditur dengan memakai penagih utang (debt collector) dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan.
Penunggak yang tidak mampu melunasi tagihannya, penagih utang ( debt collector) yang diperintah oleh bank terhadap kredit yang bermasalah akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Apabila penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan, Namun bila tidak di lunasi tentu saja barang itu akan lenyap. Selain itu juga tidak jarang penagih hutang (debt collector) melakukannya dengan menggunakan ancaman dan kekerasan.
Di lain pihak, alasan utama mengapa sebuah perusahaan menggunakan jasa debt collector untuk menarik piutang tak tertagih, utamanya karena angka kredit macet yang tinggi. Memang ada jalan lain seperti melalui pengadilan, namun selain memerlukan waktu yang panjang, juga ada biaya tambahan yang terkadang justru tak sebanding dengan hasilnya.
Perbuatan debt collector yang dapat dikategorikan tindak pidana (jika telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam KUHP), seperti diantaranya :
1) Jika penagih hutang (debt collector) tersebut melakukan pengrusakan terhadap barang-barang milik nasabah;
2) Jika penagih hutang (debt collector) tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan;
3) Selain  itu,  bisa  juga  digunakan  Pasal  335  ayat  (1)  KUHP  tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Penggunaan  jasa  pihak  ketiga  (debt  collector) pada  dasarnya merupakan pihak yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada konsumen. Adakalanya pula debt collector tidak  bekerja  dengan profesional seperti yang diharapkan oleh bank.Terkadang  untuk  mendapatkan hutang yang ditagihnya mereka melakukan tindakan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah yang ditagih hutangnya tersebut.
Menyikapi pro dan kontra soal keberadaan debt collector, perlu ditelusuri duduk persoalannya. Masalahnya, hingga kini belum diperoleh jalan terbaik bagi yang bersengketa. Dengan semakin menjamurnya berbagai bentuk transaksi bisnis yang melibatkan pihak seperti perusahaan maupun individu, tentu harus dipersiapkan perangkat peraturan hukum untuk menghindari kerugian di salah satu pihak.
Berdasarkan uaraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Debt Collector Terhadap Kredit Bermasalah.”

1.2.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan  uraian  di  atas,  maka  dapat  dirumuskan  masalah-masalah sebagai berikut:
1.    Apa sajakah risiko pada saat menggunakan kartu kredit?
2.    Bagaimanakah tata cara penagihan oleh debt collector?
3.    Bagaimanakah pengaturan debt collector di Indonesia?

1.3.       KERANGKA TEORI
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere, yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya. Sedangkan Subarjo Joyosumarto merumuskan kredit macet sebagai berikut:
a.    Kredit yang angsuran pokok dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 masa angsuran ditambah 21 bulan.
b.    Penyelesaiannya telah diserahkan kepada pengadilan/BUPLN.
c.    Penyelesaiannya telah diajukan ganti kerugian kepada perusahaan asuransi kredit.



Kredit macet selalu dilihat dan diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Kolektibilita adlah keadaan pembayaran pokok (angsuran poko) dan bunga kredit oleh nasabah (debitur) serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut. Kolektibilitas kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum pada pasal 12 ayat 3.
Secara hukum, penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) untuk menyelesaikan kredit macet di dalam perbankan diperbolehkan, dan keberadaannya telah diatur dalam Surat edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Katu (APMK) ketentuan butir VII.D angka 4, Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Lehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada Bab II tentang Alih Daya (outsourching), Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu pada pasal 17B dan pasal 21 ayat 1, dan Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OJK, mengenai Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian Pelaksaan Pekerjaan kepada Pihak lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian dalam Penyerahan Pekerjaan Penagih Kredit.

1.4.       METODE PENELITIAN
Dalam penulisan working paper ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditijau melalui aspek hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa konkret yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan working paper ini.
Sedangkan bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentujan frekuensi suatu gejala yang dalam hal ini yaitu memberikan data mengenai pengaturan penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit bermasalah.





















BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1.        RISIKO PENGGUNAAN KARTU KREDIT
Kredit bermasalah adalah kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang telah diperjanjikan sebelumnya, misalnya persyaratan mengenai pembayaran bunga, pengambilan pokok pinjaman, peningkatan margin deposit, pengikatan dan peningkatan agunan dan sebagainya.
Bagi nasabah yang memiliki kartu kredit, tidak dipungkiri terdapat beberapa risiko yang dialami pada saat menggunakan karti kredit tersebut. Sebagaimana ada keuntungan dari pemakaian pasti ada pula kerugian dari suatu pemakaian kartu kredit. Risiko-risiko kerugian yang dapat dialami oleh nasabah yaitu seperti :
1.  Apabila terjadi kredit macet
a.    Nasabah akan berhadapan dengan debt collector
Debt collector biasanya berfisik menyeramkan dan menakutkan, bicaranya pun keras dan kasar. Penggunaan jasa pihak ketiga ini merupakan usaha bank untuk mengembalikan dana.
b.    Namanya akan terdaftar dalam daftar negatif yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) dan kredit macet dalam Sistem Informasi Debitur yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Guna mencegah dan menurunkan jumlah kartu kredit macet, AKKI mengelola sebuah sistem informasi untuk menyimpan profil para debitur. Melalui sistem ini, sebelum menindaklanjuti permohonan calon debitur masing-masing anggota akan terlebih dahulu mengecek profil dalam sistem tersebut dengan maksud apabila nasabah termasuk dalam daftar maka permohonan kartu kreditnya akan ditolak.
c.    Huang akan terus bertambah, dari hasil perhitungan bunga berikut denda.
2.  Kemungkinan adanya trik-trik perampokan secara halus
Modus operandi untuk tujuan tersebut dapat dilihat dari cara-cara penerbit kartu kredit mempersulit nasabah yang ingin menghentikan kartu kredit. Sangat sering nasabah merasa kesulitan untuk menutup rekening khusus bagi mereka yang tidak ingin memperpanjang masa aktif.
3.  Data pribadi dapat beredar ke pihak lain
Data pribadi nasabah yang seharusnya dijaga dengan baik dapat beredar ke pihak lain untuk menjadi target pasar pihak lain.
4.  Iming-iming yang tidak sesuai dengan realisasi
Untuk mengoptimalkan program, penerbit kartu kredit sering menjanjikan suatu iming-iming. Baik berupa hadiah, fasilitas, voucher, diskon atau yang lainnya. Namun tak jarang iming-iming tersebut tidka sesuai dengan yang dijanjikan.
5.  Laporan kehilangan tidak segera di respon
Dalam merespon laporan kehilangan kartu kredit oleh nasabahnya, penerbit kartu kredit terkadang tidak cepat tanggap sehingga membuat kartu kredit yang hilang sempat untuk dibobol.
6.  Promo yang menjebak
Promo yang dilakukan penerbit kartu kredit terkadang terkesan menjebak, karena terkadang dapat membuat seseorang menjadi semakin konsumtif karena kemudahannya.


Adapun upaya pencegahan yang bisa dilakukan antara lain :
1.     Mengetahui Semua Fakta Mundurnya Aktivitas Usaha
Saat Bank menyadari bahwa adanya potential problem, Bank pertama-tama harus memastikan seberapa besar dana dan seberapa seriusnya masalah tersebut. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan semua informasi yang ada mengenai status si peminjam. Selanjutnya informasi ini harus dianalisa dengan benar guna menentukan pilihan-pilihan macam apa yang tersedia bagi Bank.
Seluruh dokumen kredit (termasuk jaminan) harus diperiksa kembali untuk memastikan bahwa dokumen-dokumen tersebut telah lengkap dan di-file dengan baik. Setelah Bank memperoleh dan menganalisa sepenuhnya semua informasi yang ada, Bank harus menghubungi si Peminjan. Adalah sangat penting untuk membuat penilaian yang benar mengenai sikap debitur (attitude).
Bank perlu meyakinkan debitur bahwa walaupun Bank bermaksud melindungi kepentingannya, Bank tidak akan mengambil tindakan yang akan merugikan debitur sejauh hal itu dapat dihindari.
2.     Memahami Kekuatan dan Kenyataan Ekonomis
Kunci suksesnya setiap rencana perbaikan adalah apakah debitur akan mampu membayar kembali seluruh pinjamannya dalam waktu yang singkat. Hal ini berarti bahwa Bank harus membicarakan keseluruhan situasi debitur serta mengharuskan debitur agar terbuka dan bersedia menyerahkan semua pembukuannya untuk diperiksa.
Selanjutnya Bank harus membuat proyeksi lengkap mengenai kemampuan membayar kembali pada waktu yang akan datang serta proyeksi penggunaan dan pengeluaran dana (cash flow) debitur.


3.     Bergerak Cepat
Tujuan setiap recovery haruslah untuk memperbaiki posisi keuangan usaha dan untuk meningkatkan kapasitas repayment. Rencana recovery harus memuat tujuan-tujuan yang spesifik dan Bank harus bertindak secara agresif dalam rangka mencapai tujuan-tujuan itu.
Kegiatan ini dapat mencakup proposal kredit restrukturisasi usaha, penyerahan jaminan tambahan, penjualan asset tertentu, perubahan dalam manajemen serta kemungkinan kesepakatan dengan pemberi pinjaman lain (Kreditur lain, Bank-bank lain, dll.)  bila ada.
4.     Pengelolaan Harus Dilaksanakan Secara Berlebihan
Pada umumnya program recovery bersifat jangka panjang dan si debitur mungkin saja akan memerlukan waktu beberapa bulan, bahkan beberapa tahun untuk penyelesaiannya. Selama ini Bank tidak boleh melonggarkan pengawasannya karena memburuknya keadaan dapat terjadi dengan sangan cepat. Bila tidak diketahui secepatnya, hal ini dapat mengakibatkan Bank menderita kerugian dan terpaksa melakukan write-off.


2.2.        DEBT COLLECTOR DAN CARA PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH
Istilah debt  collector  berasal  dari  bahasa  Inggris,  yang jika diterjemahkan  ke dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang, collector artinya pemungut, pemeriksa, penagih, pengumpul. Jadi, debt collector merupakan kumpulan orang/sekumpulan orang yang menjual jasa untuk menagih hutang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka. debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2 bahwa apabila dalam menyelenggarakan kegiatan APMK Penerbit dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur,  dan  kualitas  pelaksanaan  kegiatan  oleh  pihak  lain  tersebut  sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu sendiri.
Penagihan tersebut hanya dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia. Pemahaman istilah debt collector dan penagih hutang tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Sehingga setiap orang atau kelompok orang yang mendapat perintah dari orang lain untuk menagih hutang dapat disebur debt collector atau penagih hutang.
Tata Cara Penagihan oleh Jasa Penagih Utang Pada umumnya dunia collector sering dianggap negatif seperti apa yang dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya. Dunia collector sebenarnya cukup luas dan memiliki cara kerja yang berbeda pula.Cara kerja tersebut,berdasarkan pada lama tunggakan debitur. Cara kerja atau tingkatan collector  secara umum adalah sebagai berikut:

a.  Desk Collector
Pada level bagian penagihan (desk collector), level ini adalah level yang pertama  dari    dunia  collector,    dan    cara    kerja    yang    dilakukan    oleh collector-collector ini adalah hanya mengingatkan tanggal jatuh tempo dari cicilan debitur dan dilakukan dengan media telepon.
b.  Debt Collector
Level  ini  merupakan  kelanjutan  dari  level  sebelumnya,  apabila  ternyata debitur   yang   telah   dihubungi   tersebut   belum   melakukan   pembayaran, sehingga  terjadi  keterlambatan  pembayaran.   Cara   yang  dilakukan   oleh penagih utang (debt collector) pada level ini adalah mengunjungi debitur dengan  harapan  mengetahui  kondisi  debitur  beserta  kondisi  keuangannya. Collector memberikan kesempatan atau tenggang waktu bagi debitur untuk membayar angsurannya, dan tidak  lebih dari tujuh hari   kerja. Meskipun sebenarnya bank memnerikan waktu hingga maksimal akhir bulan dari bulan yang berjalan,karena hal tersebut berhubungan dengan target collector.
c.   Collector Remedial
Apabila   ternyata   debitur masih   belum   melakukan   pembayaran,   maka tunggakan tersebut akan diberikan kepada level yang selanjutnya yaitu juru sita (collector remedial). Pada level ini yang memberikan kesan negatif mengenai dunia collector, karena pada level ini sistem kerja collector adalah dengan cara mengambil barang jaminan (bila kredit yang disepakati memiliki jaminan) debitur. Cara yang dilakukan dan perilaku collector pada level ini tergantung dari tanggapan debitur mengenai kewajibannya, dan menyerahkan jaminannya dengan penuh kesadaran, maka dapat dipastikan bahwa collector tersebut akan bersikap baik dan sopan, begitupun sebaliknya. Yang   dilakukannya   pun bervariasi   mulai   dari   membentak,   merampas   dengan   paksa   dan   lain sebagainya,  dalam  menggertak  debitur.  Namun  apabila  dilihat  dari  segi hukum,   collector   tersebut   tidak   dibenarkan   apabila   sampai   melakukan perkara pidana.

2.3.        PENGATURAN JASA PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) DI INDONESIA
Pada dasarnya jika mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia, penggunaan jasa pihak ketiga diperbolehkan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Namun, untuk melakukan hal ini, terdapat sejumlah ketentuan yang dapat dilihat pada Ketentuan butir VII.D angka 4 menyebutkan bahwa dalam bekerjasama dengan perusahaan penyedia jasa penagihan Kartu Kredit, Penerbit APMK wajib memperhatikan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.    Penagihan Kartu Kredit dengan menggunakan perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat dilakukan terhadap tagihan Kartu Kredit yang telah macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit;
2.    Kualitas pelaksanaan penagihan Kartu Kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan harus sama dengan pelaksaan penagihan Kartu Kredit yang dilakukan sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit;
3.    Tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;
4.    Identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;
5.    Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut:
a.    menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
b.    penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindkaan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;
c.    penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal
d.    penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit;
e.    penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
f.     penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit;
g.    penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang kartu Kredit; dan
h.    penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar pesetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu.
Selain itu, Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa perusahaan jasa penagihan juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK.
Di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 pada Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu, juga dijelaskan mengenai pengaturan mengenai penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan kartu kredit, yang menyatakan bahwa:
Dalam Pasal 17B
(1)   Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit, Penerbit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit.
(2)   Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Dalam hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib menjamin bahwa:
a.    kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit;
b.    pelaksanaan penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk utang kartu Kredit dengan kualitas tertentu.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kualitas utang Kartu Kredit yang penagihannya dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.

Dalam Pasal 21 ayat 1
(1)   Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, maka Penerbit wajib:
a.    memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;
b.    melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK kepada Bank Indonesia;  dan
c.    mensyaratkan kepada pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK untuk menjaga kerahasiaan data informasi.

Selain itu di dalam Booklet Perbankan Indonesia (PBI) Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OJK, terdapat ketentuan yang mengatur tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit yang disebutkan bahwa:
1.    Cakupan penagihan kredit yang dalam ketentuan ini adalah penagihan kredit secara umum, termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan utang kartu kredit;
2.    Penagihan kredit yang dapat dialihkan penagihannya kepada pihak lain adalah kredit dengan kualitas macet sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum;
3.    Perjanjian kerjasama antara bank dan PPJ harus dilakukan dalam bentuk perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja; dan
4.    Bank wajib memiliki kebijakan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.
           




BAB III
PENUTUP

3.1.           KESIMPULAN
1.         Kredit bermasalah adalah kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang telah diperjanjikan sebelumnya sehingga memiliki banyak risiko seperti nasabah akan berhadapan dengan debt collector, terjebak iming-iming promo.
2.         Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, namun terkadang terkesan negatif. Adapun sebenarnya cara kerjanya yakni memiliki tingkatan (a) desk collector, (b) debt collector, (c) collector remedial.
3.         Pengaturan debt collector di Indonesia terdapat dalam pengaturannya terdapat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011, Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014.

3.2.           SARAN
1.  Untuk menjamin agar tidak ada lagi tindak pidana yang di lakukan oleh debt collector maka pelaku harus diproses sampai ke tingkat pengadilan dan memaksimalkan vonis pidana penjara dan pidana denda agar mempunyai efek jera terhadap pelaku.
2.  Penggunaan   debt   collector   sudah   seharusnya   ditinjau   kembali   dengan peraturan yang lebih jelas sehingga kasus pidana tidak terjadi lagi.
3.  Perlu adanya kerja sama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat dalam memberantas tindak pidana yang dilakukan debt collector, masyarakat harus berperan aktif dalam hal ini. Masyarakat harus segera melaporkan jika melihat ada tindak pidana yang dilakukan debt collector.
4.  Langkah yang selanjutnya adalah Bank Indonesia harus melarang pemakaian jasa debt collector agar tidak terjadi lagi kasus tindak pidana, atau setidaknya penagihan dilakukan oleh karyawan bank itu sendiri.







DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.
diakses pada 11 Juni 2017.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar