BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum
menghendaki adanya peraturan-peraturan yang jelas untuk mengatur tata kehidupan
rakyatnya agar tercipta kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Ada beberapa
instrumen hukum di Indonesia, salah satunya adalah hukum pidana. Supaya
keadilan dapat tercipta di masyarakat, tidak cukup hukum itu hanya dituangkan
dalam peraturan tertulis, tetapi harus dilihat juga realita di masyarakat
bagaimana hukum itu bekerja apakah sudah benar-benar sesuai dengan keadilan di
masyarakat ataukah belum. Dalam hukum pidana, untuk mengetahui bagaimana
realita di masyarakat (hukum pidana empirik) dapat diketahui salah satunya
dengan ilmu kriminologi.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Menurutnya, kejahatan dapat terjadi karena banyak sebab seperti faktor lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat jahat ataupun keadaaan jiwa pelaku yang mungkin tidak normal. Sehingga, sebenarnya kejahatan itu tidak semuanya dilakukan oleh orang yang jahat. Ada orang-orang yang sebenarnya tidak jahat, tetapi karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya dia jadi berbuat jahat. Hal ini serupa dengan kasus pembunuhan yang terjadi di Manokwari pada tanngal 31 November 2016 dimana pembunuhan ini dilakukan oleh residivis yang menjadi target operasi Polres Manokwari karena pada bulan September lalu juga melakukan pembunuhan secara mengenaskan kepada almarhum Sarlota Thebu, gadis berusia 17 tahun di Gunung Tabakar Kampung Kabare Distrik Waigeo Utara kabupaten Raja Ampat.
. Kita tidak bisa secara langsung mengatakan bahwa
seseorang tersebut jahat, karena memang harus dilihat lebih dalam lagi mengapa
sebenarnya anak tersebut bisa berbuat seperti itu, pasti ada banyak faktor yang
menyebabkannya. Oleh karena itu, penting sekali menganalisis sebab-sebab
kejahatan yang dilakukan anak tersebut dari aspek kriminologi supaya kedepan
tidak terjadi lagi kejadian-kejadian seperti dalam kasus tersebut.
.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah faktor-faktor penyebab tersangka mengulangi kejahatan
yang telah dilakukannya?
2. Apakah upaya yang dilakukan oleh penegak hukum di Kota
Manokwari untuk menanggulangi residivis tersebut?
1.3.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tersangka mengulangi kejahatan yang telah
dilakukannya;
2. Upaya yang dilakukan oleh penegak hukum di Kota Manokwari
untuk menanggulangi residivis tersebut.
1.4.
MANFAAT
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a.
Kegunaan Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat di jadikan
sebagai bahan kepuastkaan dan bahan referensi hukum bagi mereka yang berminat
pada kajian-kajian ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
b.
Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada instansi-instansi terkait,
khususnya aparat penegak hukum mengenai untuk mencegah seseorang melakukan
kejahatan berulang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. CONTOH KASUS
Terduga Pembunuh 2 Mahasiswa Unipa Manokwari, Diringkus 90 Meter Dari Lokasi Kejadian, Rabu Malam
Agustinus Awom, terduga kuat pelaku pembunuhan terhadap 2 orang mahasiswa Unipa Manokwari, berhasil diciduk aparat Reskrim Polres Manokwari, rabu malam (02/11) sekitar pukul 21.00 wit.
Hal ini dibenarkan Kasat Reskrim Polres Manokwari, AKP Aries Diego Kakori, ketika dikonfirmasi oleh Nabire.Net rabu malam. Menurut AKP Aries Kakori, tersangka Agustinus Awom, ditangkap warga dan aparat sekitar pukul 21.00 wit, 90 meter dari lokasi kejadian pembunuhan.
Agustinus Awom (Tinus) adalah residivis yang menjadi target operasi Polres Manokwari karena pada bulan september lalu juga melakukan pembunuhan secara mengenaskan kepada almarhum Sarlota Thebu, gadis berusia 17 tahun di Gunung Tabakar Kampung Kabare Distrik Waigeo Utara kabupaten Raja Ampat.
Agustinus sendiri merupakan dugaan kuat aparat Polres Manokwari sebagai pelaku dibalik tewasnya 2 mahasiswa UNIPA Manokwari, Agustinus Aun dan Tasya Sapulete pada senin lalu (31/10).
Namun AKP Aries Kakori mengatakan, pihaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah pada pemeriksaan tersangka Agustinus Awom.
[Nabire.Net]
B.
RESIDIVIS
1. Pengertian Residivis
Recidive atau peluang tindak pidana
terjadi dalam
hal seseorang yang melakukan
suatu tindakan pidana dan telah dijatuhi
pidana dengan sesuai putusan hakim yang tepat (inkrachtvan gewijsde), kemudian melakukan suatu tindakan pidana lagi. Jadi dalam Recidive,
sama halnya
dengan Concursus Realis,
seseorang melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaanya ialah bahwa pada recidive
sudah ada putusan
hakim yang berkekuatan tetap yang berupa pemindaan terhadap tindak pidana
yang dilakukan terdahulu
atau sebelumnya.Recidive nerupakan
alasan untuk memperkuat pemidanaan.
Menurut M.Marwan(2009-273) residivis adalah
:
Orang yang sudah pernah dihukum tetapi mengulangi tindakan pidana yang serupa. Penjahat kambuhan, orang yang dalam jangka
waktu tertentu melakukan
lebih dari satu tindak pidana, tapi ia pernah dijatuhi pidana karena salah satu tindak pidana, seseorang yang telah melakukan
kejahatan dan telah dijatuhi hukuman dan telah dijalani,
kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap jenis kejahatan maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberat
hukuman.
Menurut Djallnus Syah dan Azimar
Emong(1979:399), pengertian residivis
adalah orang
yang sudah
dihukum akan
tetapi masih
saja melakukan
kejahatan meskipun kejahatan yang dilakukan itu tidak serupa. Budiono (2007:416)menyatakan bahwaresidivis adalah kecenderungan individu atau sekolompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu.
Selanjutnya residivisme juga diartikan oleh Rudi Haryono
(2005:215) sebagai orang yang telah menjalankan kejahatan
kembali. Sedangkan
residivis adalah orang yang pernah melakukan suatu kejahatan yang sama.
Wirjono Protjodikoro (2003:146:147) mengemukakan apabilah seseorang telah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan dan kemudian
setelah selesai
menjalani hukuman, melakukan
suatu kejahatan lagi, maka kini ada seorang
yang dinamakan residivis.
Mustafa Abdulahdan Ruben Ahmad (1983:63)
mengemukakan, dalam ilmu hukum pidana moderen dikenal recidive
yang lain yakni :
a. Pengulangan
kebetulan atau terpaksa (accidentele recidive)
b. Pengulangan berdasarkan kebiasaan (habituele recidive)
Dalam hal accidentele recidive tidak diperlukan peraturan pemindaan yang khusus (peraturan recidive), sudah cukup pemindaan peraturan biasa tanpa pemindaan sepertiga meskipun pidana pokok. Sebaliknya dalam hal habituele
recidive karena si pembuat
itu ternyata sudah membiasakan
diri untuk melaksanakan peristiwa pidana.
Selain dasar-dasar yang bersifat umum untuk menambah hukum
menurut recidive yang dimuat
dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat juga penambahan hukuman atas dasar recidive
seperti pada Pasal 173 (2), Pasal 216 (3), Pasal 489 (2), Pasal 532 (2), (3),dan (4), pada pasal-pasal itu tenggang waktu
yang lebih singkat
dari yang tetapkan
dalam pasal 486,487,
dan 488 tesebut diatas dari cara-cara tindakan (operasional).
2. Jenis-jenis Residivis
Ada beberapa jenis residivis apabila ditinjau dari sudut penempatan ketentuan pidana untuk pengulangan (residivisme), dapat diperbedakan antara:
a.
Ketentuan umum mengenai pengulangan,
biasanya ditempatkan di dalam ketentuan umum (di KUHP tidak diatur),
b.
Ketentuan khusus mengenai pengulangan. Penempatannya di suatu Bab atau beberapa pasal akhir dari suatu buku (di KUHP pada buku ke II) Atau
di suatu pasal dari suatu bab
tindak pidana.
c.
Ketentuan yang lebih khusus lagi mengenai pengulangan. Ia hanya berlaku untuk pasal yang bersangkutan, atau untuk beberapa pasal yang mendahuluinya (di KUHP pada buku ke III).
Apabila ditinjau dari sudut jenis tindak pidana yang diulangi
maka dapat diperbedakan antara:
1.
Pengulangan (residivis) umum, yaitu tidak dipersoalkan jenis/macam tindak pidana yang terdahulu yang telah dijatuhi pidana, dalam perbandingannya dengan tindak pidana yang di ulangi, misalnya
pada tahun 1973 A melakukan
pembunuhan. Ia dipidana 3 tahun dan telah menjalaninya. Setelah itu pada tahun 1977 ia melakukan pencurian. Hal ini adalah merupakan
pengulangan, dalam hal ini melakukan
pengulangan tindak pidana.
2.
Pengulangan khusus, yaitu apabila tindak pidana yang diulangi itu sama atau sejenis. Kesejenisan itu misalnya:
a.
Kejahatan terhadap keamanan negara: makar untuk membunuh Presiden, penggulingan pemerintahan, pemberontakan dan lain sebagainya;
b.
Kejahatan terhadap tubuh/nyawa orang: penganiayaan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa dan lain sebagainya;
c.
Kejahatan terhadap kehormatan: penghinaan, penistaan, dan lain sebagainya;
d.
Kejahatan terhadap kesusilaan: pemerkosaan, perzinahan dan lain sebagainya;
e.
Kejahatan terhadap harta benda: pemerasan, pencurian, penggelapan, penipuan dan lain sebagainya.
Perbedaan antara pengulangan dari perbarengan, terutama terletak pada: sudah ada atau tidaknya salah satu tindak pidana itu disidangkan/dijatuhi pidana oleh hakim. Dalam hal sudah ada, maka ia berbentuk pengulangan, sedangkan dalam hal belum ada kita bicara
mengenai bangunan perbarengan. Selain dari pada itu, untuk residiv tidak ada persoalan
mengenai tindakan tunggal yang menyebabkan dilanggarnya dua ketentuan pidana. (E.Y.
Kanter dan S.R. Sianturi, 2002:410)
3. Faktor Penyebab Residivis.
Faktor pengulangan tindak kejahatan yang sama (residivisme) walaupun pernah
menjadi narapidana atau tahanan di Lembaga Permasyarakatan,
hal ini disebabkan
pola
pembinaan yang ada di
Lembaga Permasyarakatan tersebut tidak membawa kesan yang posotif bagi pelaku tindak kejahatan tersebut. Adanya faktor pengulangan tindak kejahatan yang sama (residivisme) yaitu:
a.
Adanya sikap ketidak mautahuan anggota keluarga dari narapidana atau tahanan, karena adanya pemikiran dari anggota keluarga para narapidana atau tahanan tersebut yang menganggap tindakan narapidana atau tahanan tersebut sebagai orang buangan atau sampah masyarakat.
b.
Sangat diharapkan adanya partisipasi atau peran aktif dari masyarakat untuk menerima kembali bekas narapidana ke masyarakat atau lingkungan tempat
tinggalnya, karena masih adanya pemikiran dari sebagian masyarakat bahwa para narapidana tersebut
merupakan sampah dari masyarakat, jadi harus
dijauhi dan dikucilkan atau diasingkan.
c. Perlu adanya peningkatan kerjasama dengan instansi
tertentu baik yang terkait
secara langsung, karena masih adanya diantara instansi-instansi pemerintahan ataupun pihak swasta yang masih kurang bersedia menerima para narapidana tersebut untuk bekerja dalam rangka
menambah bekal dikemudian hari
setelah para narapidana tersebut dibebaskan.
4. Sistem Pidana pada Residivis
Terkait mengenai pemberatannya, dalam buku I Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai ketentuan umum,
masalah residivis
tidaklah diatur
secara spesifik
dalam pasal maupun bab tersendiri khusus dalam Buku II KUHP, yaitu Bab XXXI, yang berjudul “ Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagi BAB”.
Pasal 486:
“Pidana penjara
yang ditentukan
dalam
Pasal 127,
204
ayat
pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363,
365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang
di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383,
385-388, 397, 399,
400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua,
365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambahkan dengan sepertiga, jika yang
bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau
sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena
salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholde) atau jika pada waktu melakukan
kejahatan, kewenangan menjalankan
pidana tersebut belum daluwarsa.”
Pasal 487:
“Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama,131, 133, 140 ayat pertama,
353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, Pasal 140 ayat kedua dan ketiga,
339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga,
107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga,
137 dan 138
KUHP Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika padawaktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan
pidana tersebut belum daluwarsa.”
Pasal 488:
“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208,
310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan pada
pasal itu, atau sejak pidana
tersebut baginya sama sekali
telah dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.” (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 486, 487, 488.)
Dari ketentuan pasal-pasal yang telah disebut diatas, maka untuk pelaku pengulangan tindak pidana (residivis) akan dikenakan tambahan sepertiga dari ancaman pidana maksimal dari tindak pidana yang dilakukannya.
C.
UPAYA
PENANGGULANGAN
Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma- norma agama, norma moral. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan oleh aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.Namun, karena kejahatan langsung
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, karena setiap orang memdambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan
damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan
pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut.
Menurut Hoefnangeis (Arif Gosita, 2004:2) upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara:
a) Criminal application : (penerapan hukum pidana)
Contohnya : penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimalkan yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan
maupun petusannya.
b)
Preventif Without punishment
: (pencegahan tanpa pidana) Contohnya : dengan
menerapkan hukuman maksimal
pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung
memberikan prevensi (pencegahan)kepada
public walaupun ia tidak dikenalkan hukuman atau shock therapy kepada masyarakat.
c)
Influencing views of society on crime an punishment (mass media mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pandangan lewat mass media).
Contohnya : mengsosialisasikan suatu
undang-undang dengan memberikan gambaran tentang bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.
Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti
menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan.Batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi
segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.
Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit.Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat
sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Peran pemerintah begitu luas, maka kunci dan strategis dalam mananggulangi kejahatan meliputi (Arief Gosita, 2004:4),
ketimpangan sosial, deskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, penanggulangan dan kebodohan diantara golongan besar penduduk, bahwa upaya penghapusan sebab dan kondisi
menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan
yang mendasar.
Secara sempit lembaga yang bertanggungjawab atas usaha pencegahan adalah polisi.Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mangakibatkan tidak efektifnya tugas mereka.Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana
yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan.Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat
diharapkan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG RESIDIVIS
Beberapa faktor yang pendorong tindak pidana residivis
antara lain :
1. Lingkungan
Pergaulan
Faktor lingkungan
pergaulan sangat berpengaruh
terhadap perilaku seseorang.
Lingkungan yang buruk
dan terdapat banyak pengangguran, rawan dalam hal
kejahatan, merupakan salah satu faktor pendukung lahirnya
bentuk kejahatan dikarenakan tinggal
dalam lingkungan yang sama.
Tindak kejahatan/pelanggaran yang
menonjol sebagai akibat dari pergaulan lingkungan yang kurang aman yang
sering terjadi pembunuhan, penganiayaan,
pencurian, mabuk -mabukan dan pengedar narkotika.
Mereka
yang bergaul secara kelompok ada kecenderungan untuk berbuat jahat
secara
bersama-sama.Kecenderungan ini merupakan dampak dari
rasa kemanusiaan, solidaritas
antara teman, pergaulan secara kelompok,
seseorang yang melakukan kejahatan
tidak terlepas dari rasa gengsi dan harga diri serta ingin menunjukkan
kepada kelompoknya bahwa seseorang tersebut juga dapat berbuat sesuatu.Dengan
demikian, merupakan suatu hal yang berkorelasi antara lingkungan yang buruk
terhadap lahirnya kejahatan.
2. Kekerasan
dalam lingkungan keluarga
Kekerasan
dalam keluarga menunjukkan
kecenderungan meningkat.
Secara kualitas kekerasan
dalam keluarga menunjukan peningkatan yang
mengkhawatirkan, tidak jarang
kekerasan di dalam keluarga menyebabkan
korban jiwa.Tindak kekerasan
dapat terjadi dimana saja,
di tempat umum
ataupun lingkungan tertentu.Kekerasan terhadap keluarga
dapat bermacam-macam bentuknya
mulai dari serangan fisik,
seperti penyiksaan maupun
serangan secara mental seperti penghinaan atau pelecehan.
3. Pendidikan
Kurangnya pendidikan
akan berdampak pada perilaku
seseorang.
4. Ekonomi
Pada dasarnya
kondisi ekonomi memiliki
hubungan erat dengan timbulnya kejahatan.Adanya kekayaan
dan kemiskinan mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia,
sebab kedua hal tersebut mempengaruhi jiwa
manusia dalam hidupnya.
Seseorang dari keluarga
miskin ada yang
memiliki perasaan rendah
diri sehingga seseorang tersebut dapat melakukan perbuatan
melawan hukum terhadap orang lain.
Faktor
lain yang sering menjadi masalah di masyarakat global saat ini adalah di mana
kebutuhan semakin meningkat sementara kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan itu tidak
mencukupi. Ketidakseimbangan
inilah yang menjadi faktor bagi setiap orang mencari alternatif pekerjaan
agar mendapatkan uang
yang lebih banyak
lagi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.Alternatif
pekerjaan yang dilakukan ada yang bersifat positif dan negatif. Yang bersifat
positif jelas tidak akan melanggar peraturan
(hukum), lain dengan
alternatif pekerjaan yang
dilakukan bersifat negatif, pekerjaan
yang dilakukan cenderung
melawan hukum. Keadaan ekonomi
sering dijadikan alat
oleh para pelaku
kejahatan, karena himpitan ekonomi,
maka pelaku kejahatan
tersebut terpaksa melakukan
kejahatan. Alasan tersebut sering di pergunakan
karena dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan padanya.
B. Upaya
Yang Dilakukan Oleh Penegak Hukum Untuk Mencegah
Residivis
1. Upaya Pre-Emtif
Yaitu mencegah terjadinya
kejahatan untuk pertama kalinya. Upaya pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi
kejahatan dibagi menjadi dua yaitu:
a. Moralistik,
Dilakukan dengan cara
membina mental spiritual
yang bisa dilakukan oleh para ulama, para pendidik, dan lain-lain.
b. Abolisionistik, Adalah
dengan cara penanggulangan bersifat konsepsional yang
harus direncanakan dengan
dasar penelitian kriminologi, dan
menggali sebab musababnya dari berbagai faktor yang berhubungan.
Pola penanggulangan secara
Pre-Emtif ini dapat
seperti penanganan setiap gangguan
kamtibmas (keamanan dan
ketertiban masyarakat), maka akan
lebih baik dilakukan
pencegahannya terlebih
dahulu sebelum terjadinya
kejahatan. Upaya yang
dilakukan berupa kegiatan-kegiatan edukatif
dengan sasaran mengetahui
faktor-faktor penyebab,
pendorong, dan faktor
peluang dari kejahatan,
sehinggatercipta suatu kesadaran,
kewaspadaan, daya tangkal
serta terbina dan terciptanya kondisi
perilaku.Kegiatan ini pada
dasarnya berupa pembinaan dan
pengembangan lingkungan pola
hidup sederhana dan kegiatan
positif terutama dengan
kegiatan-kegiatan yang bersifat
positif dan kreatif.
2.
Upaya Represif.
Adalah suatu cara
penanggulangan berupa penanganan kejahatan yang
sudah terjadi. Penanganan
dilakukan oleh aparat
penegak hukum yakni kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.Dalam rangka
bekerjanya sistem peradilan pidana
untuk menanggulangi kejahatan,
kepenjaraan ataupun lembaga permasyarakatan adalah
sebagai lembaga koreksi dalam penanggulangan
kriminalitas.Selain dari upaya
penanggulangan kejahatan yang
sudah diterangkan
sebelumnya, ada pula
cara pencegahan yang
bersifat langsung, tak langsung, perbaikan lingkungan dan perilaku:
a) Pencegahan yang bersifat langsung
Kegiatan
pencegahan yang dilakukan sebelum terjadinya kejahatan dan dapat
dirasakan dan diamati
oleh yang bersangkutan,
antara lain :
1) Perbaikan lingkungan yang merupakan perbaikan
struktur sosial yangmempengaruhi terjadinya kriminalitas
2) Pencegahan
hubungan-hubungan yang menyebabkan
kriminalitas
3) Penghapusan
peraturan yang melarang
suatu perbuatan berdasarkan
beberapa pertimbangan.
b) Pencegahan yang bersifat tidak langsung
Kegiatan
pencegahan yang belum dan atau sesudah dilakukannya kriminalitas antara lain
meliputi:
1) Pembuatan
peraturan yang melarang
dilakukannya suatu kriminalitas
yang mengandung didalamnya ancaman hukuman
2) Pendidikan
latihan untuk memberikan
kemampuan seseorang memenuhi
keperluan fisik, mental dan sosialnya
3) Penimbulan kesan akan adanya pengawasan
c) Pencegahan melalui perbaikan lingkungan
1) Perbaikan sitem pengawasan
2) Penghapusan
kesempatan melakukan perbuatan
kriminal, misal, pemberian kesempatan mencari nafka secara wajar untuk
dapat memenuhi keperluan hidup
d) Pencegahan melalui perbaikan perilaku
1) Penghapusan
imbalan yang menguntungkan
dari perilaku criminal
2) Pengikut sertaan penduduk dalam pencegahan
kriminalitas.
Penanggulangan kejahatan
yang telah dijelaskan
satu persatu diatas telah
menyebutkan bahwa masalah
kejahatan adalah salah
satu masalah sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian yang
serius dari waktu kewaktu.
3. Upaya Preventif (Pencegahan)
a. Upaya Preventif Yang Dilakukan oleh Pihak
Kepolisian.
Dengan
luas dan letak geografis yang strategis, Indonesia memiliki banyak titik
yang dapat menjadi
celah bagi para
pelaku kejahatan. Upayanya antara
lain:
1) Memberikan
penyuluhan dan bimbingan
di masyarakat dan sekolah-sekolah mulai
dari tingkat dasar
sampai tingkat lanjutan.
2) Melakukan
kerja sama yang
baik antara masyarakat
dan polisi dalam
rangka mencegah terjadinya kejahatan yang.
3) Melakukan
kerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk
melaksanakan
penyuluhan-penyuluhan dan
pemahaman hukum warga
masyarakat untuk menjaga anak-anak mereka yang masih kecil agar tidak melakukan kejahatan.
b. Upaya Preventif Yang dilakukan oleh Keluarga
dan Masyarakat
Mengingat bahwa
keluarga merupakan tempat
pembentukan pribadi diri seseorang dan merupakan tempat pendidikan yang
peretama dan utama bagi
seseorang sebelum memasuki
lingkungan pergaulan dalam
masyarakat.Untuk mencegah kemungkinan buruk yang tidak diinginkan, dapat
dilakukan beberapa cara yaitu:
1) Memberikan
pengawasan secara wajar
terhadap pergaulan anak dalam
lingkungan masyrakat.
2) Orang
tua diwajibkan memberikan
pendidikan agama,pendidikan budi pekerti,
dan disiplin, secara
baik dan tepat.
4. Upaya Pembinaan Yang Dilakukan Oleh LAPAS
Dalam kasus
pidana yang telah
diputus pengadilan, para
pelaku kejahatan menjalani masa
pidananya mereka ditempatkan
di Lembaga Pemasyarakatan dan
selama itu pula diadakan pembinaan-pembinaan.Pada prinsipnya
Lembaga Pemasyarakatan sebagai
wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat jahat melalui
pendidikan.Fungsi dan tugas pembinaan
lembaga pemasyarakatan dilaksanakan
secara terpadu dengan tujuan agar narapidana setelah menjalani hukuman
dapat menjadi warga masyarakat
yang baik.Masyarakat diharapkan
dapat menjadikan mereka sebagai
warga masyarakat yang
mendukung ketertiban dan keamanan. Usaha
pembinaan terpidana dimulai sejak hari pertama ia
masuk ke dalam
lembaga pemasyarakatan sampai
dengan saat ia dilepas.
Usaha pembinaan
dilakukan dengan mengingat
pribadi tiap terpidana sesuai
dengan cepat atau
lambatnya kemajuan sikap
atau tingkah laku terpidana.Secara berkala
perkembangannya diteliti olehsuatu bidang pembinaan dan pemasyarakatan
yang menentukan rencana pembinaan
untuk selanjutnya dan
penempatannya dalam lembaga
yang sesuai. Lembaga pemasyarakatan Kelas Iib
Manokwari melakukan pembinaan yang pada
dasarnya tidak terlepas dari pedoman pembinaan narapidana yang telah ditetapkan oleh Kemenkumham.
Upaya
penanggulangan khusus untuk
residivis dilakukan pembinaan
sesuai dengan faktor penyebab
yang terjadi dilapangan,
tetapi adapun jenis pembinaan yang
dilakukan pada Lembaga
Pemasyarakatan secara umum, yaitu:
a. Pembinaan Kemandirian
Pembinaan kemandirian
merupakan pembinaan yang
paling diutamakan oleh Pihak
Lembaga Pemasyarakatan terhadap
narapidana. Dasar pertimbangannya bahwa
apabila jiwa kemandirian narapidana
telah dibina dengan
baik, maka pembinaanpembinaan lanjutan
akan lebih muda
dilakukan dan akan
lebih diterima oleh narapidana.
Kegiatan-kegiatan pembinaan kemandirian meliputi:
1) Pendidikan Agama
Usaha
ini diperlukan untuk meneguhkan iman para narapidana terutama agar mereka
menyadari akibat-akibat perbuatan yang mereka
lakukan agama yang dianutnya. Di
dalam Lembaga Pemasyarakatan juga di bangun sarana untuk
beribadah bagi narapidana.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Faktor-faktor penyebab
tersangka pembunuhan Mahasiswa Unipa
melakukan kejahatan (residivis) adalah karena
faktor lingkungan sosial
dan kurangnya pemahaman dan
penghayatan serta pengamalan nilai-nilai keagamaan dan faktor
kesadaran hukum.
2. Upaya-upaya penanggulangan kejahatan
yang dilakukan oleh pemerintah dapat
berupa upaya upaya
Pre-Emtif, upaya Preventif (Pencegahan), upaya Represif
dan upaya Pembinaan yang
dilakukan oleh pihak
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan pembinaan
yang dilakukan di
Lembaga Pemasyarakatan, selain itu
pihak kepolisian memberikan
pemahaman kepada masyarakat agar
ikut berpartisipasi dalam
menanggulangi masalah kejahatan khususnya
pada lingkungan terdekat.
B.
SARAN
1. Penegakan hukum
pidana harus dilakukan
lebih optimal, terpadu dan terarah
yang tidak hanya berupa penegakan dalam landasan teori yaitu pembuatan sejumlah
peraturan perundangundangan,
melainkan penegakan yang
diwujudkan dalam praktek sebagai
salah satu upaya nyata keseriusan pemerintah pada umumnya
dan aparat penegak
hukum pada khususnya dalam mencegah
dan memberantas kejahatan
terutama yang dilakukan secara
berulang yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat dikarenakan pembunuhan
tersebut sangat tragis dan menimbulkan duka dan trauma yang mendalam bagi keluarga
korban;
2. Peran para
aparat pemerintah dan
aparat penegak hukum harus
lebih ditingkatkan lagi
terutama bagi mereka
yang bertugas langsung dilapangan
dalam hal ini memberantas dan mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh
residivis, dan memberikan
penyuluhan dan melakukan pengawasan agar
tidak mudah terbujuk
atau terpengaruh dengan bujuk
orang untuk melakukan suatu kejahatan.
Adapun Pembinaan Lembaga
Pemasyarakatan harus ditingkatkan agar tidak terjadi
lagi pengulangan kejahatan
yang dilakukan oleh terpidana. Pembinaan
disini seharusnya berfokus
pada faktor penyebab yang
terjadi di lapangan
sehingga meminimalisir
pengulangan kejahatan atau residivis.
3.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5291e21f1ae59/seluk-beluk-residivis/, diakses pada tanggal 05 Desember 2016, Pukul 13.52 WIT.
http://www.nabire.net/terduga-pembunuh-2-mahasiswa-unipa-manokwari-diringkus-90-meter-dari-lokasi-kejadian-rabu-malam/, diakses pada tanggal 05 Desember 2016, Pukul 12.34 WIT.
http://peunebah.blogspot.co.id/2012/02/residivis.html, diakses pada tanggal
05 Desember 2016, Pukul 13.59 WIT.
diakses pada tanggal 05 Desember 2016, Pukul 14.03 WIT.
http://wisnuwputra.blogspot.co.id/2015/03/analisis-kasus-pembunuhan-siswi-smp-di.html, diakses pada tanggal 05 Desember 2016, Pukul 14.05 WIT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar