BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan sejarah, perdagangan atau perbudakan telah ada dan berkembang sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu yang dimulai
dengan adanya penaklukan atas suatu
kelompok oleh kelompok
lainnya, kelompok yang paling kuat dan memiliki
kekuasaan akan menguasai
kelompok yang lemah. Kepemilikan kekuasaan ekonomi
dan
politik menjadikan sumber dan peluang untuk
dapat berkembangnya perbudakan, sebagai akibat dari penaklukan yang dibayar
dengan suatu pengabdian yang mutlak.
Dalam sejarah bangsa Indonesia perdagangan orang pernah ada melalui
perbudakan dan penghambaan. Masa kerajaan
– kerajaan di Jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem
pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep
kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya
agung dan mulia. Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin
dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang
dari selir tersebut
adalah putri bangsawan
yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lainnya adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga
itu mempunyai ketertarikan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan statusnya. Perempuan
yang dijadikan selir berasal dari daerah tertentu. Sampai
sekarang daerah –daerah tersebut
masih merupakan legenda.
Kini, perdagangan orang merupakan
masalah yang menjadi perhatian luas di Asia bahkan
di seluruh dunia.
Perdagangan orang
terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negara Indonesia
saja yaitu perdagangan orang antarpulau, tetapi juga perdagangan orang di luar negara Indonesia dimana terjadi perdagangan orang ke negara – negara lain. Maraknya issue perdagangan orang ini diawali dengan semakin
meningkatnya pencari
kerja baik laki – laki maupun perempuan bahkan anak – anak untuk bermigrasi ke luar daerah
sampai keluar negeri guna mencari pekerjaan. Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi
yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab
yang mendorong terjadi
hal tersebut diatas, diantaranya yang paling dominan adalah
faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan pekerjaan, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak
berkesudahan.
Masyarakat Internasional telah lama menaruh perhatian
terhadap permasalahan perdagangan orang ini. Perserikatan Bangsa - Bangsa,
misalnya melalui konvensi tahun 1949 mengenai penghapusan perdagangan manusia
dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain, konvensi tahun 1979 mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap
perempuan, konvensi tahun 1989 mengenai hak – hak anak. Berbagai
organisasi Internasional seperti
IOM, ILO, UNICEF, dan UNESCO memberikan perhatian khusus
pada masalah perdagangan anak, pekerja anak yang biasanya
berada pada kondisi pekerjaan eksploitatif, seksual komersial.
Kebijakan hukum perlu dilakukan
khususnya dalam penanggulangan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang agar hukum dapat berjalan secara
efektif
dan sesuai dengan harapan. Menurut Mochtar Kusumaatmadja
hukum tanpa kekuasaan adalah angan – angan,
sedangkan kekuasaan
tanpa hukum adalah kezaliman.
Seiring dengan hal itu maka adapun gagasan tentang
pencegahan, pemberantasan dan penanganan perdagangan orang yang di buat oleh pemerintah Indonesia dalam menangani tindak pidana
perdagangan orang
yakni dengan diundangkannya Undang
– Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Pengesahan Protokol
untuk Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang Terutama Perempuan
dan Anak – Anak. Diundangkannya undang
– undang
tersebut diatas melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) untuk menentang tindak pidana trans – nasional yang terorganisir.
Dunia memperingati tanggal 2 Desember sebagai Hari Penghapusan
Perbudakan setiap tahunnya. Modernisasi tak lantas secara otomatis menjadikan perbudakan sebagai bagian dari sejarah manusia yang tinggal kenangan. Faktanya hingga kini perbudakan masih saja terjadi dalam berbagai bentuk.
Perbudakan yang mendorong
terjadinya perdagangan orang
yang merupakan
salah
satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Perdagangan orang adalah permasalahan internasional, yang mana hampir setiap negara di dunia ini mempunyai catatan kasus
perdagangan orang yang
terjadi di
negaranya.
Miliaran
dolar telah
dihasilkan dengan mengorbankan jutaan
orang korban
perdagangan orang. Anak
laki-laki
dan anak perempuan
yang mestinya
bersekolah dipaksa untuk menjadi
tentara, melakukan
kerja paksa, atau dijual untuk kepentingan seks. Demikian juga dengan perempuan-perempuan dan anak-anak
perempuan yang diperdagangkan untuk tujuan
berbagai bentuk eksploitasi, seperti dipaksa untuk menjadi
pekerja domestik, prostitusi ataupun kawin paksa. Sementara untuk laki-laki, seringkali terperangkap oleh hutang, kemudian
menjadi budak di daerah pertambangan, perkebunan, atau bentuk kerja
terburuk lainnya.
Perdagangan orang adalah bentuk
kejahatan yang resikonya rendah
namun besar perolehan keuntungannya. Sifat
kejahatannya yang sangat sistematis dan mekanisme-mekanisme canggih yang digunakan berpadu dengan kenyataan masih banyaknya negara yang belum memiliki hukum ataupun peraturan perundang-undangan sebagai instrument untuk memberantas kejahatan ini.
Walaupun begitu, kalaupun sudah ada penegakan hukumnya masih lemah, sehingga banyak
terjadi kasus dimana pelaku kejahatan perdagangan orang dilepaskan dengan mudahnya sedangkan korbannya diperlakukan
sebagai penjahat.
Persoalan perdagangan
orang saat ini telah menjadi
suatu keprihatinan bagi dunia internasional. Hal ini mengingat
sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia
(dan untuk selanjutnya disingkat menjadi HAM) dianggap
sebagai penyebab dan sekaligus
akibat dari perdagangan orang. Pelanggaran HAM yang dimaksud seperti kerja paksa,
eksploitasi seksual dan
tenaga kerja, kekerasan, serta
perlakuan sewenang-wenang terhadap
para korbannya. Para pelaku perdagangan orang secara licik telah mengeksploitasi kemiskinan, memanipulasi harapan dan kepolosan
dari para korbannya
dengan menggunakan ancaman, intimidasi dan
kekerasan untuk membuat
para korban menjalani perhambaan terpaksa, menjalani peonage,menjalani perhambaan karena hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa atau palsu, terlibat dalam pelacuran terpaksa atau untuk bekerja
dibawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk keuntungan bagi si pedagang.
Korban tidak lagi diperlakukan seperti manusia, melainkan selayaknya budak
yang dipaksa untuk memproduksi barang-barang murah ataupun memberikan layanan yang terus-menerus. Mereka hidup dalam ketakutan, dan banyak juga yang pada akhirnya
menjadi korban kekerasan.
Keprihatinan
berbasis HAM tersebut perlu juga menjadi keprihatinan yang inklusif-jender. Jender
dianggap faktor penentu dalam perdagangan, baik dari segi persediaan maupun permintaan. Perempuan dan anak-anak
perempuan jauh lebih mungkin
menjadi korban perdagangan orang dibandingkan dengan laki-laki ataupun anak laki-
laki. Terutama jika kita bicara soal perdagangan orang yang ditujukan
untuk pelacuran dan bentuk lain dari eksploitasi seksual, dan juga dalam eksploitasi kerja domestik yang lebih mirip dengan
praktek perbudakan di era modern. Perdagangan orang adalah
penjelmaan serius dari proses feminisasi kemiskinan dan tantangan-tantangan yang lebih besar yang dihadapi para perempuan dan anak-anak
perempuan di dunia yang dikarakterisasi oleh diskriminasi jender, baik didalam
maupun diluar pasar lapangan kerja. Pokok masalah dari perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah status inferior kaum perempuan, prasangka budaya yang sangat berurat-akar yang menghalang- halangi kaum perempuan dalam menyadai
potensinya. Kesemua hal itu diperparah dengan kegagalan negara dalam menjamin hak-hak perempuan. Di negara-negara dari mana sejumlah besar perempuan dan anak perempuan
diperdagangkan, orang menemukan
sketsa serupa dari ketidakberdayaan perempuan.
Alasan keprihatinan lainnya adalah soal kerentanan korban perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak perempuan, terhadap HIV/AIDS. Para perempuan
dan anak-anak yang diperdagangkan dapat terekspos
pada resiko yang lebih tinggi terhadap
penularan HIV serta masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual
lainnya dibandingkan dengan para pekerja
seks komersial karena
sifat dan situasi mereka yang
terkurung serta terkendali serta kerentanan mereka terhadap perlakuan sewenang-wenang termasuk perkosaan secara keji. Disamping itu para perempuan
dan anak-anak yang diperdagangkan sering
tidak memiliki akses ke pelayanan-pelayanan kesehatan dan pengobatan IMS dikarenakan kurangnya sumber daya keuangan, takut akan diketahui, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, dan hal lainnya.
Selain itu ancaman HIV/AIDS dapat juga digunakan
untuk pendiskriminasian lebih lanjut
terhadap para perempuan korban perdagangan. Para perempuan
dan anak-anak perempuan
yang diselamatkan dari perdagangan sering menjadi
sasaran tes wajib HIV/AIDS
pada saat mereka
kembali ke negara mereka,
sedangkan para laki-laki tidak diwajibkan
untuk itu.
Situasi-situasi membahayakan itu, semakin diperparah dengan tidak memadainya ketentuan- ketentuan hukum serta
intervensi kebijakan yang ada dari sebagian besar negara. Kurangnya perundang-undangan khusus yang tepat dan efektif mengenai perdagangan orang di tingkat nasional
telah diidentifikasi sebagai salah satu halangan utama
dalam memberantas perdagangan
orang. Perundang-undangan yang ada dan penegakan hukum di sebagian
besar negara selama ini tidak memadai untuk menghalangi perdagangan orang dan
menyeret para pedagang
ke hadapan hukum.
B. Rumusan Masalah
Setelah
mengetahui latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu:
1.
Apa pengertian Human Trafficking ?
2.
Bagaimana tindak pidana
perdagangan orang
(Human Trafficking) dilihat dari bentuk
- bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya ?
3.
Bagaimana
pengaturan
hukum
internasional tentang
tindak pidana perdagangan orang
(Human Trafficking) ?
4.
Bagaimana tanggung jawab negara dalam upaya pemberantasan
dan pencegahan perdagangan orang ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian Human Trafficking;
2.
Untuk mengetahui seperti
apa tindak pidana perdagangan orang
(Human Trafficking) dilihat dari bentuk
- bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya;
3.
Untuk mengetahui pengaturan
hukum
internasional tentang
tindak pidana perdagangan orang
(Human Trafficking);
4.
Untuk mengetahui tanggung jawab negara dalam upaya pemberantasan
dan pencegahan perdagangan orang.
D. Manfaat
a.
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat di jadikan sebagai bahan kepustakaan dan
bahan referensi hukum bagi mereka yang berminat pada kajian-kajian ilmu hukum pidana
internasional;
b.
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menumbuhkan kesadaran kepada
masyarakat bahwa perdagangan manusia di Indonesia menjadi permasalahan yang sangat
memprihatinkan
dan harus segera mendapat penanganan yang serius.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Human
Trafficking
Definisi human trafficking mengalami
perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United
Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam hal
ini yang dimaksud dengan human trafficking atau perdagangan manusia,
yakni: “...the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt
of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion,
of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of
vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve
the consent of a person having control over another person, for the purposes of
exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the
prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or
services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of
organs.”, yang artinya:... perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan
atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau kecurangan,
atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun menerima/memberi
bayaran, atau manfaat untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk
ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya,
adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian human trafficking, adalah sebagai berikut:
a. Mencakup kegiatan pengiriman tenaga
kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan
tempat tinggalnya atau keluarganya. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang
dimaksud tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
b. Meskipun trafficking dilakukan atas
izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi
relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking
tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak
berdaya. Misalnya karena terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi,
dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu,
atau diperdaya.
c. Trafficking mempunyai tujuan
eksploitasi, terutama tenaga kerja (dengan menguras habis tenaga yang
dipekerjakan) dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan, kemolekan
tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang yang bersangkutan
dalam transaksi seks).
Di Indonesia
pengertian human trafficking atau perdagangan manusia (perempuan dan
anak) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang
menyatakan bahwa: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku
(trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan,
pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan,
penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan anak
- dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan,
penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika
seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan
hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di
mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi
seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi
anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis,
industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh,
serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.
B. Bentuk – Bentuk, Faktor Penyebab dan Akibat dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
a) Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
1)
Pekerja Migran
Pekerja migran adalah
orang yang bermigrasi dari wilayah
kelahirannya ke tempat lain dan kemudian
bekerja di tempat
yang baru tersebut
dalam jangka waktu relatif menetap. Menurut Everet S. Lee dalam Muhadjir
Darwin bahwa keputusan berpindah tempat
tinggal dari satu wilayah
ke wilayah lain adalah konsekuensi dari perbedaan dalam nilai kefaedahan antara daerah asal dan daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong
dari tempat asal dan factor penarik dari tempat tujuan.
2)
Pekerja Anak
Perdagangan anak dapat diartikan
sebagai segala
bentuk tindakan dan percobaan
tindakan yang melibatkan perekrutan, transportasi baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau dengan pelibatan hutang untuk tujuan
pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas
yang berbeda dengan komunitas
di mana anak tersebut
tinggal ketika
penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang tersebut pertama
kali terjadi.
3)
Kejahatan
Protistusi
Secara harfiah, prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual
dengan uang atau hadiah
sebagai suatu transaksi
perdagangan. Secara hukum, prostitusi didefinisikan sebagai penjualan
jasa seksual yang meliputi
tindakan seksual tidak sebesar kopulasi dan hubungan seksual.
4)
Perdagangan
Anak Melalui Adopsi (Pengangkatan Anak)
Prosedur pengangkatan anak memang dilakukan
secara ketat untuk melindungi hak – hak anak yang diangkat
dan mencegah berbagai
pelanggaran dan
kejahatan seperti perdagangan anak.
Ketidaktahuan prosedur ini
menimbulkan persepsi dimasyarakat bahwa mengadopsi anak itu mudah,
sehingga sering
kali masyarakat bertindak di
luar
hukum,
maka
dapat terjadi tindak pidana
perdagangan anak.
5)
Perbudakan Berkedok
Pernikahan dan Pengantin Pesanan
Biasanya, praktik perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan dilakukan oleh pria warga negara
asing dengan wanita warga negara
Indonesia. Salah satu modus
operandi perdagangan orang yang lain adalah pengantin pesanan (mail border bride) yang merupakan
pernikahan paksa dimana
pernikahannya diatur
orang tua. Perkawinan pesanan ini menjadi
perdagangan orang apabila
terjadi eksploitasi baik secara seksual
maupun ekonomi melalui
penipuan, penyesengsaraan, penahanan dokumen, sehingga tidak dapat
melepaskan diri dari eksploitasi, serta ditutupnya akses informasi dan komunikasi dengan
keluarga.
6)
Implantasi
Organ
Jakarta, Indonesia sudah dinyatakan sebagai kawasan potensial
untuk perdagangan anak dan perempuan. Sepanjang
2003 – 2004 ditemukan
sedikitnya 80 kasus perdagangan anak berkedok adopsi yang melibatkan jaringan dalam negeri. Dalam beberapa
kasus ditemukan adanya bayi yang belakangan
diketahui di adopsi
untuk diambil organ tubuhnya dan sebagian besar bayi yang diadopsi
tersebut dikirim ke sejumlah negara diantaranya ke Singapura, Malaysia, Belanda,
Swedia, dan Prancis. Hal ini diungkap mantan ketua Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan,
Rachmat.
b)
Faktor
Penyebab Terjadinya
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
1)
Faktor Ekonomi
Permasalahan ini sering sekali menjadi pemicu
utama terjadinya kasus perdagangan manusia.
Tanggung jawab yang besar untuk menopang
hidup keluarga, keperluan
yang tidak sedikit sehingga membutuhkan uang yang tidak sedikit
pula, terlilit hutang yang sangat
besar, dan motif - motif
lainnya yang dapat memicu terjadinya tindakan
perdagangan manusia.
Tidak hanya itu, hasrat ingin cepat
kaya juga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut.
2)
Faktor Ekologis
Penduduk Indonesia amat besar jumlahnya, yaitu 238 juta jiwa (sensus 2010), dan secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 34 provinsi.
Letak Indonesia amat strategis sebagai negara
asal maupun transit
dalam perdagangan orang, karena memiliki
banyak pelabuhan udara dan pelabuhan
kapal laut serta letaknya berbatasan
dengan negara lain, terutama
di
perbatasan darat seperti Kalimantan Barat dengan Sabah, Australia di bagian selatan,
Timor Leste di bagian timur, dan Irian Jaya dengan Papua
Nugini.
Hal inilah yang menimbulkan terjadinya perpindahan penduduk ke berbagai
daerah sehingga banyak orang beramai – ramai pindah
dari daerah asalnya
dan ketika itulah mereka menjadi korban perdagangan orang yakni dengan banyaknya
cara pelaku tindak pidana perdagangan orang mengelabui korbannya. Misalnya dengan memberikan pekerjaan yang tidak nyata, dijanjikan pekerjaan pembantu
akan tetapi kenyataannya dijadikan
pekerja seks komersial.
3)
Faktor
Sosial Budaya
Secara geografis Indonesia terdiri atas beribu – ribu pulau dan banyak provinsi. Bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi, lebih dari 400 bahasa
berbeda digunakan
di
Indonesia. Keragaman budaya
dimanifestasikan dalam banyak
macam suku bangsa, tradisi
dan pola pemukiman yang kemudian
menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial.
Dalam masyarakat terdapat sedikit kesepakatan dan lebih banyak memancing timbulnya konflik – konflik,
diantaranya konflik
kebudayaan. Tidak saja konflik kebudayaan yang dapat memunculkan kejahatan, tetapi juga disebabkan oleh faktor
sosial, dimana ada perbedaan antara
budaya dan sosial,
maka hal ini dapat memunculkan terjadinya
konflik. Ketika terjadi konflik maka banyak penduduk
akan melakukan transmigrasi dari daerahnya
yang rawan konflik
ke daerah yang lebih aman.
Hal ini dapat menimbulkan terjadinya korban perdagangan orang terutama
kepada penduduk yang miskin tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia
utuk mencari nafkah, tetapi juga karena mereka memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil, sehingga mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses
untuk memperoleh bantuan
dan ganti
rugi.
4) Ketidakadaan Kesetaraan Gender
Dari banyak penelitian penelitian bahwa banyak perempuan yang menjadi
korban, hal ini karena dalam masyarakat terjadi perkawinan usia muda yang dijadikan cara untuk keluar dari kemiskinan. Dalam keluarga
anak perempuan seringkali menjadi beban ekonomi
keluarga, sehingga dikawinkan pada usia muda. Mengawinkan anak dalam usia muda telah mendorong
anak memasuki eksploitasi seksual komersial, karena pertama, tingkat kegagalan
pernikahan semacam
ini
sangat
tinggi, sehingga terjadi perceraian
dan rentan
terhadap
perdagangan orang.
5) Faktor Penegak Hukum
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi faktor penegakan
hukum adalah :
1) Faktor hukumnya sendiri,
2) Faktor penegak hukum,
3) Faktor sarana atau fasilitas,
4) Faktor masyarakat,
5) Faktor kebudayaan.
c)
Akibat
–
Akibat Yang Ditimbulkan
dari Bentuk
–
Bentuk Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Para korban perdagangan manusia mengalami banyak hal yang sangat mengerikan. Perdagangan manusia menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Tidak
jarang, dampak negatif
hal ini meninggalkan pengaruh yang permanen bagi para korban.
Dari segi fisik, korban perdagangan manusia sering sekali terjangkit penyakit. Selain karena stress, mereka dapat terjangkit penyakit karena situasi hidup serta pekerjaan yang mempunyai dampak besar terhadap kesehatan.
Tidak hanya penyakit,
pada korban anak
- anak seringkali mengalami pertumbuhan yang terhambat.
C. Pengaturan Hukum
Internasional Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB
mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal
Declaration of Human Rights (UDHR). UDHR memuat 30 pasal tentang
hak-hak yang dimiliki setiap orang. UDHR tidak dirancang menjadi dokumen hukum
yang mengikat negara-negara penandatangan, namun hanya pernyataan-pernyataan
tentang prinsip perlakuan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, UDHR tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mampu memaksa negara-negara untuk memenuhi
pasal-pasal di dalamnya.
Pada perkembangannya prinsip-prinsip yang
terkandung dalam UDHR dituangkan ke dalam dua konvensi yaitu Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and
Political Rigths (ICCPR) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya atau International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR). Kedua konvensi ini diberlakukan pada tahun 1966.
Sejauh ini Pemerintah R.I. telah mengesahkan dalam
bentuk ratifikasi/ratification sejumlah instrumen HAM internasional
utama ke dalam sistem hukum Indonesia, yaitu:
a. Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/ CEDAW (1984)
Sejarah mencatat bahwa Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW
merupakan Bill of Rights for Women komprehensif yang pertama kali secara
khusus mengakui hak asasi perempuan (HAP). Sebagai sebuah instrumen
internasional HAM, CEDAW menjadi standar universal pertama yang mengatur
mengenai HAP. Pondasi utama yang diberikan CEDAW dalam perkembangan HAM adalah
lahirnya definisi yang jelas tentang diskriminasi terhadap perempuan (discrimination
against women) dan persamaan (equality). CEDAW mengatur cakupan HAP
dan kewajiban negara untuk menjamin pemenuhan HAP. CEDAW memuat 12 area HAP.
b. Konvensi Hak-Hak Anak/CRC (1990)
Dalam konteks HAM, hak
asasi anak atau hak anak mulai diatur dengan lahirnya Konvensi Hak Anak
atau Covenant on the Rights of Children (CRC) yang diadopsi oleh
Majelis Umum PBB tahun 1989. Perlunya pengaturan tentang hak anak (selain HAM)
didasarkan oleh pemahaman bahwa anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang khusus
yang berhubungan dengan situasinya sebagai subjek yang rentan, tergantung dan
berkembang.
c. Konvensi Anti Penyiksaan/CAT
(1998)
Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat membahas satu hak tunggal yang tercantum dalam DUHAM dan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Instrumen tersendiri
lainnya membahas dasar diskriminasi (seperti gender,ras) atau kelompok rentan
yang didefinisikan secara khusus (anak, pekerja migran dan lain-lain).
Indonesia telah mengesahkan Konvensi tersebut walaupun tidak mengesahkan
Protokol Opsionalnya.
d. Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD (1999)
ICERD merupakan sebuah
konvensi internasional yang membahas mengenai penghapusan dengan segera segala
bentuk diskriminasi rasial dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 4 Januari
1949. Prinsip dasar ICERD adalah persamaan, dengan kata lain setiap orang lahir
dengan derajat yang sama. Pelaksanaan ICERD ini harus dijamin oleh setiap
negara yang meratifikasinya melalui hukum dan peraturan yang dibuat berkenaan
dengan implementasi di negaranya. ICERD terinspirasi oleh beberapa konvensi
pendahulu seperti konvensi anti diskriminasi pada buruh (1958) dan konvensi
anti diskriminasi dalam pendidikan (1960). Sehingga ICERD ini lebih lebih
seperti gabungan dari konvensi-konvensi tersebut dengan cakupan yang lebih
menyeluruh dan kompleks.
e.
Kovenan Hak-Hak Sipil-Politik/ICCPR (2005)
ICCPR merupakan perjanjian
internasional yang teksnya dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1966. ICCPR mulai berlaku tahun 1976 setelah 35 negara meratifikasi.
Perlu dicatat, ICCPR hanya berlaku bagi negara-negara yang telah
meratifikasi.Substansi yang diatur dalam ICCPR intinya adalah penghormatan atas
HAM yang terkait dengan hak – hak sipil dan politik dan mewajibkan kepada
negara peserta untuk mentransformasikan ke dalam hukum nasional.
f.
Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/ICESCR (2005)
ICESCR adalah salah satu
konvensi internasional mengenai hak ekonomi,sosial dan budaya yang ditetapkan
oleh resolusi majelis umum no 2200 A pada 16 Desember 1966.Manusia berhak
mendapatkan hak asasinya dalam bidang ini asalkan tidak merampas dan mengganggu
hak-hak orang lain.Seperti yang dikatakan Rights
Based Theory,semua orang mempunyai hak yang melekat pada dirinya dan harus
dihormati oleh negara[1]. Secara legal formal pun,melalui
konvensi ini,negara harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini tanpa diskriminasi
dan mengambil segala langkah,baik individual maupun kerjasama dengan lembaga
atau negara lain,untuk membantu mewujudkan pelaksanaan hak ekonomi,sosial dan
budaya seperti yang tertulis di pasal 2 ayat 1 hingga 3[2].
Serta terdapat 4 perjanjian internasional
pendahulu yaitu :
1)
Persetujuan Internasional tanggal 18 Mei 1904 untuk penghapusan perdagangan budak
kulit putih (International Agreement for the Suppression of White Slave
Traffic). Dokumen ini diamandemen dengan protokol PBB pada
tanggal 3 Desember 1948.
2) Konvensi Internasinal tanggal 4 Mei 1910 untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih (International Convention for the Suppression of White Slave Traffic), diamandemen
dengan protokol tersebut di
atas.
3) Konvensi Internasional tanggal 30 September 1921 untuk
penghapusan perdagangan perempuan dan anak (Convention of on the Suppression of Traffic in Women and Children), diamandemen dengan protokol
PBB tanggal 20 Oktober 1947.
4) Konvensi Internasional tanggal 22 Oktober 1933 untuk penghapusan perdagangan perempuan dewasa (International Convention of the Suppression of the Traffic in Women of Full Age), diamandemen dengan protokol PBB tersebut
di atas.
Adapun larangan human trafficking secara internasional
telah banyak
instrumen yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen
internasional yang berkaitan dengan
masalah human trafficking. Instrumen – instrumen yang dimaksud yaitu
antara lain :
1)
Universal
Declaratin of Human Rights ;
2)
International
Covenant on Civil and Political
Rights;
3)
International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights;
4)
Convention on the Rights of
the Child and its Relevant Optional Protocol; 5)Convention Concerning the
Prohibiton and
Immediate Action
for
the
Elimination of the Worst Forums of Child Labour ( ILO
No. 182 );
6) Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination
Againts Women; 7)United
Nations protokol
to Suppress, Prevent, and Punish Trafficking in Against
Transnational Organized Crime;
8)SARC Convention on Combating Trafficking in Women and Children for Prostitusion.
D. TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM UPAYA
PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN HUMAN TRAFFICKING
Negara sebagai institusi yang memiliki legitimasi dan perangkat-perangkat yang
memungkinkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip HAM yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights (dan untuk selanjutnya disingkat Deklarasi HAM Internasional) dan memikul
tanggungjawab terbesar untuk melaksanakan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM. Tanggungjawab ini pada dasarnya ada
karena
negara dibentuk justru untuk menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip HAM. Dan instrumen-instrumen HAM yang dibentuk setelahnya, menegaskan bahwa
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
HAM adalah tanggungjawab negara. Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi tanggungjawab negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. Apabila negara membiarkan ketiadaan penegakan hukum atau bahkan menjadi
bagian dari pelanggaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan yang dikatakan
sebagai impunitas (impunity).
Tanggungjawab negara berkaitan dengan HAM adalah menghormati, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect, to fulfill) HAM. Tanggungjawab untuk menghormati HAM adalah
tanggungjawab negara untuk tidak
bertindak atau mengambil kebijakan yang bertentangan
dengan HAM. Tanggungjawab untuk melindungi
HAM
adalah tanggungjawab untuk mencegah,
menghentikan dan menghukum
setiap terjadinya pelanggaran HAM. Sedangkan tanggungjawab untuk memenuhi
HAM adalah kewajiban
negara untuk melaksanakan, memberikan menjamin pelaksanaan setiap hak-hak asasi melalui
tindakan dan kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian sebuah
kewajiban bagi negara untuk mencegah
terus terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagai bentuk dari pelanggaran
HAM, sebagaimana juga penting bagi negara
untuk menghukum atas terjadinya pelanggaran HAM dalam tindak pidana perdagangan orang serta memberikan perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangkan.
Mengingat bahwa
negaralah yang bertugas melaksanakan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM serta agar prinsip-prinsip dalam DUHAM yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum, maka perlu dibentuk
suatu perjanjian internasional tentang HAM. Khusus untuk perdagangan orang, masyarakat internasional telah memiliki Protokol PBB untuk mencegah, menindak dan menghukum
perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak
(United Nations
Protocol to Prevent,
Suppress and Punish
Trafficking in Persons,
Especially Women and Children) yang dirumuskan pada tahun 2000 atau dikenal juga sebagai Protokol Palermo. Protokol ini sifatnya melengkapi the United Nations
Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi).
Protokol Palermo ini mulai berlaku sejak tanggal 25 Desember 2003 dan dirancang untuk memperkokoh dan meningkatkan kerjasama internasional guna mencegah dan memerangi
perdagangan orang. Selain itu, Protokol ini juga dipromosikan untuk memperbaiki perlindungan dan bantuan bagi para korban.
Ada empat unsur kunci pada Protokol yang memperkuat tanggapan internasional terhadap perdagangan orang. Pertama,
menetapkan suatu definisi mengenai “perdagangan orang” yang jelas
berhubungan dengan eksploitasi, kerja paksa, perbudakan dan perhambaan yang menekankan kerentanan tertentu dari perempuan dan anak. Seorang anak didefinisikan sebagai setiap orang yang belum berusia 18 tahun.
Kedua, menawarkan alat bagi penegakan hukum, pengawasan perbatasan, dan pengadilan dengan mewajibkan negara-negara untuk melakukan
tindakan: mengkriminalkan perdagangan orang; mendukung kewajiban negara untuk menyelidiki, mengusut dan menghukum
pelaku kejahatan perdagangan orang; dan memperkuat pengawasan perbatasan dan penerbitan dokumen-dokumen perjalanan dan kontrol
kualitas. Ketiga,
memperluas cakupan perlindungan dan dukungan
dari negara bagi para korban dan para saksi dengan melakukan tindakan sebagai berikut: menjamin privasi dan keamanan; memberikan informasi dan tata cara hukum; memberikan pelayanan bagi pemulihan fisik dan psikologis; mengambil langkah-langkah guna menghindari deportasi yang segera; menjamin pemulangan korban secara aman; dan mengakui
persyaratan-persyaratan khusus bagi korban anak. Keempat, menegaskan strategi-strategi pencegahan termasuk pemberian informasi dan pendidikan bagi para korban,
petugas penegak hukum, petugas pemerintah lainnya dan masyarakat umum melalui riset bersasaran dan kampanye informasi antara lain strategi-strategi pencegahan.
Dalam menerapkan suatu kerangka HAM, ada sejumlah prinsip penting yang perlu diperhatikan, diantaranya bahwa HAM adalah bersifat universal, tidak dapat
dibagi, tidak dapat
dicabut, dan saling
tergantung karena semua hak sama
pentingnya. Pelanggaran HAM adalah penyebab sekaligus akibat dari perdagangan orang. Jadi adalah penting untuk meletakkan perlindungan terhadap semua HAM pada inti dari langkah-langkah apapun yang diambil
untuk mencegah dan mengakhiri perdagangan orang. Langkah-langkah anti- perdagangan tidak boleh memberikan efek yang merugikan
terhadap HAM dan harga diri seseorang, dan terutama,
hak-hak dari mereka
yang telah diperdagangkan, dan juga para migran.
Sebuah kerangka respon komprehensif harus mencakup Pencegahan perdagangan orang,
perlindungan atas
orang-orang yang diperdagangkan, dan penjatuhan hukuman kepada para pelaku perdagangan orang.
Rekomendasi PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Perdagangan Orang menegaskan bahwa strategi-
strategi yang ditujukan terhadap
pencegahan perdagangan orang harus memusatkan perhatian pada permintaan sebagai penyebab utama perdagangan orang. Selain itu, Negara-negara serta organisasi-organisasi antar-pemerintah harus menjamin bahwa intervensi mereka memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap perdagangan orang, termasuk ketidakadilan, kemiskinan dan semua bentuk diskriminasi.
Di sisi lain, hal tersebut di atas harus didukung dengan perundang-undangan yang mampu melindungi, mempromosikan dan memberikan pengaruh praktis pada hak-hak
orang yang diperdagangkan. Kebutuhan akan penyelarasan legislatif juga harus dicermati. Hal ini mengingat
bahwa sering kali adanya
ketidak selarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan
yang lainnya. Kurangnya penyelarasan legislatif telah diidentifikasikan sebagai halangan utama dalam penuntutan hukum dan upaya perlindungan yang efektif, menghalangi upaya apapun dalam kerjasama lintas-perbatasan
antara pihak berwenang nasional masing-masing di negara
asal, transit dan tujuan. Namun penyelarasan yang demikian tidak boleh terbatas semata-mata pada penafsiran atas hukum yang ada, tetapi
harus dilakukan dalam rangka standar-standar HAM internasional
dan regional.
Salah
satu hambatan dalam hal pemberantasan dan pencegahan perdagangan orang adalah kurangnya
perundang-undangan yang khusus dan/atau yang memadai tentang perdagangan orang di tingkat nasional yang dianggap sebagai salah
satu hambatan
penting dalam perang menentang
perdagangan orang. Ada kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan definisi hukum, prosedur
dan kerjasama pada tingkat nasional
dan regional sesuai
dengan standar internasional. Pembentukan suatu kerangka hukum yang tepat, dan konsisten
dengan perangkat dan standar internasional yang relevan akan sangat berguna dalam pencegahan perdagangan orang dan eksploitasi terkait.
Negara wajib mempertimbangkan untuk
menggunakan perundang-undangan nasional
yang sesuai dengan
standar internasional sehingga kejahatan perdagangan
orang terumuskan secara tepat di dalam hukum nasional dan pedoman terperinci diberikan mengenai berbagai elemennya yang
dapat dikenakan pidana.
Semua praktek-praktek yang tercakup dalam perumusan tentang perdagangan orang, seperti perhambaan karena hutang, kerja paksa dan pelacuran terpaksa, juga harus dijadikan tindak pidana. Perundang-undangan juga harus
secara
tepat diberlakukan, dimana pidana untuk badan- badan hukum atas kejahatan perdagangan orang disamping
pertanggungjawaban perseorangan. Juga penting untuk mengkaji
undang-undang, pengawasan dan usaha-usaha yang mungkin berfungsi sebagai kedok untuk perdagangan orang seperti misalnya biro jodoh, perusahaan jasa tenaga
kerja, perusahaan jasa perjalanan, hotel dan pelayanan pengantar.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a)
Saat ini bentuk – bentuk
dari tindak pidana
perdagangan orang banyak
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dimana bentuk dari perdagangan orang yang paling mengerikan yakni implantasi organ, dimana organ tubuh
seseorang diambil untuk diperjualbelikan di pasar internasional seperti
ke daerah Malaysia,
Belanda, Swedia, Prancis dan lain sebagainya. Hal ini merupakan perbuatan yang sangat tidak manusiawi lagi apabila
dilihat masa sekarang yang sudah menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Begitu juga dengan banyaknya
faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan faktor utama dari tindakan
perdagangan manusia
(baik korban maupun
pelaku) adalah faktor
ekonomi. Faktor inilah
yang paling banyak dialami yakni dari kesaksian para korban tindak pidana perdagangan orang yang mengatakan faktor keuanganganlah yang menyebabkan mereka
akhirnya terjerumus
kedalam tindak
pidana
perdagangan orang. Serta
adanya dampak atau akibat dari perdagangan orang terhadap
korban sangat
kompleks, yakni para korban banyak sekali yang mengalami
traumatis merenggut perasaan kendali
diri individu yang sering mengarah
kepada perasaan
tidak nyaman dan kurang aman yang menyeluruh dan mendalam,
serta korban telah secara paksa dipisahkan dari sistem lingkungan dan kekerabatan mereka – sehingga
wilayah keselamatan serta keamanan
mereka telah dilanggar. Mereka mungkin juga telah diancam
oleh pelaku agar tidak menceritakan pengalaman mereka. Hal ini menyebabkan mereka sulit
untuk mempercayai orang lain dan berbicara
mengenai pengalaman mereka.
b)
Di Indonesia, perdagangan orang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Namun, karena tiadanya undang-undang yang komprehensif dengan hukum penegakan dan ditambah
dengan kurangnya kepekaan pejabat pemerintah serta kesadaran masyarakat, kejahatan ini terus menjadi
persoalan dan tantangan utama yang dihadapi
oleh pemerintah dan masyarakat. perdagangan
orang di Indonesia menjadi permasalahan yang sangat penting untuk
di bahas, mengingat
bahwa banyak warga Indonesia
yang menjadi objek dari perdagangan orang itu sendiri sehingga perlu adanya upaya terpadu dari semua pihak, terutama pihak pemerintah.
c) Pemerintah R.I. telah mengesahkan
dalam bentuk ratifikasi / ratification sejumlah instrumen HAM
internasional utama ke dalam sistem hukum Indonesia misalnya CEDAW, CRC, CAT, ICERD, ICCPR, ICESCR.
d)
Saat ini, masyarakat internasional telah memiliki Protokol PBB untuk mencegah, menindak dan menghukum
perdagangan orang, terutama perempuan dan anak- anak
(United Nations Protocol to
Prevent, Suppress
and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children) tahun 2000 atau dikenal juga sebagai Protokol Palermo. Protokol ini sifatnya melengkapi the United Nations
Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi).
B. SARAN
a)
Sebaiknya seluruh Pemerintah Daerah baik itu di tingkat
Provinsi, Kabupaten
dan Kota di Indonesia membuat peraturan daerah (Perda) tentang penanganan dari tindak pidana
perdagangan orang
sesuai dengan nilai – nilai budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut, sehingga korban – korban
yang ada di setiap daerah dapat terlindungi dan dapat kembali
ke kehidupan masyarakat sekitarnya dan kepada pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat terus mengikuti
perkembangan yang ada didalam masyarakat mengenai perdagangan orang baik itu hal – hal yang belum terjangkau oleh undang – undang yang berlaku dengan melakukan
perubahan – perubahan terhadap undang – undang yang ada.
b)
Dalam melakukan peningkatan kapasitas di kalangan penegak hukum dan pelaksana kebijakan, Pemerintah perlu
untuk memasukkan muatan pemahaman akan HAM dan
prinsip-prinsipnya. Sehingga nilai-nilai HAM bisa terintegrasi di dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pelaksana kebijakan lainnya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
c)
Menjalin kerjasama dengan negara transit dan negara penerima/tujuan untuk menghormati hak-hak buruh migran dan tidak memperlakukan mereka yang passportnya hilang/ditahan majikan sebagai imigran gelap. Termasuk memberi kesempatan kepada buruh migran untuk tetap berada di negara penerima dan memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang
layak.
d)
Memperkuat
jaringan non- pemerintah anti perdagangan orang secara nasional maupun internasional agar perlindungan perempuan dari perdagangan orang sesuai dengan standar
HAM.
e)
Memperkuat pendokumentasian (database) tentang tindak pidana perdagangan perempuan dan anak dari berbagai
pihak sebagai bahan advokasi
kebijakan pemerintah dan bahan kampanye
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar