BAB IV
INSTRUMEN HAM
INTERNASIONAL
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,
melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal
ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):
”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam
memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan
kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis
kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan
instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen
Hukum yang Mengikat
1. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun
1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang
disepakati dan diterima oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk
umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan
realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang
terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut
secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan
keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan
sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai
terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan,
DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
2. Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan
rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai
berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
- Hak hidup;
- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum
secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar
ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual;
- Hak atas persamaan kedudukan di depan
pengadilan dan badan peradilan; dan
- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku
surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara
di dunia. Indonesia turut mengaksesnya atau pengesahannya melalui Undang-Undang
No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan
Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia.
3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural
Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia
melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan
hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat.
- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak
penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam
hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap
penghilangan paksa.
- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui
secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik,
Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
4. Konvensi Genosida (Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Kovensi ini mulai berlaku
pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat. Konvensi ini
menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya
kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
5. Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention
against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia
(Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia
mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih
lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik.
Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1) mencegah
tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau
pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup
kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya
(karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang
menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum
mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera
oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang
yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau
intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4)
menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi
yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite
Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat
didalamnya.
6. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination)
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan
disah oleh Indonesia melalui UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap
segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan
sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku
bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial,
yang mengawasi pelaksanaannya.
7. Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women)
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan
dirafikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya,
konvensi ini telah menjadi instrumen internasional yang menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang
tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus
diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai
pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
8. Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990
dan disahkan oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi
ini negara harus menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa
diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik
atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil
langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala
bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan,
pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah,
atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC)
untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
9. Konvensi
Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )
Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia
belum mesahkan Konvensi ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi.
Pengungsi dibedakan dengan istilah “internaly displaced person” atau
pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini
didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya karena takut disiksa
atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada
kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi
Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu:
persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas
dari hak-hak mereka, serta hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari
penghukuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar