BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Internet di Indonesia
dimulai pertama kali pada tahun 1990-an. Masyarakat menggunakan internet pada
saat itu masih sangat terbatas, bisanya masyarakat yang berada dikota-kota
besar yang menggunakannya. Berbeda dengan sekarang, masyarakat dari segala kalangan
dapat menggunakan internet untuk berbagai macam hal. Kalangan tua, muda, sampai
anak-anak sekarang mampu menggunakannya untuk kebutuhanya.
Teknologi informasi dan komunikasi semakin hari
semakin berkembang dengan pesat yang memberikan banyak kemudahan bagi umat
manusia. Banyak hal dapat dilakukan melalui internet mulai dari berhubungan
sosial, bekerja, hingga melakukan bisnis jual beli secara online. Semua itu
dilakukan tanpa melakukan kontak langsung dengan orang lain. Bisnis secara
online dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa fasilitas seperti situs
internet, jejaring sosial, maupun layanan e-banking. Layanan bisnis online ini tertunya berpeluang untuk dijadikan lahan
kejahatan atau yang lebih populer dengan istilah cybercrime.
Cybercrime merupakan
kejahatan yang memanfaatkan perkembangan
teknologi jaringan komputer khusunya internet. Internet yang
menghadirkan cyberspace dengan
realitas virtualnya menawarkan kepada
manusia berbagai harapan dan
kemudahan. Akan tetapi di balik
itu, timbul persoalan berupa kejahatan
yang dinamakan cybercrime, baik sistem
jaringan komputernya itu sendiri
yang menjadi sasaran
maupun komputer itu sendiri
yang menjadi sarana untuk
melakukan kejahatan. Tentunya
jika kita melihat bahwa
informasi itu sendiri telah
menjadi komoditi maka
upaya untuk melindungi aset
tersebut sangat diperlukan. Salah
satu upaya perlindungan adalah melalui hukum pidana.
Dalam media
internet, kejahatan yang sering
terjadi adalah penipuan
dengan mengatasnamakan
bisnis jual beli
dengan mengunakan media internet
yang menawarkan berbagai macam
produk penjualan khususnya handphone
dan barang elektronik yang
di jual dibawah harga
rata-rata. Bisnis online
sudah menjadi tren saat ini, akan tetapi membuka cela bagi
pihak yang tidak
bertanggung jawab untuk melakukan
suatu tindak kejahatan yang
menyebabkan kerugian bagi orang
lain. Ada begitu
banyak penipuan dalam dunia
nyata, namun dalam
dunia maya juga tak
lepas dari kasus-kasus penipuan. Penipuan tersebut
menggunakan modus operandi berupa penjualan berbagai macam barang
yang menggiurkan bagi calon pembeli karena harganya yang
begitu murah dan jauh
dari harga aslinya.
Yang pada akhirnya setelah
uang dikirimkan, barang yang
sudah dipesan tidak di terima.
Demi mendapatkan
keuntungan dan memperkaya diri
sendiri, para pelaku melanggar aturan
dan norma-norma hukum yang
berlaku. Bisnis secara
online memang mempermudah para
pelaku penipuan dalam melakukan aksinya. Penjualan adalah
merupakan transaksi paling kuat
dalam dunia perniagaan bahkan secara
umum adalah bagian
yang terpenting dalam aktivitas
usaha. Dan manusia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan interaksi,
dan dengan kebutuhannya yang
tidak terbatas. Hal tersebut
menuntut untuk pemenuhan kebutuhan yang semakin bertambah
setiap harinya. Berbagai cara
dilakukan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup. Salah satu
cara pemenuhan kebutuhan
adalah dengan kegiatan jual beli.
Dengan adanya
internet pembeli dapat
melihat langsung barang yang
diperdagangkan dalam dunia maya,
membayarnya dengan transfer
bank dan hanya menunggu beberapa saat hingga barang itu tiba. Di zaman
ketika internet telah
menjadi kebutuhan bagi sebagian
masyarakat, proses jual beli melalui internet sudah tidak asing lagi.
Karena internet bukan
hanya konsumsi golongan tertentu
saja seperti bertahun-tahun yang
lalu, tapi sudah merambah ke
masyarakat golongan menengah ke
bawah. Proses jual
beli melalu internet ini
lazim disebut ecommerce
atau electronic commerce
atau EC, EC pada
dasarnya adalah bagian
dari electronic business.
E-commerce merupakan
suatu kontak transaksi perdagangan
antara penjual dan karena
e-commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua belah
pihak yaitu pihak penjual
(merchant) dan pihak pembeli
(buyer) didalam melakukan transaksi perdagangan sekalipun
para pihak berada didua dunia
berbeda. Dengan ecommerce
setiap transaksi yang
dilakukan kedua belah pihak
yang terlibat (penjual dan pembeli) tidak memerlukan
pertemuan langsung atau tatap muka untuk melakukan negoisasi. Pembeli dengan
menggunakan media internet, dimana
untuk pemesanan, pengiriman sampai
bagaimana system pembayaran dikomunikasikan melalui internet. Keberadaan
e-commerce merupakan
alternatif bisnis yang
cukup menjanjikan untuk diterapkan pada saat ini.
.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah
pengaturan hukum di Indonesia
terhadap tindak pidana penipuan
dalam jual-beli online?
2.
Peraturan
apa saja yang
menjadi dasar aparat penegak
hukum dalam upaya penanggulangan
tindak pidana penipuan berupa jual-beli online?
1.3.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengaturan di Indonesia
terhadap tindak pidana penipuan
dalam jual beli online;
2.
Untuk mengetahui peraturan
apa saja yang
menjadi dasar aparat penegak
hukum dalam upaya penanggulangan
tindak pidana penipuan berupa jual beli online.
1.4.
MANFAAT
Untuk menambah khasanah dan wawasan agar
lebih waspada ketika melakukan transaksi jual beli online, karena sangat mungkin
terjadi penipuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengaturan Hukum
di Indonesia Terhadap Tindak
Pidana Penipuan Jual-Beli Online
2.1.1. Pengaturan Tindak
Pidana Cybercrime
Sekelumit mengenai kondisi yang
terjadi dalam masyarakat ini
dapat menimbulkan berbagai issue
dalam penyelesaian tindak pidana
di bidang teknologi
informasi.
Mudahnya seseorang
menggunakan identitas apa
saja untuk melakukan berbagai
jenis transaksi elektronik di
mana saja dapat
menyulitkan aparat penegak hukum dalam menentukan identitas dan
lokasi pelaku yang sebenarnya. Eksistensi alat bukti elektronik dalam system
peradilan pidana di Indonesia dan
bagaimana alat bukti
elektronik tersebut dapat
diterima dipersidangan
sebagai alat bukti
yang sah akan
menjadi opic penting dalam
beberapa tahun ke depan,
terlebih dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Perkembangan
teknologi informasi termasuk internet
di dalamnya juga memberikan tantangan
tersendiri bagi perkembangan
hukum di Indonesia. Hukum di
Indonesia dituntut untuk
dapat menyesuaikan dengan perubahan
sosial yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan
perubahan hukum atau
sebaliknya tidak selalu berlangsung
bersama-sama. Artinya pada keadaan
tertentu perkembangan hukum mungkin
tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur
lainnya dari masyarakat serta
kebudayaannya atau mungkin hal
yang sebaliknya.
Cybercrime
merupakan bentuk-bentuk kejahatan
yang timbul karena pemanfaatan teknologi
internet. Perkembangan yang pesat
dalam pemanfaatan jasa
internet mengundang untuk terjadinya
kejahatan. Dengan
meningkatnya jumlah permintaan terhadap akses
internet, kejahatan terhadap penggunaan
teknologi informatika
semakin meningkat mengikuti perkembangan dari
teknologi itu sendiri. Semakin banyak
pihak yang dirugikan
atas perbuatan dari pelaku
kejahatan cyber tersebut apabila
tidak tidak ada ketersediaan hukum
yang mengaturnya.
Sebelum
diberlakukan UU ITE,
aparat hukum menggunakan KUHP
dalam menangani kasus-kasus kejahatan
dunia cyber. Ketentuan-ketentuan
yang terdapatdalam KUHP
tentang cybercrime masih bersifat global.
Terdapat beberapa hal yang
secara khusus diatur dalam
KUHP dan disusun berdasarkan tingkat
intensitas terjadinya kasus
tersebut yaitu :
1.
Ketentuan yang
berkaitan dengan delik pencurian pada Pasal 362 KUHP;
2.
Ketentuan yang
berkaitan dengan
perusakan/penghancuran barang;
3.
terdapat
dalam Pasal 406 KUHP;
4.
Delik tentang
pornografi terdapat dalam Pasal
282 KUHP;
5.
Delik
tentang penipuan terdapat dalam Pasal
378 KUHP;
6.
Ketentuan yang
berkaitan dengan perbuatan memasuki
atau melintasi wilayah orang
lain;
7.
Delik tentang
penggelapan terdapat dalam Pasal
372 KUHP & 374 KUHP;
8.
Kejahatan terhadap
ketertiban umum terdapat dalam
Pasal 154 KUHP Delik tentang penghinaan terdapat dalam Pasal 311 KUHP;
9.
Delik
tentang pemalsuan surat terdapat dalam Pasal 263 KUHP;
10. Ketentuan tentang pembocoran rahasia terdapat dalam
Pasal 112 KUHP, pasal 113 KUHP, & pasal 114 KUHP;
11. Delik tentang perjudian terdapat dalam
Pasal 303 KUHP.
Tindak-tindak pidana
yang diatur dalam UU
ITE diatur dalam
BAB VII tentang perbuatan yang
dilarang,
perbuatan tersebut dapat
dikategorikan menjadi beberapa kelompok
sebagai berikut :
1. Tindak
pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:
a.
Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat
diaksesnya konten illegal yang
terdiri dari :
·
Kesusilaan
terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE;
·
Perjudian terdapat
dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE;
·
Penghinaan atau
pencemaran nama baik terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE;
·
Pemerasan atau
pengancaman dalam Pasal 27 ayat (4) UU ITE;
·
Berita bohong
yang menyesatkan dan merugikan konsumen/penipuan terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE;
·
Menimbulkan rasa
kebencian berdasarkan SARA terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE;
·
Mengirimkan informasi
yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi
terdapat dalam Pasal 29 UU ITE.
b. Dengan cara
apapun melakukan akses illegal
pada Pasal 30 UU ITE,
c. Intersepsi illegal
terhadainformasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik terdapat
dalam Pasal 31 UU ITE.
1.
Tindak pidana
yang berhubungan dengan gangguan
(interferensi), yaitu:
a.
Gangguan terhadap
Informasi atau Dokumen Elektronik
(data interference) terdapat dalam
Pasal 32 UU ITE,
b.
Gangguan terhadap
Sistem Elektronik (system interference) terdapat dalam asal 33 UU ITE.
3.
Tindak pidana
memfasilitasi perbuatan yang dilarang
terdapat dalam Pasal
34 UU ITE,
4.
Tindak pidana
pemalsuan informasi atau dokumen
elektronik terdapat dalam Pasal
34 UU ITE,
5.
Tindak pidana
tambahan terdapat dalam Pasal 36
UU ITE,
6.
Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana dalam Pasal 52 UU
ITE.
Dalam Pasal
42 UU ITE
diatur bahwa penyidikan terhadap
tindak pidana cyber dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam hukum acara
pidana dan ketentuan
dalam UU ITE. Maksudnya, semua aturan yang ada dalam KUHAP
tetap berlaku sebagai ketentua umum (lex generalis) kecuali
yang disimpangi oleh UU
ITE sebagai ketentuan yang khusus
(lex specialis). Dengan
kata lain,
ketentuan-ketentuan mengenai
penyidikan yang tidak
diatur dalam UU ITE
tetap diberlakukan sebagaimana
diatur dalam KUHAP. Pengaturan
ini juga selaras dengan ketentuan dalam Pasal 284 ayat
(2) KUHAP yaitu bahwa
terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan KUHAP, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undangundang tertentu,
sampai ada perubahan dam atau dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU ITE ialah salah satu contoh dari “ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu”
dan ketentuan khusus acara
pidana ini tetap berlaku
sebelum ditinjau kembali,
diubah atau dicabut.
2.1.2. Pengaturan
Hukum di Indonesia Terhadap Tindak Pidana Penipuan
Undang-undang ITE
telah mengatur tindak pidana
akses ilegal (Pasal
30), gangguan terhadap Sistem Komputer (Pasal 32 UU
ITE). Selain tindak-tindak
pidana tersebut, UU ITE
juga mengatur tindak pidana
tambahan sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 “…dengan
sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan
Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian
bagi orang lain”. Akan
tetapi, apabila untuk
menyimpulkan suatu computer related
fraud penyidik harus membuktikan
tindak-tindak pidana
tersebut terlebih dahulu,
maka dapat menimbulkan masalah
tersendiri, dan
ketidakefisiensian.
Penyebaran berita
bohong dan penyesatan merupakan
padanan kata yang semakna dengan
penipuan. Penipuan dapat dilakukan
dengan motivasi, yaitu
untuk menguntungkan dirinya sendiri
atau paling tidak untuk
merugikan orang lain
atau bahkan dilakukan untuk
menguntungkan dirinya
sendiri dan merugikan
orang lain secara sekaligus.
Dengan motivasi-motivasi tersebut, maka
penyebaran berita bohong dan
penyesatan dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Secara
umum penipuan itu telah diatur sebagai tindak pidana oleh Pasal 378 KUHP yang
berbunyi:
“Barang
siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama
palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang
rnaupunmenghapuskan piutang diancam
karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.”
Pemahaman dari
pasal tersebut masih umum yaitu diperuntukan
untuk hal di alam nyata ini. Berbeda
dengan penipuan di internet
yang diatur dalam
UU ITE. Penipuan ini
memiliki ruang yang
lebih sempit daripada pengaturan
dalam KUHP.
Dalam
UU ITE mengatur
tentang berita bohong dan
penyesatan melalui internet, berita bohong
dan penyesatan ini
dapat dipersamakan dengan penipuan yang diatur dalam Pasal
378 KUHP. Pasal
28 ayat (1) berbunyi
:
“Setiap
Orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam transaksi elektronik.”
Pengaturan dalam
UU ITE ini
terbatas dalam hal transaksi
elektronik. Nilai strategis dari
kehadiran UU ITE sesungguhnya pada
kegiatan transaksi elektronik dan
pemanfaatan dalam bidang teknologi informasi
dan komunikasi (TIK).
Sebelumnya sektor
ini tidak mempunyai payung hukum,
tapi kini makin
jelas sehingga bentuk-bentuk transaksi elektronik sekarang dapat dijadikan
sebagai alat bukti elektronik
sah. Oleh karena
itu, sesungguhnya
undang-undang ini merupakan upaya
pemerintah dalam memberikan perlindungan
yang jelas dan berkekuatan hukum
tetap terhadap berbagai macam
transaksi elektronik kearah negatif.
Namun tetap saja
bahwa pengaturannya dalam hal
ini masih memiliki keterbatasan.
Keterbatasan itu terletak pada
perbuatan hukum yang hanya digantungkan
pada hubungan transaksi elektronik, yaitu
antara produsen dan konsumen
serta dalam lingkup pemberitaan berita
bohong dan penyesatan dalam
internet.
Pembuktian sebenarnya
telah dimulai pada tahap
penyidikan; pembuktian bukan dimulai
pada tahap penuntutan
maupun persidangan. Dalam penyidikan,
Penyidik akan mencari pemenuhan
unsur pidana berdasarkan alat-alat
bukti yang diatur dalam
perundangan. Pada tahap penuntutan dan
persidangan kesesuaian dan hubungan
atara alat-alat bukti
dan pemenuhan unsur pidana akan
diuji. Sejak adanya laporan
mengenai terjadinya tindak pidana,
Penyidik telah mendapatkan
satu bagian dari keseluruhan
bagian teka-teki gambar, dan
setelah menemukan bagian pertama itu,
Penyidik harus mencari bagian-bagian lain
dari gambar untuk disusun
sehingga ia memperoleh
gambar yang utuh mengenai
suatu tindak pidana dan
pelakunya. Akan tetapi,
mengingat gambar yang utuh
itu terdiri dari
begitu banyak bagian dan
bagian-bagian itu tersebar dibanyak
tempat dalam berbagai bentuk, dalam
banyak kasus Penyidik menemukan banyak
kesulitan untukmengumpulkan seluruhnya.
Gambar yang utuh itulah
yang dimaksud kebenaran materil.
2.2.
Peraturan yang
Menjadi Dasar Aparat Penegak Hukum
Dalam Upaya Penanggulangan Tindak
Pidana Penipuan dalam Jual-Beli Online.
Salah satu
jenis tindak pidana
di bidang cyber adalah
penipuan berupa jualbeli/bisnis online
dalam internet. Penipuan jenis ini semakin banyak terjadi
antara lain disebabkan karena banyaknya
masyarakat yang ingin memenuhi
kebutuhan mereka dengan cara
yang mudah dan
menghemat waktu serta biaya.
Penipuan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari cara
yang sederhana sampai pada cara yang kompleks.
Kegiatan siber bersifat
virtual namun dapat dikategorikan
sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Penipuan ini
merupakan kejahatan cyber yang
memanfaatkan kelemahan segi keamanan
dan kebiasaan pada
saat berinternet.
Tindak pidana
penipuan menggunakan
internet termasuk dalam
kelompok kejahatan Illegal Contents
dalam kajian penyalahgunaan teknologi
informasi berupa Computer Related
Fraud. Illegal contents adalah
merupakan kejahatan dengan memasukkan
data atau informasi ke
Internet tentang sesuatu
hal yang tidak benar,
tidak etis, dan
dapat dianggap melanggar hukum
atau mengganggu ketertiban umum.
Dan Computer Related Fraud
ini diartikan sebagai kecurangan atau merupakan penipuan
yang dibuat untuk mendapatkan keuntungan
pribadi atau untuk merugikan
orang lain. Sebagai contohnya, penyebaran
berita bohong dan penyesatan melalui internet. Hal ini
sering kali kita dapati
terjadi dalam dunia
siber dalam proses jual-beli
online. Dimana pihak pembeli sering
dirugikan atas tindak perbuatan dari penjual yang berlaku
curang yang tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai penjual.
1.
Penjual atau
merchant atau pengusaha yang menawarkan
sebuah produk melalui internet
sebagai pelaku.
2.
Pembeli atau
konsumen yaitu setiap orang
yang tidak dilarang
oleh undangundang, yang menerima
penawaran dari penjual atau pelaku
usaha dan berkeinginan untuk
melakukan transaksi jual beli
produk yang ditawarkan
oleh penjual pelaku usaha / merchant.
3.
Bank sebagai
pihak penyalur dana
dari pembeli atau konsumen
kepada penjual atau pelaku
usaha/merchant, karena pada
transaksi jual beli secara elektronik, penjual
dan pembeli tidak
berhadapan langsung, sebab mereka
berada pada lokasi yang
berbeda sehingga pembayaran dapat
dilakukan melalui perantara dalam
hal ini bank.
4.
Provider sebagai
penyedia jasa layanan akses internet.
Pada dasarnya
pihak-pihak dalam jual beli
secara elektronik tersebut
diatas, masing-masing
memiliki hak dan kewajiban. Penjual / pelaku usaha / merchant merupakan
pihak yang menawarkan produk
melalui internet, oleh itu,
seorang penjual wajib
memberikan informasi secara benar
dan jujur atas produk
yang ditawarkannya kepada pembeli atau
konsumen. Penjual/pelaku
usaha memiliki hak
untuk mendapatkan pembayaran dari
pembeli/konsumen atas barang yang
dijualnya, juga berhak
untuk mendapatkan perlindungan atas
tindakan pembeli / konsumen
yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual
beli secara elektronik ini.
Seorang pembeli/konsumen memiliki kewajiban untuk
membayar harga barang yang
telah dibelinya dari
penjual sesuai jenis barang
dan harga yang
telah disepakati antara penjual
dan pembeli tersebut. Selain
itu, pembeli juga
wajib mengisi data identitas
diri yang sebenarbenarnya dalam formulir penerimaan.
Disisi lain, pembeli /
konsumen berhak mendapatkan
informasi secara lengkap atas barang
yang akan dibelinya
itu. Si pembeli juga
berhak mendapatkan perlindungan hukum atas
perbuatan penjual/pelaku usaha
yang beritikad tidak baik.
Bank sebagai
perantara dalam transaksi jual beli
secara elektronik, berfungsi sebagai penyalur
dana atas pembayaran suatu produk
dari pembeli kepada
penjual produk itu, karena
mungkin saja
pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk
dari penjual melalui internet berada
dilokasi yang letaknya saling berjauhan sehingga pembeli
tersebut harus menggunakan fasilitas
bank untuk melakukan pembayaran
atas harga produk yang
telah dibelinya dari
penjual, misalnya dengan pentransferan
dari rekening pembeli kepada
rekening penjual atau sering kita kenal dengan sebutan account
to account.
Provider merupakan
pihak lain dalam transaksi jual
beli secara elektronik,
dalam hal ini provider
memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada
calon pembeli untuk
dapat melakukan transaksi jual
beli secara elektronik melalui media
internet dengan penjual
yang menawarkan produk lewat
internet tersebut, dalam hal
ini terdapat kerjasama antara penjual/pelaku usaha
dengan provider dalam menjalankan
usaha melalui internet.
Pada dasarnya
proses transaksi ecommerce
tidak jauh berbeda
dengan proses transaksi jual
beli biasa didunia nyata. Pelaksanaan
transaksi jual beli secara
elektronik ini dilakukan
dalam beberapa tahap, sebagai berikut:
1.
Penawaran yang
dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website
pada internet. Penjual atau
pelaku usaha menyediakan storefront
yang berisi catalog produk dan
pelayanan yang akan diberikan.
Masyarakat yang memasuki website pelaku
usaha tersebut dapat melihat-lihat barang
yang ditawarkan oleh penjual.
Penawaran melalui media internet hanya
dapat terjadi apabila seseorang membuka
situs yang menampilkan sebuah
tawaran melalui internet
tersebut.
2.
Penerimaan,
dapat dilakukan tergantung penawaran
yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan
melalui e-mail address, maka
penerimaan dilakukan melalui e-mail,
karena penawaran hanya ditujukan
pada sebuah e-mail
yang dituju sehingga hanya
pemegang e-mail tersebut yang
dituju.
3.
Pembayaran, dapat
dilakukan baik secara langsung
maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas
internet, namun tetap bertumpu
pada system keuangan nasional,
yang mengacu pada system keuangan lokal.
4.
Pengiriman, merupakan
suatu proses yang dilakukan
setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan
penjual kepada pembeli, dalam
hal ini pembeli
berhak atas penerimaan barang
tersebut. Pada kenyataannya, barang
yang dijadikan objek perjanjian
dikirimkan oleh penjual kepada
pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana
telah diperjanjikan antara penjual
dan pembeli.
Penipuan
secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan
konvensional. Yang menjadi
perbedaan hanya pada
sarana perbuatannya yakni menggunakan
Sistem Elektronik (komputer, internet,
perangkat telekomunikasi).
Sehingga secara hukum, penipuan secara
online dapat diperlakukan sama sebagaimana
tindak pidana konvensional yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tidak secara
khusus mengatur mengenai tindak pidana
penipuan. Tindak pidana penipuan sendiri
diatur dalam Pasal
378 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain
secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang
rnaupun menghapuskan piutang diancam
karenapenipuan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.”
Tindak pidana
penipuan dalam bentuk pokok yang diatur dalam Pasal 378
Kitab Undang-Undang Hukum
Padana (KUHP) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
2.
Unsur
subjektif :
a.
Dengan maksud
atau met het oogmerk dalam hal ini beritikad buruk
b.
Untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain
dalam hal ini mencari keuntungan
dengan memanfaatkan kondisi
kebutuhan masnyarakat
c.
Secara melawan
hukum atau wederrechtelijk dalam
hal ini dengan
d.
perbuatan yang
menentang undang undang atau
tanpa izin pemilik
yang bersangkutan
3.
Unsur-unsur
objektif :
a.
Barangsiapa
dalam hal ini pelaku
b.
Menggerakkan orang
lain agar orang lain tersebut :
1. Menyerahkan suatu benda
2. Mengadakan suatu perikatan utang
3. Meniadakan suatu piutang
c.
Dengan
memakai :
1. sebuah nama palsu
2. kedudukan palsu
3. tipu muslihat
4. rangkaian kata-kata bohong
Dengan demikian
penipu dalam pasal tersebut pekerjaannya adalah:
Membujuk orang supaya
memberikan barang, membuat utang
atau menghapuskan utang :
a.
Maksud
pembujukan itu ialah hendak menguntungkan
diri sendiri atau
b.
orang
lain dengan melawan hukum.;
c.
Membujuknya itu
dengan memakai: nama palsu
atau keadaan palsu atau akal cerdik
(tipu mislihat) atau karangan perkataan bohong.
Mengenai illegal
konten, yaitu perbuatan menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan
sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik Diatur dalam Pasal 28
ayat (1) UU ITE, pasal ini berbunyi:
“Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian
konsumen dalam transaksi elektronik.”
Dan diacam
dengan sanksi pidana
oleh Pasal 45 ayat (2) yang menentukan:
“ Setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat
(1) atau ayat
(2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Pasal 35
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang
mengatur mengenai
perbuatan-perbuatan yang
dilarang, antara lain sebagai berikut :
“Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum melakukan manipulasi,
penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Untuk pembuktiannya, aparat
penegak hukum bisa menggunakan
bukti elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2)
UU ITE, di samping bukti
konvensional lainnya sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Bunyi
Pasal 5 UU ITE:
1. Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah;
2. Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pengaturan
mengenai penyebaran berita bohong
dan menyesatkan ini
sangat diperlukan untuk melindungi
konsumen yang melakukan transaksi
komersial secara elektronik.
Perdagangan secara elektronik dapat dilaksanakan
dengan mudah dan cepat.
Idealnya, transaksi harus
didasarkan pada kepercayaan para
pihak yang bertransaksi (mutual
trust). Kepercayaan ini diasumsikan
dapat diperoleh apabila
para pihak yang bertransaksi
mengenal satu sama yang
didasarkan pada pengalaman transaksi terdahulu atau hasil
diskusi secara langsung sebelum transaksi
dilakukan. Dari segi hukum,
para pihak perlu
membuat kontrak untuk melindungi
kepentingan mereka dan melindungi
mereka dari
kerugian-kerugian yang mungkin
muncul dikemudian hari. Kontrak
berisi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang bertransaksi. Selain
itu, kontrak ini
juga biasanya diakhiri dengan
pilihan hukum dan/atau yuridiksi
hukum yang dapat diterima olehpara
pihak apabila terjadi sengketa atau
perselisihan. Hal ini
menjadi ketentuan yang sangat
penting apabila transaksi tersebut
dilakukan oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
1.
Penipuan
secara online pada prinisipnya sama dengan
penipuan konvensional. Yang menjadi
perbedaan hanya pada sarana
perbuatannya yakni
menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet,
perangkat telekomunikasi).
Pengaturan hukum mengenai tindak
pidana penipuan ini masih
terbatas dalam penggunaan KUHP, dan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Aparat penegak hukum
sering mengalami kesulitan dan
hambatan dalam menjerat pelaku tindak kejahatan penipuan.
2.
Tindak
pidana penipuan ini dapat dijerat
dengan Pasal 378
KUHP sebagai tindak pidana
penipuan atau Pasal
28 ayat (1) UU
ITE tentang pengaturan
mengenai penyebaran berita bohong
dan menyesatkan yang merugikan konsumen. Atau
dapat dijerat berdasarkan kedua
pasal itu sekaligus yaitu, 378 KUHP
jo dan Pasal
28 ayat (1) jo
Pasal 45
ayat (1) UU
No 11 Tahun
2008 tentang Penipuan dan
atau Kejahatan ITE.
3.2.
SARAN
1.
Sebaiknya
polisi yang menangani kasus-kasus
penipuan bisnis online
adalah mereka yang sudah
menguasai bidang teknologi informasi
dan komunikasi atau mereka
yang memahami seluk beluk
kejahatan cyber. Hal
tersebut sangat penting untuk
mencegah polisi penerima laporan
atau penyidik yang kemudian
ditunjuk tidak mengerti
dan tidak memahami duduk
perkara, untuk tercapainya keadilan
hukum dan keamanan dalam
masyarakat konvensional maupun masyarakat dalam dunia siber.
2.
Bagi
masyarakat yang ingin membeli barang melalui
internet harus lebih berhati-hati
lagi terhadap iklan maupun
tawaran yang menggiurkan. Sebelum melakukan
kegiatan jual-beli,
sebaiknya dicek terlebih
dahulu keabsahan dari situs
tersebut agar terhindar dari kasus
penipuan.
3.
Untuk dapat
memaksimalkan aparat penegak hukum
dalam memberantas tindak pidana
cybercrime, perlu adanya undang-undang yang
khusus mengatur tentang cybercrime.
Diberlakukannya sertifikasi bagi para pelaku usaha seperti yang tertuang
dalam UU ITE
pasal 10 ayat (1) bahwa setiap
pelaku usaha yang menyelenggarakan
transaksi elektronik dapat disertifikasi
oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan,
hal ini mengingat begitu mudahnya
seseorang / penjual
melakukan kecurangan dalam
transaksi jual beli online sehingga banyak
pembeli yang tertipu.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang
ITE Nomor 11 Tahun 2008
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar