ANALISIS PERBANDINGAN SANKSI PIDANA MATI
TERHADAP KORUPTOR DI INDONESIA DAN CHINA
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar
biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan
pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan
dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor dana
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancur perekonomian negara.
Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung derita.
Para koruptor yang
harus dihukum mati adalah para koruptor yang 'merampok' uang negara miliaran
rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri. anyak megakoruptor
yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya,
para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S. Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin),
BLBI bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor
itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.
Sedangkan di Chuna Sejak 1999,
Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang
melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84
orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu
Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya
ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah
terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti
senilai AS$200.000.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan
semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina.
"Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian
semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM
Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean".
A.
PASAL TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG DIANCAM PIDANA MATI DI INDONESIA
Aspirasi dan tuntutan masyarakat yang
sangat kuat di era reformasi untuk mencegah dan memberantas korupsi secara
lebih efektif, disalurkan dan diwujudkan oleh wakil-wakil rakyat di DPR dengan
mengganti UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UU
No. 31/1999 yang kemudian undang-undang ini pun diamandemen dengan UU No.
20/2001. Salah satu kebijakan yang ditempuh DPR dalam melakukan perubahan
undang-undang untuk memberantas korupsi ialah dengan mencatumkan ancaman pidana
mati dalam UU No. 31/1999 yang dalam undang-undang sebelumnya tidak ada.
Dalam “Penjelasan Umum” UU No.
31/1999 dinyatakan sebagai berikut:
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
Adanya ancaman pidana mati dalam UU
No. 31/1999 itu seolah-olah menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR pada
waktu itu untuk memberantas korupsi. Bahkan sempat juga pidana mati itu
digunakan sebagai komoditas politik calon-calon Presiden dan Wakil Presiden
beberapa waktu yang lalu untuk memperkuat komitmennya dalam upaya program pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Adapun isi pasal yang menerapkan
hukuman mati yakdi pada Pasal 2 UU No.
31 Tahun 1999, yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Khusus untuk instruksi mengoptimalkan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi, Kejaksaan harus memaksimalkan tuntutan terhadap pelaku korupsi,
yaitu dengan menggunakan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 31/1999 yang telah
diubah dengan UU No. 20/2001 apabila ada bahwa korupsi yang dilakukan dalam
“keadaan tertentu” dapat dijatuhi hukuman mati. Penjelasan Pasal 2 Ayat (2)
menentukan keadaan tertentu sebagai pemberat pidana apabila korupsi dilakukan
terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan (1) keadaan bahaya, (2)
bencana alam nasional, (3) akibat kerusuhan yang meluas, (4) krisis ekonomi dan
moneter, dan (5) pengulangan tindak pidana korupsi.
Dipilihnya atau diterapkannya pidana mati sebagai salah satu
sarana untuk menanggulangi kejahatan pada hakikatnya merupakan salah satu
pilihan kebijakan. Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang
berpendapat pro atau kontra terhadap hukuman mati. Namun setelah kebijakan
diambil dan diputuskan dan kemudian dirumuskan dalam suatu undang-undang, maka
dilihat dari sudut kebijakan poltik hukum pidana (penal policy) dan kebijakan
kriminal (criminal policy), kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya
diharapkan dapat diterapkan pada tahap aplikasi.
Apabila putusan hakim perkara korupsi dicermati nampak secara
jelas ada ketidakadilan dan perlakuan yang berbeda antara kejahatan blue collor
crimes dengan white collor crimes, mengapa demikian, persoalannya terletak pada
stigma kejahatan. Kejahatan blue collor crime sifat tercelanya perbuatan
berasal dari masyarakat, perbuatan yang dilakukan sangat menjijikkan. Orang sering
menyebutnya sebagai kejahatan mala inse artinya stigma kejahatan berasal dari
masyarakat, sedangkan kejahatan white collor crime sifat tercelahnya perbuatan
berasal dari negara, konsekuensinya masyarakat menganggap bukan merupakan
kejahatan yang serius. Tidak mengherankan apabila orang yang melakukan
kejahatan korupsi tidak merasa bersalah dan berdosa, malah terkesan “kejahatan
prestise” artinya orang berlomba melakukannya, justeru orang yang tidak ikut
(penyimpangan budaya) dianggap “bodoh” inilah yang disebut dengan keadaan
“anomalia”. Seharusnya penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang
sudah termasuk extra ordinary crime bersifat proporsional dan lebih
mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, atas dasar hal tersebut, hakim
dapat melakukan pertimbangan putusan secara objektif.
Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa pidana mati terhadap
pelaku kejahatan korupsi hingga kini masih melahirkan prokontra, artinya masih
banyak kekuatan atau kelompok politik bermain untuk menggagalkan, salah satunya
dengan menelaah rumusan pasalnya.
B.
PASAL-PASAL TINDAK PIDANA
KORUPSI YANG DIANCAM PIDANA MATI DI CHINA
Cina
adalah salah satu negara komunis yang masih bertahan, walaupun demikian
kehidupan ekonominya telah membuka diri dan dalam hal-hal tertentu menempuh
pula jalan kapitalisme. KUHP Cina disusun pada tahun 1979 dan mulai berlaku
pada tanggal 1980, kemudian KUHP Cina diamandemen pada Kongres Masyarakat Cina
yang ke VIII pada tahun 1997. Sama halnya dengan KUHP-KUHP modern yang lain KUHP
Cina terdiri atas dua bagian (buku), yaitu bagian I tentang Ketentuan Umum dan
Bagian II tentang Ketentuan Khusus.
Dalam
Ketentuan Khusus KUHP Cina pada Bab I mengatur mengenai kejahatan yang
mengancam kemanan nasional, Bab II kejahatan yang membahayakan ketertiban umum,
Bab III kejahatan yang membahayakan ekonomi sosialis, Bab IV kejahatan
pelanggaran hak-hak pribadi dan hak-hak demokratik, Bab V kejahatan pelanggaran
harta benda, Bab VI kejahatan yang merusak ketertiban administrasi sosial, Bab
VII kejahatan yang membahayakan kepentingan dalam pembelaan negara, Bab VIII
sogok menyogok dan penyuapan, Bab IX kejahatan meninggalkan tugas, dan yang
terakhir Bab X Kejahatan atas pelanggaran tugas yang dilakukan oleh personil
militer.
Pada Bab VIII mengenai sogok menyogok dan
penyuapan,
karena dalam bab ini termasuk dalam tindak pidana korupsi yang diancam dengan
pidana mati.
Adapun pasal-pasal yang diancam dengan pidana mati dalam bab ini, yaitu Pasal 383 mengenai tindak pidana sogok menyogok, Pasal 384 mengenai penyalahgunaan keuangan negara, dan Pasal 386 mengenai penerimaan uang suap.
Adapun pasal-pasal yang diancam dengan pidana mati dalam bab ini, yaitu Pasal 383 mengenai tindak pidana sogok menyogok, Pasal 384 mengenai penyalahgunaan keuangan negara, dan Pasal 386 mengenai penerimaan uang suap.
Tindak pidana korupsi sogok menyogok dirumuskan
dalam Pasal 383 yang rumusan
lengkapnya sebagai berikut:
Mereka
yang melakukan tindak pidana sogok menyogok akan mendapat hukuman tergantung
kasus yang dilakukakannya.
1. Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok dengan sejumlah uang yang lebih dari 100.000 yuan diharapkan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari 10 tahun atau hukuman penjara seumur hidup dan sebagai tambahan semua harta kekayaannya disita. Di dalam kasus yang serius, pelanggar tersebut akan mendapat hukuman mati, dan semua kekayaannya disita.
2.
Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok dengan jumlah uang
lebih dari 50.000 yuan tetapi kurang dari 100,000 yuan akan mendapatkan hukuman
lebih dari 5 tahun atau lebih dan sebagai tambahan semua kekayaannya disita. Di
dalam kasus yang serius, pelanggar akan mendapatkan hukuman mati dan semua
hartanya disita.
3. Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok dengan jumlah 5.000 yuan tetapi kurang dari 50,000 yuan akan dihukum lebih dari satu tahun dan kurang dari 7 tahun hukuman penjara. Di dalam kasus yang serius, pelanggar akan mendapatkan hukuman penjara lebih dari 7 tahun dan kurang dari10 tahun. Bagi individu yang terlibat dalam tindakan sogok-menyogok dengan sejumlah 1,000 yuan tetapi kurang dari 10,000 yuan boleh menerima suatu hukuman kurang dari satu tahun dan kecuali mereka dikatakan telah bertaubat setelah melakukan kejahatan dan dengan aktif mengembalikan uang yang diperolehnya secara tidak sah. Bagaimanapun, mereka akan menerima tindakan administrative di mana dia menjadi anggota dan diputuskan oleh unit administrative yang lebih tinggi.
4.
Individu yang terlibat dalam tindakan sogok-menyogok dengan jumlah yang kurang
dari 5,000 yuan, dengan situasi yang serius, akan mendapatkan hukuman penjara
kurang dari 2 (dua) tahun atau dilakukan penahanan.
Pengertian
sogok menyogok dalam pasal ini sama halnya dengan pengertian sogok menyogok
secara umum yang artinya memberikan sejumlah uang kepada orang lain dalam hal
ini siapa saja, untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya.. Atau sama halnya dengan penyuapan.
Kalimat
“Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok” mengartikan
bahwa bukan hanya pemberi sogok saja yang dapat dijerat hukum tetapi penerima
suap dapat juga dijerat, hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 386 KUHP Cina,
sebagai berikut:
Siapapun
yang melakukan kejahatan atas adanya penerimaan uang suap maka mendapatkan
hukuman atas dasar pasal 383 dari hukum ini menurut jumlah uang suap. Hukuman
yang lebih berat akan diberikan kepada siapapun yang menerima uang suap.
Dalam
Pasal 383 ayat (1) dan (2) KUHP Cina tuntutan pidana mati dapat diajukan
apabila pelaku melakukan penyuapan ataupun yang menerima suap lebih dari 50.000
yuan.
Sedangkan
yang dimaksud “kasus serius” sehingga pelaku diancam pidana mati, yaitu perkara
korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan perkara yang mendapat perhatian
serta meresahkan masyarakat. Hal ini berbeda dengan “keadaan tertentu” yang ada
dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam
pasal ini juga ditegaskan bahwa “semua harta kekayaan disita”, jadi tidak hanya
uang penyuapannya disita tapi juga seluruh harta benda dari pelaku, beda halnya
dalam UU Tindak Pidana Korupsi Indonesia yang cuma ada pidana denda dan
pengembalian hasil korupsi. Hal ini tentunya untuk membuat jera bagi pelaku dan
untuk menakut-nakuti bagi calon pelaku yang lain.
Pasal 383 KUHP Cina ini hampir mirip dengan Pasal
5 ayat (1) dan 6 ayat (1) UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Tetapi yang membedakannya adalah objek pidananya, dalam Pasal 383 KUHP Cina
objek pidananya berdasarkan berapa nilai besar uang sogok menyogok, sedangkan
Pasal 5 ayat (1) dan 6 ayat (1) UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
objek pidananya berdasarkan orang yang disuap, apakah penerima suap pegawai
negeri atau penyelenggara negara (Pasal 5) dan hakim atau advokat (Pasal 6).
Untuk
tindak pidana korupsi Pasal 386 mengenai penerima suap, ada kalimat yang
menyatakan “hukuman yang lebih berat akan diberikan kepada siapapun yang
menerima uang suap”. Kalimat ini menegaskan bahwa penerima suap tentunya akan
mendapatkan hukuman yang lebih berat dari pemberi suap, secara logika hal ini
memang masuk akal karena secara umum orang yang disogok penyelenggara negara
maupun aparat hukum, dengan disogoknya mereka tentunya yang dipertaruhkan
adalah integritas dan kapabilitas sebagai penyelenggara negara maupun sebagai
penegak hukum.
Pasal 386
ini berbeda halnya dengan Pasal 5 ayat (2) dan 6 ayat (2) UU No. 20/2001,
dimana dalam kedua pasal tersebut hukuman pidananya sama dengan pemberi suap
atau yang melakukan sogok menyogok. Pidana untuk Pasal 5 palilng singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan pidana untuk Pasal 6
paling singkat 3 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima) tahun.
Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan
keuangan negara, dirumuskan dalam Pasal
384 KUHP Cina yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:
Personil
negara yang mengambil keuntungan dari kantor di mana mereka bekerja dan
menyelewengkan dana negara untuk penggunaan pribadi dan aktivitas yang tidak
sah atau menyelewengkan dana milik negara dalam jumlah yang cukup besar tanpa
bermaksud mengambalikan uang tersebut dalam jangka waktu tiga bulan, maka dia
dikatakan bersalah atas kejahatan korupsi dan kepadanya dijatuhi hukuman
penjara yang tidak lebih dari lima tahun hukuman. Di dalam perkara yang cukup
serius, pelanggar tersebut diharapkan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari
lima tahun. Mereka yang menyalahgunakan dana-dana milik negara tanpa berusaha
mengembalikannya, maka kepadanya dijatuhi hukuman lebih dari 10 tahun hukuman
penjara atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati, begitu juga dengan
mereka yang menyelewengkan dana bantuan bencana alam, bencana banjir, dana
fakir miskin, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, maka kepada pelanggar
tersebut dijatuhi hukuman mati.
Dalam pasal ini dapa dibagi empat bagian, yaitu :
1.
Personil negara yang mengambil
keuntungan dari kantor di mana mereka bekerja dan menyelewengkan dana negara
untuk penggunaan pribadi dan aktivitas yang tidak sah atau menyelewengkan dana
milik negara dalam jumlah yang cukup besar tanpa bermaksud mengambalikan uang
tersebut dalam jangka waktu tiga bulan, maka dia dikatakan bersalah atas
kejahatan korupsi dan kepadanya dijatuhi hukuman penjara yang tidak lebih dari
lima tahun hukuman.
2.
Di dalam perkara yang cukup
serius, pelanggar tersebut diharapkan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari
lima tahun.
3.
Mereka yang menyalahgunakan
dana-dana milik negara tanpa berusaha mengembalikannya, maka kepadanya dijatuhi
hukuman lebih dari 10 tahun hukuman penjara atau hukuman penjara seumur hidup
atau hukuman mati.
4.
Mereka yang menyelewengkan dana bantuan bencana
alam, bencana banjir, dana bantuan militer, bantuan untuk fakir miskin, yang digunakan
untuk kepentingan pribadi, maka kepada pelanggar tersebut dijatuhi hukuman
mati.
Dalam
Pasal 384 KUHP Cina, dalam hal ini yang dimaksud mengambil keuntungan adalah
ketika personil negara melakukan penggelembungan dana (mark up) dari kantor
dimana mereka bekerja. Kemudian yang dimaksud Peyelewengan dan penyalahgunaan
dana-dana milik negara ketika personil negara mengalihkan pos anggaran yang
telah ditetapkan peruntukkannya demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Dalam
konteks ini pengertian diatas relevan dengan pengertian dalam “perkara yang
cukup serius”, dimana implikasi dari penyelewengan dan penyalahgunaan dana-dana
milik negara yang dilakukan oleh seorang pejabat negara tersebut dapat
meresahkan dan merugikan masyarakat.
Namun
dalam pasal 384 KUHP Cina memberikan keringanan, hal ini dapat dilihat dalam
rumusan yang menyatakan bahwa “tanpa bermaksud” mengembalikan uang yang telah
diselewengkan dalam jangka waktu tiga bulan maka personil negara dikatakan
bersalah. Artinya dalam rentan waktu kurang dari tiga bulan ada upaya yang
dapat dibuktikan untuk mengembalikan dana milik negara tersebut maka personil
negara yang dimaksud tidak dipidana.
C.
ANALISIS PERBANDINGAN
1. Dalam hal penjatuhan sanksi
pidana mati, di Indonesia hanya diatur dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999
sedangkan di China diatur dalam Pasal 383 dan Pasal 384.
2. Dalam UU Tipikor Indonesia hanya
disebutkan keadaan tertentu sebagai pemberat pidana
untuk dapat dijatuhi hukuman mati, sedangkan dalam
KUHP China yang dapat diancam dengan hukuman mati yaitu sogok-menyogok dan
penyelewengan dana bantuan bencana alam, dalam hal sogok menyogok ada
ditetapkan besar uang yang dikorupsi.
D.
KESIMPULAN
Melihat
hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa penjatuhan pidana mati terhadap pelaku
kejahatan korupsi di Indonesia masih lemah, hal ini dapat dilihat dalam data
statistik kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat, karena sanksi
pidana yang dijatuhkan masih ringan. Sedangkan di Cina penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku kejahatan korupsi sangat kuat dikarenakan komitmen yang kuat
dari pemerintahnya untuk memberantas korupsi, hal ini dapat dilihat dengan
menurunnya tingkat kejahatan korupsi karena banyaknya para pelaku kejahatan
korupsi yang dihukum mati.
Hukum
pidana korupsi yang diancam pidana mati di Indonesia mengandung beberapa
kelemahan dan memberi kesan kekurangseriusan pemerintah untuk menerapkan pidana
mati. Peneliti melihat pidana mati sebagai pemberatan pidana hanya diancamkan
untuk bentuk tindak pidana korupsi tertentu, yaitu dalam Pasal 2 (2) UU No.
31/1999 jo. UU No. 20/2001, bilamana tindakan korupsi itu dilakukan terhadap
dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Sedangkan di
Cina rumusan-rumusan pasal dalam KUHP Cina sangat memadai untuk dapat menjerat
hukuman mati karena mencatumkan kualitas dan kuantitas yang dikorupsi agar
menjadi indikator dalam menjatuhkan pidana mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar