ABSTRAK
TINJAUAN
YURIDIS DEBT COLLECTOR
TERHADAP KREDIT
BERMASALAH
Oleh
1.
2.
Seiring perkembangan zaman, dunia perbankan kini
semakin memudahkan para nasabahnya yakni dengan mengeluarkan produk baru yaitu
kartu kredit. Namun dengan segala kemudahannya, ternyata juga memiliki risiko.
Risiko yang dihadapi adalah kredit macet atau kredit bermasalah. Untuk
mengatasi hal tersebut, bank akan mengetatkan pengawasan terhadap pembayaran
tagihan nasabah agar tidak melampaui batas jatuh tempo. Tak jarang bank
menggunakan jasa pihak ketiga yaitu debt
collector. Akan tetapi terkadang debt
collector dalam penagihan hutang kartu kredit tersebut menggunakan
cara-cara yang dapat merugikan konsumen dan menjeratnya pada kasus pidana.
Permasalahan dala penelitian ini adalah untuk mngetahui pengaturan terhadap
penggunaan jasa debt collector dalam
penyelesian kredit bermasalah dan faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap
penggunaan jasa debt collector dalam
penaghan kredit bermasalah. Penelitian ini merupakan penelitian library research yang mengkasi berbagai
dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undnagan (statue approach). Bahan hukum yang
digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan non-bahan hukum. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan debt
collector dalam penyelesaian kredit bermasalah diperbolehkan dan
pengaturannya terdapat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012,
Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012, Peraturan Bank Indonesia No.
13/25/PBI/2011, Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014.
Kata kunci :
debt collector, kredit bermasalah,
penagihan kredit.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Seiring
berkembangnya teknologi dan informasi, Bank kini semakin meningkatkan pelayanan
dan menawarkan berbagai macam kemudahan, apalagi saat ini kebutuhan masyarakat
terhadap barang dan jasa semakin meningkat. Kegiatan perbankan yang awalnya
hanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat kini semakin
berinovasi, dan yang kian marak yakni bank menghadirkan suatu sistem pembayaran
yang biasa kita sebut kredit (kartu kredit), yang sekarang ini menjadi trend
gaya hidup kalangan menengah keatas.
Namun, yang memprihatinkan adalah semakin meningkatnya
angka kredit bermasalah atau yang biasa disebut kredit macet pada Perbankan
Indonesia. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik
perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya
yakni minimum pembayaran yang telah jatuh tempo lebih dari 3 bulan. Di dunia
perbankan, kredit macet lebih dikenal dengan nama Non-Performing Loan (NPL). Istilah ini mungkin
terdengar asing, tapi sangat penting sekali untuk bank untuk menjaga NPL
mereka. NPL menjadi indikator dalam menilai kinerja suatu bank. Jika NPL
rendah, maka bank tersebut terbilang sehat. Jika NPL tinggi maka resiko yang
dipikul oleh bank tersebut tinggi. Jika NPL mereka diatas batas yang sudah
diforecast sebelumnya maka bank tersebut bisa dibilang bermasalah. Kredit
macet tidak menjadi masalah jika satu atau dua debitur saja yang tidak disiplin
dalam membayar cicilan pinjaman kartu kredit mereka, tapi kalau jumlah pengguna
kartu kredit yang banyak dalam waktu yang hampir bersamaan tidak membayar
cicilan mereka maka NPL dari bank tersebut akan naik. Berbagai upaya telah
ditempuh pemerintah untuk menekan kuantitas kredit macet di lembaga perbankan.
Pemerintah pernah membentuk Tim Supervisi Kredit Bermasalah Bank Pemerintah
guna memantau penyelesaian kredit macet. Kemudian diluncurkan program sistem
informasi kredit (SIK) antarbank untuk mengetahui nasabah (debitur) yang
mempunyai catatan buruk karena pernah memacetkan kredit.
Manakala langkah preventif mengalami kebuntuan dalam
menyelesaikan kredit macet, ditempuhlah upaya represif yaitu diselesaikan
melalui pengadilan. Upaya tersebut dilakukan mengingat pengadilan merupakan
benteng terakhir bagi setiap orang untuk menyelesaikan segala persoalan,
termasuk kredit macet.
Sebelum ditempuh jalur pengadilan, biasanya bank mencoba
mengupayakan penyelesaian secara musyawarah dengan melakukan rescheduling,
reconditioning, dan restructuring terhadap perusahaan (debitur) penunggak
kredit. Apabila upaya tersebut tidak juga berhasil, tidak tertutup kemungkinan
diselesaikan melalui jalur hukum dengan melibatkan institusi pengadilan.
Akan
tetapi, dewasa ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kasus penagihan utang terhadap debitur
oleh kreditur dengan memakai penagih utang (debt collector) dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan.
Penunggak yang tidak mampu melunasi tagihannya, penagih utang ( debt collector) yang diperintah oleh bank terhadap kredit yang bermasalah akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak
bergerak sebagai jaminan. Apabila penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan, Namun bila tidak di lunasi
tentu saja barang itu akan lenyap. Selain itu juga tidak jarang penagih hutang (debt
collector) melakukannya dengan menggunakan ancaman dan kekerasan.
Di lain pihak, alasan utama
mengapa sebuah perusahaan menggunakan jasa debt collector untuk menarik piutang
tak tertagih, utamanya karena angka kredit macet yang tinggi. Memang ada jalan
lain seperti melalui pengadilan, namun selain memerlukan waktu yang panjang,
juga ada biaya tambahan yang terkadang justru tak sebanding dengan hasilnya.
Perbuatan debt collector yang dapat dikategorikan tindak pidana (jika telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada
dalam KUHP), seperti diantaranya :
1) Jika penagih hutang (debt collector) tersebut melakukan pengrusakan terhadap
barang-barang
milik
nasabah;
2) Jika penagih hutang (debt collector)
tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan;
3) Selain itu,
bisa juga
digunakan
Pasal 335 ayat
(1)
KUHP tentang
perbuatan tidak menyenangkan.
Penggunaan jasa
pihak
ketiga
(debt collector) pada
dasarnya merupakan
pihak yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada konsumen. Adakalanya pula debt collector tidak
bekerja dengan profesional seperti yang diharapkan oleh bank.Terkadang untuk mendapatkan hutang yang ditagihnya mereka
melakukan tindakan melawan hukum sehingga menimbulkan
kerugian bagi nasabah yang ditagih
hutangnya tersebut.
Menyikapi pro dan kontra
soal keberadaan debt collector, perlu ditelusuri duduk persoalannya.
Masalahnya, hingga kini belum diperoleh jalan terbaik bagi yang bersengketa.
Dengan semakin menjamurnya berbagai bentuk transaksi bisnis yang melibatkan
pihak seperti perusahaan maupun individu, tentu harus dipersiapkan perangkat
peraturan hukum untuk menghindari kerugian di salah satu pihak.
Berdasarkan
uaraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Debt
Collector Terhadap Kredit Bermasalah.”
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian
di
atas, maka dapat
dirumuskan
masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Apa sajakah
risiko pada saat menggunakan kartu kredit?
2. Bagaimanakah
tata cara penagihan oleh debt collector?
3. Bagaimanakah
pengaturan debt collector di Indonesia?
1.3.
KERANGKA TEORI
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere, yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya. Sedangkan Subarjo Joyosumarto
merumuskan kredit macet sebagai berikut:
a. Kredit yang angsuran
pokok dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 masa angsuran
ditambah 21 bulan.
b. Penyelesaiannya telah
diserahkan kepada pengadilan/BUPLN.
c. Penyelesaiannya telah
diajukan ganti kerugian kepada perusahaan asuransi kredit.
Kredit macet selalu
dilihat dan diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Kolektibilita
adlah keadaan pembayaran pokok (angsuran poko) dan bunga kredit oleh nasabah
(debitur) serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut.
Kolektibilitas kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum pada pasal 12 ayat 3.
Secara
hukum, penggunaan jasa pihak ketiga (debt
collector) untuk menyelesaikan kredit macet di dalam perbankan
diperbolehkan, dan keberadaannya telah diatur dalam Surat edaran Bank Indonesia
No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Katu (APMK) ketentuan butir VII.D angka 4, Peraturan Bank Indonesia
No. 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Lehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada Bab II tentang
Alih Daya (outsourching), Peraturan
Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu pada pasal 17B dan pasal 21 ayat 1, dan Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014
yang dikeluarkan oleh OJK, mengenai Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang
melakukan penyerahan sebagian Pelaksaan Pekerjaan kepada Pihak lain pada bagian
Prinsip Kehati-hatian dalam Penyerahan Pekerjaan Penagih Kredit.
1.4.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan working paper ini, penulis menggunakan
metode penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditijau melalui
aspek hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan
atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang
akurat tentang peristiwa konkret yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini
dilakukan dan ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta
menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan working
paper ini.
Sedangkan bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk menentujan frekuensi suatu gejala yang dalam hal ini yaitu
memberikan data mengenai pengaturan penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian
kredit bermasalah.
BAB
II
ANALISIS
DAN PEMBAHASAN
2.1.
RISIKO
PENGGUNAAN KARTU KREDIT
Kredit bermasalah
adalah kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang telah
diperjanjikan sebelumnya, misalnya persyaratan mengenai pembayaran bunga,
pengambilan pokok pinjaman, peningkatan margin deposit, pengikatan dan
peningkatan agunan dan sebagainya.
Bagi nasabah
yang memiliki kartu kredit, tidak dipungkiri terdapat beberapa risiko yang
dialami pada saat menggunakan karti kredit tersebut. Sebagaimana ada keuntungan
dari pemakaian pasti ada pula kerugian dari suatu pemakaian kartu kredit.
Risiko-risiko kerugian yang dapat dialami oleh nasabah yaitu seperti :
1. Apabila
terjadi kredit macet
a. Nasabah akan
berhadapan dengan debt collector
Debt collector biasanya berfisik menyeramkan dan menakutkan, bicaranya pun
keras dan kasar. Penggunaan jasa pihak ketiga ini merupakan usaha bank untuk
mengembalikan dana.
b. Namanya akan
terdaftar dalam daftar negatif yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kartu Kredit
Indonesia (AKKI) dan kredit macet dalam Sistem Informasi Debitur yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Guna mencegah dan menurunkan jumlah kartu
kredit macet, AKKI mengelola sebuah sistem informasi untuk menyimpan profil
para debitur. Melalui sistem ini, sebelum menindaklanjuti permohonan calon
debitur masing-masing anggota akan terlebih dahulu mengecek profil dalam sistem
tersebut dengan maksud apabila nasabah termasuk dalam daftar maka permohonan
kartu kreditnya akan ditolak.
c. Huang akan
terus bertambah, dari hasil perhitungan bunga berikut denda.
2. Kemungkinan
adanya trik-trik perampokan secara halus
Modus operandi untuk tujuan tersebut dapat dilihat dari cara-cara penerbit
kartu kredit mempersulit nasabah yang ingin menghentikan kartu kredit. Sangat
sering nasabah merasa kesulitan untuk menutup rekening khusus bagi mereka yang
tidak ingin memperpanjang masa aktif.
3. Data pribadi
dapat beredar ke pihak lain
Data pribadi nasabah yang seharusnya dijaga dengan baik dapat beredar ke
pihak lain untuk menjadi target pasar pihak lain.
4. Iming-iming
yang tidak sesuai dengan realisasi
Untuk mengoptimalkan program, penerbit kartu kredit sering menjanjikan
suatu iming-iming. Baik berupa hadiah, fasilitas, voucher, diskon atau yang
lainnya. Namun tak jarang iming-iming tersebut tidka sesuai dengan yang
dijanjikan.
5. Laporan
kehilangan tidak segera di respon
Dalam merespon laporan kehilangan kartu kredit oleh nasabahnya, penerbit
kartu kredit terkadang tidak cepat tanggap sehingga membuat kartu kredit yang
hilang sempat untuk dibobol.
6. Promo yang
menjebak
Promo yang dilakukan penerbit kartu kredit terkadang terkesan menjebak,
karena terkadang dapat membuat seseorang menjadi semakin konsumtif karena
kemudahannya.
Adapun upaya pencegahan yang bisa dilakukan antara
lain :
1. Mengetahui Semua Fakta
Mundurnya Aktivitas Usaha
Saat Bank menyadari bahwa adanya potential problem, Bank
pertama-tama harus memastikan seberapa besar dana dan seberapa seriusnya
masalah tersebut. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan usaha yang
sungguh-sungguh untuk mendapatkan semua informasi yang ada mengenai status si
peminjam. Selanjutnya informasi ini harus dianalisa dengan benar guna
menentukan pilihan-pilihan macam apa yang tersedia bagi Bank.
Seluruh dokumen kredit (termasuk
jaminan) harus diperiksa kembali untuk memastikan bahwa dokumen-dokumen
tersebut telah lengkap dan di-file dengan baik. Setelah Bank memperoleh dan
menganalisa sepenuhnya semua informasi yang ada, Bank harus menghubungi si Peminjan.
Adalah sangat penting untuk membuat penilaian
yang benar mengenai sikap debitur (attitude).
Bank perlu meyakinkan
debitur bahwa walaupun Bank bermaksud melindungi kepentingannya, Bank tidak
akan mengambil tindakan yang akan merugikan debitur sejauh hal itu dapat
dihindari.
2.
Memahami Kekuatan dan Kenyataan Ekonomis
Kunci suksesnya setiap rencana perbaikan adalah apakah debitur akan mampu
membayar kembali seluruh pinjamannya dalam waktu yang singkat. Hal ini berarti
bahwa Bank harus membicarakan keseluruhan situasi debitur serta mengharuskan
debitur agar terbuka dan bersedia menyerahkan semua pembukuannya untuk
diperiksa.
Selanjutnya Bank harus membuat proyeksi lengkap mengenai kemampuan membayar
kembali pada waktu yang akan datang serta proyeksi penggunaan dan pengeluaran
dana (cash flow) debitur.
3.
Bergerak Cepat
Tujuan setiap recovery haruslah untuk memperbaiki posisi
keuangan usaha dan untuk meningkatkan kapasitas repayment.
Rencana recovery harus memuat tujuan-tujuan yang spesifik dan
Bank harus bertindak secara agresif dalam rangka mencapai tujuan-tujuan itu.
Kegiatan ini dapat mencakup proposal kredit restrukturisasi usaha,
penyerahan jaminan tambahan, penjualan asset tertentu, perubahan dalam
manajemen serta kemungkinan kesepakatan dengan pemberi pinjaman lain (Kreditur
lain, Bank-bank lain, dll.) bila ada.
4.
Pengelolaan Harus Dilaksanakan Secara Berlebihan
Pada umumnya program recovery bersifat
jangka panjang dan si debitur mungkin saja akan memerlukan waktu beberapa
bulan, bahkan beberapa tahun untuk penyelesaiannya. Selama ini Bank tidak boleh
melonggarkan pengawasannya karena memburuknya keadaan dapat terjadi dengan
sangan cepat. Bila tidak diketahui secepatnya, hal ini dapat mengakibatkan Bank
menderita kerugian dan terpaksa melakukan write-off.
2.2.
DEBT
COLLECTOR DAN CARA PENAGIHAN KREDIT BERMASALAH
Istilah debt
collector berasal dari bahasa
Inggris,
yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang, collector artinya
pemungut, pemeriksa, penagih,
pengumpul. Jadi, debt collector merupakan
kumpulan orang/sekumpulan orang yang menjual jasa untuk menagih hutang
seseorang atau
lembaga yang
menyewa jasa mereka. debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit. Hal ini
tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2 bahwa apabila dalam menyelenggarakan kegiatan APMK
Penerbit dan/atau Financial Acquirer
melakukan kerjasama dengan pihak lain di
luar Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa
tata cara, mekanisme,
prosedur, dan
kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak
lain tersebut
sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila kegiatan tersebut
dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer
itu sendiri.
Penagihan
tersebut hanya dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah
termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang
digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.
Pemahaman istilah debt collector dan penagih hutang tidak terdapat perbedaan
yang signifikan. Sehingga setiap orang atau kelompok orang yang
mendapat
perintah dari orang
lain
untuk menagih hutang
dapat disebur debt collector atau penagih
hutang.
Tata Cara
Penagihan oleh Jasa Penagih Utang Pada umumnya dunia collector sering dianggap negatif seperti apa yang dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya. Dunia collector sebenarnya cukup luas dan memiliki cara kerja yang
berbeda pula.Cara kerja tersebut,berdasarkan pada lama tunggakan debitur. Cara
kerja atau tingkatan collector secara umum adalah
sebagai berikut:
a. Desk
Collector
Pada
level bagian penagihan (desk collector), level ini adalah
level yang pertama
dari dunia
collector,
dan cara kerja
yang dilakukan oleh collector-collector ini adalah hanya mengingatkan tanggal jatuh tempo
dari cicilan debitur
dan dilakukan dengan media telepon.
b. Debt Collector
Level ini merupakan kelanjutan
dari level sebelumnya, apabila ternyata debitur yang
telah dihubungi tersebut
belum melakukan pembayaran,
sehingga terjadi keterlambatan pembayaran. Cara yang
dilakukan
oleh penagih utang
(debt collector) pada level ini adalah mengunjungi debitur
dengan harapan mengetahui kondisi debitur beserta kondisi keuangannya. Collector
memberikan kesempatan atau tenggang waktu bagi debitur untuk membayar angsurannya, dan tidak lebih
dari tujuh hari kerja. Meskipun
sebenarnya bank memnerikan waktu hingga maksimal akhir bulan dari bulan
yang berjalan,karena hal tersebut berhubungan
dengan target collector.
c. Collector
Remedial
Apabila ternyata debitur masih belum melakukan pembayaran, maka
tunggakan tersebut akan diberikan kepada level yang selanjutnya yaitu juru
sita (collector remedial).
Pada
level ini yang memberikan kesan negatif mengenai dunia
collector, karena pada level ini sistem kerja collector adalah
dengan cara mengambil barang jaminan
(bila kredit yang disepakati memiliki
jaminan) debitur. Cara yang
dilakukan dan perilaku collector pada level ini
tergantung dari tanggapan debitur mengenai kewajibannya, dan menyerahkan
jaminannya dengan penuh kesadaran, maka dapat dipastikan bahwa collector tersebut akan bersikap baik dan sopan, begitupun sebaliknya. Yang
dilakukannya pun
bervariasi
mulai dari
membentak, merampas dengan paksa dan lain sebagainya,
dalam menggertak debitur.
Namun
apabila dilihat
dari
segi hukum, collector
tersebut tidak dibenarkan apabila sampai melakukan perkara
pidana.
2.3.
PENGATURAN
JASA PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) DI INDONESIA
Pada
dasarnya jika mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia, penggunaan jasa pihak
ketiga diperbolehkan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu. Namun, untuk melakukan hal ini, terdapat sejumlah
ketentuan yang dapat dilihat pada Ketentuan butir VII.D angka 4 menyebutkan
bahwa dalam bekerjasama dengan perusahaan penyedia jasa penagihan Kartu Kredit,
Penerbit APMK wajib memperhatikan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Penagihan
Kartu Kredit dengan menggunakan perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat
dilakukan terhadap tagihan Kartu Kredit yang telah macet berdasarkan kriteria
kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas
kredit;
2. Kualitas
pelaksanaan penagihan Kartu Kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan
harus sama dengan pelaksaan penagihan Kartu Kredit yang dilakukan sendiri oleh
Penerbit Kartu Kredit;
3. Tenaga
penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas
penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;
4. Identitas
setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;
5. Tenaga
penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan
sebagai berikut:
a. menggunakan
kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi
dengan foto diri yang bersangkutan;
b. penagihan
dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindkaan
yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;
c. penagihan
dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal
d. penagihan
dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit;
e. penagihan
menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang
bersifat mengganggu;
f. penagihan
hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu
Kredit;
g. penagihan
hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu
alamat Pemegang kartu Kredit; dan
h. penagihan
di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g)
hanya dapat dilakukan atas dasar pesetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang
Kartu Kredit terlebih dahulu.
Selain itu, Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan
bahwa perusahaan jasa penagihan juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan
oleh asosiasi penyelenggara APMK.
Di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 pada
Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan menggunakan kartu, juga dijelaskan mengenai pengaturan mengenai
penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan kartu kredit, yang menyatakan
bahwa:
Dalam Pasal 17B
(1) Dalam
melakukan penagihan Kartu Kredit, Penerbit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan
utang Kartu Kredit.
(2) Penerbit
Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang Kartu Kredit, baik yang
dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan penyedia jasa
penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan bank Indonesia serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam
hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib menjamin bahwa:
a. kualitas
pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit;
b. pelaksanaan
penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk utang kartu Kredit dengan kualitas
tertentu.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kualitas utang Kartu Kredit yang penagihannya
dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Dalam
Pasal 21 ayat 1
(1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan
pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, maka
Penerbit wajib:
a. memenuhi
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank
yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;
b. melaporkan
rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain yang menyediakan jasa
penunjang dalam penyelenggaraan APMK kepada Bank Indonesia; dan
c. mensyaratkan
kepada pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK
untuk menjaga kerahasiaan data informasi.
Selain itu di dalam Booklet Perbankan Indonesia (PBI)
Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OJK, terdapat ketentuan yang mengatur tentang
Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian dalam
Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit yang disebutkan bahwa:
1. Cakupan
penagihan kredit yang dalam ketentuan ini adalah penagihan kredit secara umum,
termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan utang kartu kredit;
2. Penagihan
kredit yang dapat dialihkan penagihannya kepada pihak lain adalah kredit dengan
kualitas macet sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kualitas aset
Bank Umum;
3. Perjanjian
kerjasama antara bank dan PPJ harus dilakukan dalam bentuk perjanjian
penyediaan jasa tenaga kerja; dan
4. Bank
wajib memiliki kebijakan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
1.
Kredit bermasalah adalah kredit dimana
debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang telah diperjanjikan sebelumnya
sehingga memiliki banyak risiko seperti nasabah akan berhadapan dengan debt
collector, terjebak iming-iming promo.
2.
Debt collector adalah pihak ketiga yang
menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, namun terkadang terkesan negatif. Adapun
sebenarnya cara kerjanya yakni memiliki tingkatan (a) desk collector, (b) debt
collector, (c) collector remedial.
3.
Pengaturan debt collector di Indonesia terdapat dalam pengaturannya
terdapat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012, Peraturan Bank
Indonesia No. 14/2/PBI/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011,
Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014.
3.2.
SARAN
1. Untuk menjamin agar tidak ada lagi tindak pidana yang di lakukan oleh debt
collector maka
pelaku harus diproses sampai ke tingkat pengadilan dan
memaksimalkan vonis pidana
penjara dan pidana denda agar mempunyai efek jera terhadap pelaku.
2. Penggunaan debt
collector sudah seharusnya ditinjau kembali
dengan
peraturan yang
lebih jelas sehingga kasus
pidana tidak terjadi lagi.
3. Perlu
adanya kerja sama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat dalam memberantas tindak pidana yang dilakukan debt collector, masyarakat
harus berperan aktif dalam hal ini. Masyarakat harus segera
melaporkan jika
melihat ada tindak pidana yang
dilakukan debt collector.
4. Langkah
yang selanjutnya adalah Bank Indonesia harus melarang pemakaian jasa debt collector agar
tidak terjadi lagi kasus tindak pidana, atau setidaknya penagihan dilakukan oleh
karyawan bank itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang – Undang No. 10 Tahun
1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Peraturan
Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.
diakses
pada 11 Juni 2017.
https://www.cermati.com/artikel/kredit-macet-pengertian-ilustrasi-dan-efek-negatifnya diakses pada 11 Juni 2017.
http://aa-partners.blogspot.co.id/2011/04/pro-kontra-profesi-debt-collector.html diakses pada 11 Juni 2017.
http://abg01.blogspot.co.id/2014/08/pengertian-kredit-macet-penyebab-dan.html diakses pada 12 Juni 2017.
http://metalwareonline.com/kredit-macet-bagaimana-cara-mencegah-dan-mengatasinya/ diakses pada 12 Juni 2017.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kredit-bermasalah-definisi.html diakses pada 12 Juni 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar