BAB II
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN HAM
Sejarah tentang HAM sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan
keberadaan manusia di muka bumi. Mengapa dikatakan demikian, karena HAM
memiliki sifat yang selalu melekat (inherent) pada diri setiap manusia,
sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan umat
manusia.
Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata –sejak dahulu
hingga saat sekarang ini– tercermin dari perjuangan manusia dalam
mempertahankan harkat dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa
yang tiran. Timbulnya kesadaran manusia akan hak-haknya sebagai manusia
merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi dan melahirkan
gagasan yang kemudian dikenal sebagai HAM.
1.) Individu dalam sistem internasional
Negara merupakan subjek sistem hukum internasional.
Negara dapat menetapkan aturan-aturan untuk kebaikan individu, namun
aturan-aturan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu
itu, dan juga tidak dapat dipaksakan melalui mekanisme prosedur apapun.
Individu sebagai kawula negara, tunduk pada kewenangan pemerintah mereka
sepenuhnya, dan negara-negara lain. Pada umumnya, tidak mempunyai hak yang sah
untuk mengintervensi guna melindungi mereka seandainya mereka diperlakukan
dengan semena-mena.
Tetapi, posisi warga negara asing dalam
suatu negara sedikit berbeda. Dalam kondisi tertentu, negara orang asing itu,
berdasarkan hukum internasional, berhak mengajukan tuntutan terhadap negara
tuan rumah yang melanggar aturan. Biasanya hal ini terjadi ketika orang
tersebut mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah,
misalnya polisi, dan negara tersebut belum mengambil tindakan perbaikan.
Negara-negara barat juga berargumentasi bahwa
seharusnya ada suatu standar perlakuan internasional yang minimal terhadap
warga negara yang berpergian keluar negeri, sehingga perlakuan suatu negara
terhadap mereka dapat di nilai dari standar tersebut. Tetapi, negara-negara
berkembang menolak usul ini dengan mengatakan bahwa warga negara asing di suatu
negara tidak dapat mengharapkan standar perlakuan yang baik ketimbang yang
diberikan kepada warga negara yang ada di negara itu sendiri.
Bagaimana pun juga, dapat dikemukakan bahwa
perselisihan mengenai mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan telah
diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia
internasional. Tujuan utama pengakuan negara semacam itu bukanlah mendapatkan
kompensasi bagi warga negara yang dirugikan, melainkan membela hak-hak negara
itu, yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk
terhadap warga negaranya.
2.) Intervensi
kemanusiaan
Kendati posisi warga negara asing dalam hukum
internasional adalah seperti itu, proposisi umum tetap menyatakan bahwa sebelum
Piagam PBB berlaku, individu pada dasarnya tetap tunduk terhadap penguasa
mereka. Suatu pengecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut sebagai
intervensi kemanusiaan.
Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi
secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduk dalam suatu
negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan rakyatnya sedemikian
rupa sehingga “menyangkal hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat
manusia”.(Oppenheim, International Law, Vol. 1: Peace, di sunting oleh H.
Lauterpacht (London: Longman, ed. 8, 1955), hlm 312 )
3.) Penghapusan
perbudakan
Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah
terjadi perkembangan kemanusiaan tertentu pada hukum internasional, diantaranya
adalah penghapusan perdagangan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada
akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik
bagi negara-negara Eropa dibanding masa sebelumnya, penghapusan perbudakan juga
merupakan suatu bentuk kepedulian kemanusiaan.
Praktek perbudakan berawal dari larangan
dalam Traktat Perdamaian Paris pada tahun 1814 antara Inggris dan Prancis,
namun 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi
Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan
asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional menentang perbudakan dan
perdagangan budak berlanjut sepanjang abad 20.
4.) Palang Merah
Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan
internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang
Merah Internasional (1863) dan usaha organisasi ini dalam mendukung dua
konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap
tawanan perang. Karya Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua
perang dunia dan sesudahnya, dan badan ini telah mendukung sejumlah konvensi
yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap penduduk sipil
pada masa perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang.
5.) Organisasi Buruh
Internasional (ILO)
Upaya-upaya kemanusiaan pada awal abad ke-20
sebagian besar berkaitan dengan penyelesaian internasional pasca Perang Dunia
I. Organisasi Buruh Internasional, yang dibentuk berdasarkan Traktat Versailles
(1919) ((United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of
International Law suppl. 151; 16 American Journal of International Law
suppl.207 , ) merupakan reaksi kepedulian Sekutu mengenai keadilan
sosial dan standar perlakuan terhadap kaum buruh industri, yang terutama
diilhami oleh Revolusi Bolshewik tahun 1917.
6.) Liga
Bangsa-Bangsa
Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional
yang didirikan setelah Perang Dunia I sebagai sistem yang akan menjamin
perdamaian dan keamanan, dan memperlancar kerjasama internasional, tidak
membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia. Namun, dokumen
pendirian Liga Bangsa-Bangsa yang disebut Kovenan mewajibkan negara-negara
anggota untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan tertentu
seperti, menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan
memperdagangkan wanita dan anak-anak, pencegahan dan pengendalian penyakit,
serta perlakuan yang adil terhadap penduduk pribumi dan daerah jajahan.
7.) Traktat mengenai kaum
minoritas
Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang
Dunia I banyak memuat ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara
penyelesaian perdamaian pasca perang berupaya menghormati prinsip penentuan
nasib sendiri yang didasarkan pada konsep kohesi nasional, menjadi jelas bahwa
pembentukan kembali Polandia dan penciptaan negara-negara pengganti Kekaisaran
Austria-Hongaria yang lama, melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan
menciptakan perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa
mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di negara-negara
baru tersebut.
II. Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang
Dunia II
1.) Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum
kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya selama
abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, barulah seusai malapetaka Perang Dunia
II, hukum hak asasi internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas.
Kekejaman Nazi terhadap penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di
wilayah yang ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai
pun, Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup
komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.
2.) Piagam PBB dan Deklarasi
Universal
Meskipun pasal 2 ayat 7 Piagam PBB menegaskan
kembali asas non-intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang pada hakekatnya
termasuk dalam yurisdiksi domestik negara anggota – dengan
demikian, seakan-akan menghalangi intervensi internasional dalam bidang hak
asasi manusia – pasal ini memuat juga beberapa acuan khusus kepada hak asasi.
Mukadimah Piagam menegaskan kembali keyakinan “rakyat-rakyat PBB” pada “hak-hak
manusia yang asasi, pada martabat dan harga diri manusia” dan pada “hak-hak
yang sama bagi pria dan wanita”.
3.) Kovenan-kovenan
internasional
Sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa
Deklarasi Universal tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang mengikat
negara-negara anggota secara hukum, dan sejalan dengan itu ia lalu memberi
mandat kepada CHR untuk menyempurnakan perumusan naskah sebuah traktat yang
secara internasional mengikat, yang tidak hanya mengubah hak-hak yang
disebutkan dalam Deklarasi itu menjadi hukum positif, tetapi juga akan
menetapkan lembaga dan mekanisme bagi pengawasan dan pelaksanaannya.
4.) Konvensi khusus
PBB
Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya
memantapkan sistem “universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia, PBB juga menjalankan program-program untuk menyusun instrumen yang
secara hukum mengikat guna menangani aspek-aspek hak asasi manusia yang khusus.
Diantara instrumen-instrumen ini adalah traktat-traktat mengenai pencegahan dan
penghukuman terhadap apartheid, larangan terhadap praktek penyiksaan, kerjasama
internasional mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pengungsi dan
orang-orang tak bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus mengenai hak
anak-anak.
Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif
kelembagaan yang diambil oleh PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia. ECOSOC telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235 dan 1503
yang memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi
manusia secara kasar dan terus-menerus oleh negara-negara tertentu.
5.) PBB dan
dekolonisasi
Yang terpenting diantara seluruh perkembangan
perhatian PBB terhadap hak asasi manusia, adalah tindakan PBB dalam
masalah dekolonisasi. Sejumlah daerah mandat yang diciptakan oleh Liga
Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I belum memiliki pemerintahan sendiri ketika
Perang Dunia II pecah. Karenanya, Piagam PBB lalu mengatur pengalihan
daerah-daerah mandat itu kepada suatu sistem perwalian yang akan mengatur dan
menyiapkan kemerdekaan daerah-daerah itu.
6.) Proses
Helsinki
Suatu perkembangan internasional yang patut
disebut, yang terjadi selama periode detente (peredaan ketegangan) antara Blok
Barat dan Blok Timur pada awal dasawarsa 1970, adalah Konferensi mengenai
Keamanan dan Kerjasama di Eropa, yang juga dikenal sebagai Proses Helsinki
(nama ibukota Finlandia, tempat berlangsungnya konferensi pada tahun
1973).
Meskipun fungsi utama Proses Helsinki adalah
membangun kerangka untuk mengembangkan perdamaian dan keamanan di Eropa,
konferensi ini juga menghasilkan pemikiran-pemikiran formal mengenai isu hak
asasi manusia. Sementara Uni Soviet berkepentingan agar tapal-tapal batasnya di
sebelah barat diakui, pihak Barat berusaha memperoleh komitmen tentang hak
asasi manusia dari Blok Timur sebagai gantinya.
II.
Perkembangan
HAM di indonesia
Menurut teaching human right yang diterbitkan oleh perserikatan
bangsa-bangsa (PBB),hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia,yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.hak
hidup misalnya,adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang
dapat membuat seseorang tetap hidup.Tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai
manusia akan hilang.
Wacana HAM di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Secara garis besar perkembangan
pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode,yaitu : sebelum
kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan.
a.
Periode
sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam
sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo
(1908),Sarekat Islam (1911),Indische Partij (1912),Partai Komunis Indonesia
(1920)Perhimpunan Indonesia (1925),dan Partai Nasional Indonesia
(1927).Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dilepaskan dari
sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial ,penjajahan,dan
pemerasan hak-hak masyarakat terjajah .puncak perdebatan HAM yang dilonyarkan
oleh para tokoh pergerakan nasional,seperti Soekarno, Agus salim, Mohammad
Natsir, Mohammad Yamin, K.H.Mas Mansur, K.H. Wachid Hasyim, Mr.Maramis, terjadi
dalam sidang-sidang BPUPKI.
Dalam sejarah pemikiran HAM di indonesia, Boedi Oetomo mewakali
organisasi pergerakan nasional mula-mula yang menyuarakan kesadaran berserikat
dan mengeluarkan pendapat melalui petis-petisi yang ditujukan kepada pemerintah
kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar.Inti dari perrjuangan Boedi Oetomo
adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui
organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat.
b.
Periode
setelah kemerdekaan
Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan
Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM
Indonesia kontemporer (pasca orde baru).
1.
Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada
wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi
politik yang didirikan,serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama
di parlemen.sepanjang periode ini,wacana HAM bisa dicirikan pada:
a.
Bidang sipil politik, melalui:
· UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 30, Penjelasan pasal 24 dan 25 )
· Maklumat
Pemerintah 01 November 1945
· Maklumat
Pemerintah 03 November 1945
· Maklumat Pemerintah 14 November 1945
· KRIS, khususnya Bab V,Pasal 7-33
· KUHP Pasal 99
b.Bidang ekonomi, sosial,
dan budaya, melalui:
· UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34,
Penjelasan Pasal 31-32)
· KRIS Pasal 36-40
2. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa perlementer .
Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif
bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia.Sejalan dengan prinsip demokrasi
liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik
nasional.Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada
masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
1. Munculnya
partai-partai politik dengan beragam ideologi.
2. Adanya kebebasan pers.
3. Pelaksanaan pemilihan umum secara
aman, bebas, dan demokratis
4. Kontrol parlemen atas eksekutif.
5. perdebatan HAM secara bebas dan
demokratis.
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi dua konvensi
internasional HAM, yaitu :
1.
Konvensi Genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang,
tawanan perang, dan perlindungan sipil di waktu perang.
2.
Konvensi tentang Hak Politik Perempuan yang mencakup hak perempuan untuk
memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi,serta hak perempuan untuk
menempati jabatan publik.
3.
Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberar, digantikan oleh
sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno.Demokrasi
Terpimpin (Guided Democrary) tidak lain sebagai bentuk penolakan
presiden Soekarno terhaddap sistem Demokrasi Parlementer yang di nilainya
sebagai produk barat.Menurut Soekarno Demokrasi Parementer tidak sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia yang elah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Melalui sistem Demokrasi terpimpin kekuasaan terpusat di tangan Presiden.
Presiden tidak dapat di kontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen di
kendalikan oleh Presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan
di nobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model
pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga
negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan
kebijakan pemerintah yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya atas nama
pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (lekra)
yang berafeliasi kepada PKI sebagai satu-satunya lembaga seni yang
diakui.Sebaliknya, lembaga selain lekra dianggap anti pemerintah atau kontra
revolusi.
4.
Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya
orde baru menjanjikan harapan baru bagi Penegak HAM di Indonesia. Berbagai
seminar tentang HAM dilakukan orde baru.Namun pada kenyataanya, Orde baru telah
menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia.Janji-janji Orde Baru
tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal
1970-an hingga 1980-an.
Setelah mendapatkan mandat konstitusional dari
sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai
kekuasaan yang anti HAM yang di anggapnya sebagai produk barat.Sikap anti HAM
Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan argumen yang pernah di kemukakan
Presiden Soekarno ketika menolak prinsip dan praktik Demokrasi Parlementer,
yakni sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi dan Prinsip HAM
yang lahir di barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde
Lama,Orde Baru memandang HAM dan demokrasi bsebagai produk Barat yang individualistik
dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh
bangsa Indonesia.
Di antara butir
penolakan pemerintah Orde baru terhadap konsep universal HAM adalah:
a. HAM
adalah produk pemikiran Barat yang tudak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam pancasila.
b. Bangsa
Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusn
UUD 1945 yang lahir lebih lebih dahulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal
HAM.
c. Isu
HAM sering kali digunakan olah negara-negara barat untuk memjokkaan negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia.
Apa yang dikemukakan
oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru,tetapi juga tidak semuanya
benar.Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyatas arat dengan
pelanggaran HAM yang dilakukanya.Pelanggaran HAM Orde Baru dapat dilihat dari
kebijakan politik Orde Baru yang bersifat Sentralistik dan anti segala gerakan
politik yang berbeda dengan pemerintah .
5. Periode pasca Orde Baru
Tahun 1998 adalah era
paling penting dalam sejarah HAM di indonesia.Lengsernya tampuk kekuasaan Orde
Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya
era baru demokrasi dan HAM,setelah tiga puluh tahun lebih terpasung di bawah
rezim otoriter.Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie
yang kala itu menjabat sebagai Wakil presiden RI.
Pada masa Habibie
misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan
yang sangat signifikan.Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan
salah satu indikatorkeseriusan pemerintahan era reformasi akan penegakan
HAM.Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya:konvensi HAM tentang
kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi;konvensi
menentang penyiksaan dan perlakuan kejam;konvensi penghapusan segala bentuk [1][3]diskriminasi
rasial;konvensi tentang penghapusan kkerja paksa;konvensi tentang diskriminasi
dalam pekerjaan dan jabatan;serta konvensi tentang usia minimum untuk di
perbolehkan bakarja.
Komitmen pemerintah
terhadap penegakan HAM juga di tunjukkan dengan pengesahan UU tentang
HAM,pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian di gabung dengan
Departeman Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departeman Kehakiman dan HAM,penambahan
pasal-pasal khusus tentang HAM dalam amandemen UUD 1945,pengesahan UU tentang
pengadilan HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar