Rabu, 02 Agustus 2017

ANALISIS PERBANDINGAN SANKSI PIDANA MATI TERHADAP KORUPTOR DI INDONESIA DAN CHINA



ANALISIS PERBANDINGAN SANKSI PIDANA MATI
TERHADAP KORUPTOR DI INDONESIA DAN CHINA



Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancur perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung derita.
Para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang 'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri. anyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S. Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.
Sedangkan di Chuna Sejak 1999, Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai AS$200.000.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina. "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean".



A.     PASAL TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIANCAM PIDANA MATI DI INDONESIA

Aspirasi dan tuntutan masyarakat yang sangat kuat di era reformasi untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efektif, disalurkan dan diwujudkan oleh wakil-wakil rakyat di DPR dengan mengganti UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UU No. 31/1999 yang kemudian undang-undang ini pun diamandemen dengan UU No. 20/2001. Salah satu kebijakan yang ditempuh DPR dalam melakukan perubahan undang-undang untuk memberantas korupsi ialah dengan mencatumkan ancaman pidana mati dalam UU No. 31/1999 yang dalam undang-undang sebelumnya tidak ada.
Dalam “Penjelasan Umum” UU No. 31/1999 dinyatakan sebagai berikut:
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
Adanya ancaman pidana mati dalam UU No. 31/1999 itu seolah-olah menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Bahkan sempat juga pidana mati itu digunakan sebagai komoditas politik calon-calon Presiden dan Wakil Presiden beberapa waktu yang lalu untuk memperkuat komitmennya dalam upaya program pemberantasan korupsi di Indonesia.

Adapun isi pasal yang menerapkan hukuman mati yakdi pada  Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi:

(1)     Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2)     Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Khusus untuk instruksi mengoptimalkan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, Kejaksaan harus memaksimalkan tuntutan terhadap pelaku korupsi, yaitu dengan menggunakan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU No. 20/2001 apabila ada bahwa korupsi yang dilakukan dalam “keadaan tertentu” dapat dijatuhi hukuman mati. Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menentukan keadaan tertentu sebagai pemberat pidana apabila korupsi dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan (1) keadaan bahaya, (2) bencana alam nasional, (3) akibat kerusuhan yang meluas, (4) krisis ekonomi dan moneter, dan (5) pengulangan tindak pidana korupsi.
Dipilihnya atau diterapkannya pidana mati sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan pada hakikatnya merupakan salah satu pilihan kebijakan. Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat pro atau kontra terhadap hukuman mati. Namun setelah kebijakan diambil dan diputuskan dan kemudian dirumuskan dalam suatu undang-undang, maka dilihat dari sudut kebijakan poltik hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy), kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya diharapkan dapat diterapkan pada tahap aplikasi.
Apabila putusan hakim perkara korupsi dicermati nampak secara jelas ada ketidakadilan dan perlakuan yang berbeda antara kejahatan blue collor crimes dengan white collor crimes, mengapa demikian, persoalannya terletak pada stigma kejahatan. Kejahatan blue collor crime sifat tercelanya perbuatan berasal dari masyarakat, perbuatan yang dilakukan sangat menjijikkan. Orang sering menyebutnya sebagai kejahatan mala inse artinya stigma kejahatan berasal dari masyarakat, sedangkan kejahatan white collor crime sifat tercelahnya perbuatan berasal dari negara, konsekuensinya masyarakat menganggap bukan merupakan kejahatan yang serius. Tidak mengherankan apabila orang yang melakukan kejahatan korupsi tidak merasa bersalah dan berdosa, malah terkesan “kejahatan prestise” artinya orang berlomba melakukannya, justeru orang yang tidak ikut (penyimpangan budaya) dianggap “bodoh” inilah yang disebut dengan keadaan “anomalia”. Seharusnya penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang sudah termasuk extra ordinary crime bersifat proporsional dan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, atas dasar hal tersebut, hakim dapat melakukan pertimbangan putusan secara objektif.
Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi hingga kini masih melahirkan prokontra, artinya masih banyak kekuatan atau kelompok politik bermain untuk menggagalkan, salah satunya dengan menelaah rumusan pasalnya.


B.     PASAL-PASAL TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIANCAM PIDANA MATI DI CHINA

Cina adalah salah satu negara komunis yang masih bertahan, walaupun demikian kehidupan ekonominya telah membuka diri dan dalam hal-hal tertentu menempuh pula jalan kapitalisme. KUHP Cina disusun pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 1980, kemudian KUHP Cina diamandemen pada Kongres Masyarakat Cina yang ke VIII pada tahun 1997. Sama halnya dengan KUHP-KUHP modern yang lain KUHP Cina terdiri atas dua bagian (buku), yaitu bagian I tentang Ketentuan Umum dan Bagian II tentang Ketentuan Khusus.
                                                                                                                 
Dalam Ketentuan Khusus KUHP Cina pada Bab I mengatur mengenai kejahatan yang mengancam kemanan nasional, Bab II kejahatan yang membahayakan ketertiban umum, Bab III kejahatan yang membahayakan ekonomi sosialis, Bab IV kejahatan pelanggaran hak-hak pribadi dan hak-hak demokratik, Bab V kejahatan pelanggaran harta benda, Bab VI kejahatan yang merusak ketertiban administrasi sosial, Bab VII kejahatan yang membahayakan kepentingan dalam pembelaan negara, Bab VIII sogok menyogok dan penyuapan, Bab IX kejahatan meninggalkan tugas, dan yang terakhir Bab X Kejahatan atas pelanggaran tugas yang dilakukan oleh personil militer.

Pada Bab VIII mengenai sogok menyogok dan penyuapan, karena dalam bab ini termasuk dalam tindak pidana korupsi yang diancam dengan pidana mati.
Adapun pasal-pasal yang diancam dengan pidana mati dalam bab ini, yaitu Pasal 383 mengenai tindak pidana sogok menyogok, Pasal 384 mengenai penyalahgunaan keuangan negara, dan Pasal 386 mengenai penerimaan uang suap.

Tindak pidana korupsi sogok menyogok dirumuskan dalam Pasal 383 yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:

Mereka yang melakukan tindak pidana sogok menyogok akan mendapat hukuman tergantung kasus yang dilakukakannya.

1. Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok dengan sejumlah uang yang lebih dari 100.000 yuan diharapkan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari 10 tahun atau hukuman penjara seumur hidup dan sebagai tambahan semua harta kekayaannya disita. Di dalam kasus yang serius, pelanggar tersebut akan mendapat hukuman mati, dan semua kekayaannya disita.

2. Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok dengan jumlah uang lebih dari 50.000 yuan tetapi kurang dari 100,000 yuan akan mendapatkan hukuman lebih dari 5 tahun atau lebih dan sebagai tambahan semua kekayaannya disita. Di dalam kasus yang serius, pelanggar akan mendapatkan hukuman mati dan semua hartanya disita.

3. Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok dengan jumlah 5.000 yuan tetapi kurang dari 50,000 yuan akan dihukum lebih dari satu tahun dan kurang dari 7 tahun hukuman penjara. Di dalam kasus yang serius, pelanggar akan mendapatkan hukuman penjara lebih dari 7 tahun dan kurang dari10 tahun. Bagi individu yang terlibat dalam tindakan sogok-menyogok dengan sejumlah 1,000 yuan tetapi kurang dari 10,000 yuan boleh menerima suatu hukuman kurang dari satu tahun dan kecuali mereka dikatakan telah bertaubat setelah melakukan kejahatan dan dengan aktif mengembalikan uang yang diperolehnya secara tidak sah. Bagaimanapun, mereka akan menerima tindakan administrative di mana dia menjadi anggota dan diputuskan oleh unit administrative yang lebih tinggi.

4. Individu yang terlibat dalam tindakan sogok-menyogok dengan jumlah yang kurang dari 5,000 yuan, dengan situasi yang serius, akan mendapatkan hukuman penjara kurang dari 2 (dua) tahun atau dilakukan penahanan.

Pengertian sogok menyogok dalam pasal ini sama halnya dengan pengertian sogok menyogok secara umum yang artinya memberikan sejumlah uang kepada orang lain dalam hal ini siapa saja, untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.. Atau sama halnya dengan penyuapan.
Kalimat “Individu yang terlibat di dalam tindak pidana sogok-menyogok” mengartikan bahwa bukan hanya pemberi sogok saja yang dapat dijerat hukum tetapi penerima suap dapat juga dijerat, hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 386 KUHP Cina, sebagai berikut:
Siapapun yang melakukan kejahatan atas adanya penerimaan uang suap maka mendapatkan hukuman atas dasar pasal 383 dari hukum ini menurut jumlah uang suap. Hukuman yang lebih berat akan diberikan kepada siapapun yang menerima uang suap.
Dalam Pasal 383 ayat (1) dan (2) KUHP Cina tuntutan pidana mati dapat diajukan apabila pelaku melakukan penyuapan ataupun yang menerima suap lebih dari 50.000 yuan.
Sedangkan yang dimaksud “kasus serius” sehingga pelaku diancam pidana mati, yaitu perkara korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan perkara yang mendapat perhatian serta meresahkan masyarakat. Hal ini berbeda dengan “keadaan tertentu” yang ada dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal ini juga ditegaskan bahwa “semua harta kekayaan disita”, jadi tidak hanya uang penyuapannya disita tapi juga seluruh harta benda dari pelaku, beda halnya dalam UU Tindak Pidana Korupsi Indonesia yang cuma ada pidana denda dan pengembalian hasil korupsi. Hal ini tentunya untuk membuat jera bagi pelaku dan untuk menakut-nakuti bagi calon pelaku yang lain.
Pasal 383 KUHP Cina ini hampir mirip dengan Pasal 5 ayat (1) dan 6 ayat (1) UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi yang membedakannya adalah objek pidananya, dalam Pasal 383 KUHP Cina objek pidananya berdasarkan berapa nilai besar uang sogok menyogok, sedangkan Pasal 5 ayat (1) dan 6 ayat (1) UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi objek pidananya berdasarkan orang yang disuap, apakah penerima suap pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pasal 5) dan hakim atau advokat (Pasal 6).
Untuk tindak pidana korupsi Pasal 386 mengenai penerima suap, ada kalimat yang menyatakan “hukuman yang lebih berat akan diberikan kepada siapapun yang menerima uang suap”. Kalimat ini menegaskan bahwa penerima suap tentunya akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari pemberi suap, secara logika hal ini memang masuk akal karena secara umum orang yang disogok penyelenggara negara maupun aparat hukum, dengan disogoknya mereka tentunya yang dipertaruhkan adalah integritas dan kapabilitas sebagai penyelenggara negara maupun sebagai penegak hukum.
Pasal 386 ini berbeda halnya dengan Pasal 5 ayat (2) dan 6 ayat (2) UU No. 20/2001, dimana dalam kedua pasal tersebut hukuman pidananya sama dengan pemberi suap atau yang melakukan sogok menyogok. Pidana untuk Pasal 5 palilng singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan pidana untuk Pasal 6 paling singkat 3 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima) tahun.

Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan keuangan negara, dirumuskan dalam Pasal 384 KUHP Cina yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:

Personil negara yang mengambil keuntungan dari kantor di mana mereka bekerja dan menyelewengkan dana negara untuk penggunaan pribadi dan aktivitas yang tidak sah atau menyelewengkan dana milik negara dalam jumlah yang cukup besar tanpa bermaksud mengambalikan uang tersebut dalam jangka waktu tiga bulan, maka dia dikatakan bersalah atas kejahatan korupsi dan kepadanya dijatuhi hukuman penjara yang tidak lebih dari lima tahun hukuman. Di dalam perkara yang cukup serius, pelanggar tersebut diharapkan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari lima tahun. Mereka yang menyalahgunakan dana-dana milik negara tanpa berusaha mengembalikannya, maka kepadanya dijatuhi hukuman lebih dari 10 tahun hukuman penjara atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati, begitu juga dengan mereka yang menyelewengkan dana bantuan bencana alam, bencana banjir, dana fakir miskin, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, maka kepada pelanggar tersebut dijatuhi hukuman mati.

Dalam pasal ini dapa dibagi empat bagian, yaitu :

1.              Personil negara yang mengambil keuntungan dari kantor di mana mereka bekerja dan menyelewengkan dana negara untuk penggunaan pribadi dan aktivitas yang tidak sah atau menyelewengkan dana milik negara dalam jumlah yang cukup besar tanpa bermaksud mengambalikan uang tersebut dalam jangka waktu tiga bulan, maka dia dikatakan bersalah atas kejahatan korupsi dan kepadanya dijatuhi hukuman penjara yang tidak lebih dari lima tahun hukuman.
2.              Di dalam perkara yang cukup serius, pelanggar tersebut diharapkan untuk mendapat hukuman penjara lebih dari lima tahun.
3.              Mereka yang menyalahgunakan dana-dana milik negara tanpa berusaha mengembalikannya, maka kepadanya dijatuhi hukuman lebih dari 10 tahun hukuman penjara atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.
4.              Mereka yang menyelewengkan dana bantuan bencana alam, bencana banjir, dana bantuan militer, bantuan untuk fakir miskin, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, maka kepada pelanggar tersebut dijatuhi hukuman mati.

Dalam Pasal 384 KUHP Cina, dalam hal ini yang dimaksud mengambil keuntungan adalah ketika personil negara melakukan penggelembungan dana (mark up) dari kantor dimana mereka bekerja. Kemudian yang dimaksud Peyelewengan dan penyalahgunaan dana-dana milik negara ketika personil negara mengalihkan pos anggaran yang telah ditetapkan peruntukkannya demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Dalam konteks ini pengertian diatas relevan dengan pengertian dalam “perkara yang cukup serius”, dimana implikasi dari penyelewengan dan penyalahgunaan dana-dana milik negara yang dilakukan oleh seorang pejabat negara tersebut dapat meresahkan dan merugikan masyarakat.
Namun dalam pasal 384 KUHP Cina memberikan keringanan, hal ini dapat dilihat dalam rumusan yang menyatakan bahwa “tanpa bermaksud” mengembalikan uang yang telah diselewengkan dalam jangka waktu tiga bulan maka personil negara dikatakan bersalah. Artinya dalam rentan waktu kurang dari tiga bulan ada upaya yang dapat dibuktikan untuk mengembalikan dana milik negara tersebut maka personil negara yang dimaksud tidak dipidana.




C.      ANALISIS PERBANDINGAN

1.       Dalam hal penjatuhan sanksi pidana mati, di Indonesia hanya diatur dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 sedangkan di China diatur dalam Pasal 383 dan Pasal 384.
2.       Dalam UU Tipikor Indonesia hanya disebutkan keadaan tertentu sebagai pemberat pidana untuk dapat dijatuhi hukuman mati, sedangkan dalam KUHP China yang dapat diancam dengan hukuman mati yaitu sogok-menyogok dan penyelewengan dana bantuan bencana alam, dalam hal sogok menyogok ada ditetapkan besar uang yang dikorupsi.

D.      KESIMPULAN

Melihat hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi di Indonesia masih lemah, hal ini dapat dilihat dalam data statistik kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat, karena sanksi pidana yang dijatuhkan masih ringan. Sedangkan di Cina penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi sangat kuat dikarenakan komitmen yang kuat dari pemerintahnya untuk memberantas korupsi, hal ini dapat dilihat dengan menurunnya tingkat kejahatan korupsi karena banyaknya para pelaku kejahatan korupsi yang dihukum mati.
Hukum pidana korupsi yang diancam pidana mati di Indonesia mengandung beberapa kelemahan dan memberi kesan kekurangseriusan pemerintah untuk menerapkan pidana mati. Peneliti melihat pidana mati sebagai pemberatan pidana hanya diancamkan untuk bentuk tindak pidana korupsi tertentu, yaitu dalam Pasal 2 (2) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001, bilamana tindakan korupsi itu dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Sedangkan di Cina rumusan-rumusan pasal dalam KUHP Cina sangat memadai untuk dapat menjerat hukuman mati karena mencatumkan kualitas dan kuantitas yang dikorupsi agar menjadi indikator dalam menjatuhkan pidana mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar