BAB V
PENGATURAN HAM
NASIONAL
Pengaturan HAM dalam Hukum Positif Indonesia
Perkembangan teori dan praktek
perlindungan hak asasi manusia telah melewati jalan yang cukup panjang. Para
ahli biasa membagi tahap perkembangan hak asasi manusia dalam tiga generasi
sesuai dengan pengelompokan menurut bidang-bidang yang dianggap memiliki
kesamaan.
·
Hak asasi manusia generasi pertama
mencakup hak-hak sipil dan politik;
·
Hak asasi manusia generasi kedua
mencakup hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya;
·
Hak asasi manusia generasi ketiga mencakup
hak-hak yang bersifat individual dan kolektif, termasuk didalamnya konsep tentang
hak atas pembangunan (Right to Develompment).
Pada
perkembangannya, pengertian-pengertian hak asasi manusia selain dari
tiga generasi diatas yang dinamakan sebagai hak asasi manusia generasi keempat. Konsepsi HAM
generasi keempat yang berkaitan dengan hak konsumen ketika berhadapan dengan
produsen yang memiliki pengaruh dominan dalam pola kehidupan pasar.
Persepektif baru ini cukup urgen
untuk diperhatikan dan dipromosikan, mengingat aktor yang menentukan
keseimbangan yang diidealkan kehidupan kolektif dewasa ini, bukan hanya negara
(state, tetapi juga para pemain di pasar (market) dan para aktor dikalangan
masyarakat madani. Para aktor negara bernama organ-organ negara, para aktor di
pasar bernama pengusaha atau business institution, dan para aktor dilingkungan
civil society adalah kelompok-kelompok, organisasi-organisasi kemsyarakatan dan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketiganya harus sama-sama diperkuat secara
seimbang, dan harus secara tegas dilarang untuk saling menindas satu sama
lainnya.
Hak asasi manusia pada generasi
pertama berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil mencakup :
Hak untuk
menentukan nasib sendiri, Hak untuk hidup, Hak untuk tidak dihukum mati, Hak untuk tidak disiksa,
Hak untuk tidak
ditahan secara sewenang-wenang, Hak atas
peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak.
Sedangkan
hak-hak politik antara lain mencakup :
Hak untuk
berekspresi atau menyampaikan pendapat,
Hak untuk
berkumpul, Hak untuk mendapatkan persamaan
perlakukan didepan hokum, Hak untuk memilih dan dipilih
Hak-hak asasi
manusia generasi kedua berkenaan dengan hak-hak dibidang ekonomi, sosial, dan
budaya. Hak –hak yang menyangkut hak sosial dan ekonomi antara lain :
Hak untuk
bekerja, Hak untuk mendapatkan upah yang sama, Hak untuk tidak dipaksa bekerja, Hak untuk cuti,
Hak atas
makanan, Hak atas perumahan, Hak atas kesehatan,
Hak atas
pendidikan
Sedangkan hak
asasi dibidang budaya antara lain :
·
Hak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan kebudayaan
·
Hak untuk menikmati kemajuan ilmu
pengetahuan
·
Hak untuik memperoleh perlindungan
atas hasil karya cipta (hak cipta)
Konsepsi HAM
terus mengalami pertumbuhan, dan sekarang telah berada pada tahap yang disebut dengan
generasi ketiga, yaitu berkaitan dengan pengertian hak-hak dalam pembangunan
(the rights to development). Hak-hak dalam bidang ini mencakup :
·
Hak untuk memperoleh lingkungan hidup
yang sehat
·
Hak untuk memperoleh perumahan yang
layak
·
Hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai
Pada era Orde
Baru, pemerintah seakan-akan bersikap anti terhadap eksistensi suatu piagam hak
asasi manusia. Setiap pertanyaan yang mengarah kepada perlunya piagam hak asasi
manusia, cenderung untuk dijawab bahwa piagam semacam itu (pada saat itu) tidak
dibutuhkan, karena masalah hak asasi manusia telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Sehingga tak
heran, era orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah tercatat
banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara
otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan
pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya.
Pada masa orde
baru, kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal
tersebut jelas nampak dalam sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI
di tahun 1965-1967, peristiwa Priok, dan penahanan serta penculikan aktivis partai
pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam kasus pembunuhan aktivis
buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo, dan pembunuhan 4 petani di waduk
Nipah Sampang. Bahkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan
data pada triwulan pertama 1998 telah terjadi 1.629 pelanggaran HAM yang
fundamental yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak dapat dikurangi di 12
propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak tersebut adalah hak atas hidup, hak
bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas
dari pemusnahan seketika, dan hak bebas dari penghilangan paksa.
Pada era
reformasi, meskipun masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM warisan orde baru
yang belum jelas penyelesaiannya, setidaknya sudah terlihat ada upaya
pemerintah untuk mengakomodir hak asasi manusia kedalam serangkaian proses
legislasi. Sebelum bergulirnya amandemen konstitusi, pemerintah (pada masa B.J
Habibie) telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga
tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah
konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai
derivasi dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas
terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai
dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan
dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang
mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati
yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya
juga tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia,
seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil
and Political Rights (ICCPR)[17], International Covenan on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESR), International Convention on the Rights of Child, dan
sebagainya.
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang
terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 yang mengatur tentang kewenangan dan
fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. Jadi jika sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan
Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan
tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal
103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi
hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi
manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga
mengamanatkan pembentukanPengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk
paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang
tersebut (Bab IX).
HAM dalam UUD 1945 Pasca Reformasi
Memasukkan
nilai-nilai dan ketentuan tentang hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal
konstitusi merupakan salah satu ciri konstitusi modern. Setidaknya, dari 120-an
konstitusi di dunia, ada lebih dari 80 persen diantaranya yang telah memasukkan
pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan
ini sesungguhnya merupakan konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai
bagian dari komunitas internasional, utamanya melalui organ Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Demikian juga
adanya peralihan rezim dari orde baru ke reformasi, sedikit banyaknya membawa
perubahan mendasar terhadap konstitusi republik Indonesia. Bahkan perubahan UUD
1945 telah dianggap sebagai puncak aspirasi gerakan reformasi itu sendiri.
Konsepsi HAM yang sebelumnya tidak tercantum secara tegas dalam UUD 1945,
setelah perubahan kedua pada tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia
dan hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat
mendasar. Meskipun dalam prosesnya diwarnai perdebatan seputar isu mengenai hak
bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity
principle) yakni pasal 28 I UUD 1945.
Masuknya
ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis
pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai
“sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di
masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya adalah bahwa pasal tersebut
dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu untuk menghindari
tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi
senjata yang tak dapat digunakan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM di masa
lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya
pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia,
khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP).
Terlepas dari
kontroversi yang dipaparkan di atas, amandemen kedua tentang Hak Asasi Manusia
merupakan sebuah prestasi yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca
Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini
dalam memperjuangkan jaminan perlindungan konstitusional hak asasi manusia di
dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada
masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi
manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa
betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal
dalam budaya Indonesia.
Materi yang semula hanya berisi tujuh butir ketentuan
jaminan terhadap hak asasi manusia pada UUD sebelum amandemen, sebanarnya tidak
sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan terhadap HAM. Melalui amandemen kedua,
perumusan jaminan hak asasi manusia jauh lebih baik, lebih lengkap dan menjadikan
UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya perubahan kedua UUD
1945 pada tahun 2000, dan apabila meterinya digabung dengan berbagai ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaam dengan hak asasi manusia,
Jimly membagi dari keseluruhan norma hukum mengenai hak asasi manusia kedalam
empat kelompok yang memuat 37 butir ketentuan.
Kelompok
pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi :
Setiap orang berhak hidup, mempertahankan
hidup dan kehidupannya;
Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat kemanusiaan;
Setiap orang berhak untuk bebas dari segala
bentuk perbudakan;
Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya;
Setiap orang berhak untuk bebas memiliki
keyakinan, pikiran dan hati nurani;
Setiap orang berhak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum;
Setiap orang berhak atas perlakuan yang
sama dihadapan hukum dan pemerintahan;
Setiap orang berhak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut ;
Setiap orang berhak untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keuturunan melalui perkawinan yang sah;
Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan;
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal
di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
Setiap orang berhak memperoleh suaka
politik;
Setiap orang berhak bebas dari segala
bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok
hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi :
Setiap warga negara berhak untuk berserikat
(freedom of association), berkumpul (freedom of peaceful assembly), dan
menyatakan pendapatnya secara damai (freedom of expression);
Setiap warga berhak untuk memilih dan dipilih
dalam pemilihan umum;
Setiap warga negara dapat diangkat untuk
menduduki jabatan-jabatan publik;
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; dan mendapat imbalan dan
mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi;
Setiap warga negara berhak atas jaminan
sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya
sebagai manusia yang bermartabat;
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi;
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pendidikan dan pengajaran;
Setiap orang berhak mengembangkan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya untuk
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
Negara menjamin atas penghormatan identitas
budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa-bangsa;
Negara mengakui setiap budaya sebagai
bagian dari kebudayaan nasional;
Ketiga,
kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi :
Setiap warga negara yang menyandang masalah
sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup dilingkungan
terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan yang sama;
Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk
mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
Hak khusus yang melekat pada diri perempuan
yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
Setiap anak berhak atas kasih sayang,
perhatian dan perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara bagi
pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
Setiap warga negara berhak untuk
berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh
dari kekayaan alam;
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat;
Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus
yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang
sah, yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu
yang mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam
masyakarat dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian
diskriminatif.
Keempat,
kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi
manusia yang meliputi :
Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara;
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan
nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan dam ketertiban umum dalam
masyarakat yang demokratis;
Negara bertanggung jawab atas perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
Untuk menjamin pelaksanaan hak-hak asasi
manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen
dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur
undang-undang.
Disamping Pasal
28 A sampai dengan Pasal 28 J UUD 1945 pasca amandemen, ada juga beberapa pasal
yang dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia, yakni pasal 29 Ayat (2) :
Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal tersebut
dianggap Jimly sebagai pasal yang paling memenuhi syarat untuk disebut sebagai
pasal hak asasi manusia yang diwarisi dari naskah asli UUD 1945. Sedangkan
ketentuan lainnya seperti Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 30 Ayat
(1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebelum perubahan
bukanlah ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam arti sebenarnya,
melainkan hanya berkaitan dengan pengertian hak warga negara.
Pasal 27 Ayat
(1) menentukan :
Segala warga
negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dan dalam ayat
(2) ditentukan :
Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 30 ayat
(1) menentukan :
Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha perthanan dan keamanan negara.
Pasal 31 ayat
(1) menentukan :
Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan.
Ketentuan
diatas terkait dengan warga negara, bukan kepada seluruh manusia yang hidup di
wilayah negara Indonesia. Dengan kata lain, keberadaan warga negara asing tidak
terlindungi atau terkomodir dalam ketentuan-ketentuan tersebut. Ketentuan
mengenai warga negara jelas berbeda dari hak asasi yang berlaku bagi semua
manusia, terlepas dari apa status kewarganegaraannya. Meskipun yang
bersangkutan berkwarganegaraan asing, sepanjang yang bersangkutan hidup dan
tinggal berada diwilayah hukum Republik Indonesia, maka hak-hak dasarnya
sebagai manusia wajib dihormati dan dilindungi, karena yang bersangkutan
memiliki hak-hak yang wajib dihormati.
Pasal 28 UUD
1945 sebelum perubahan juga sebenarnya lebih tidak tegas lagi dalam memberikan
jaminan konstitusional hak asasi manusia, melainkan hanya menyatakan bahwa
jaminan itu akan diatur atau ditetapkan dengan undang-undang. Pasal ini
merupakan rumusan asli UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Substansi
ketentuan tersebut kemudian termuat juga dalam Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945
yang menentukan :
Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Mengenai
ketentuan pasal 28 yang merupakan redaksi asli UUD 1945 sebelum amandemen,
Jimly berpendapat bahwa sebaiknya pasal 28 tersebut tidak perlu dicantumkan
lagi dan diganti seluruhnya dengan pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J.
HAM dalam Peraturan
Perundang-undangan
Perkembangan
pergaulan internasional baik yang bersifat bilateral maupun global sangat berdampak
pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia. Hal ini disebabkan karena
semakin meningkatnya teknologi informasi dan komunikasi yang membuat dunia kian
egaliter dan tanpa batas. Dalam masyarakat internasional, perjanjian
internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan
dan pergaulan antar negara.
Oleh karenanya
perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia di dunia internasional juga
membawa dampak yang begitu besar bagi Indonesia dalam rangka melakukan
serangkaian legislasi kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan, perlindungan
dan penegakan hak asasi manusia.
Perjanjian
internasional tersebut pada hakikatnya merupakan sumber hukum internasional
yang utama, yakni instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan
persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai
tujuan bersama[54]. Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua
perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum
internasional yang berisi ketentuan–ketentuan yang mempunyai akibat hukum. Perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar akan menimbulkan
kewajiban– kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta (para pihak), dan
kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt
Servanda, yang mewajibkan negara–negara untukmelaksanakan dengan itikad baik
kewajiban– kewajibannya.
Namun demikian
perbincangan mengenai eksistensi hukum internasional seringkali diletakkan
dalam konteks dua ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis (monistic
school). Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai
dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran
yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral dari
sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam praktiknya masih tumpang
tindih, biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan
Amerika Serikat. Tetapi jika kita lihat, hanya Amerika Serikat yang secara
tegas menyatakan dalam konstitusinya bahwa “all treaties made or which shall be
made, under the Authority of the United States, shall be the supreme Law of the
Land; and the judges in every State shall be bound thereby”.Hal inilah yang
membedakan dengan Indonesia, Indonesia sepertinya lebih dekat dengan ajaran
yang pertama, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945,
[58] yakni mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam
hukum nasional terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses
perundang-undangan domestik. Proses ini yang kemudian kita kenal dengan istilah
ratifikasi atau aksesi.
Proses
pengesahan perjanjian internasional juga telah diatur secara tersendiri dalam
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-unadang ini
mengatur mekanisme pengesahan konvensi internasional yang dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya dalam bentuk ratifikasi (ratification),
aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval)[59].
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, disebutkan bahwa dalam praktiknya ada dua macam pengesahan
perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan undang-undang dan keputusan
presiden. Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional (akan
diratifikasi dengan Undang- undang atau dengan keppres), dilihat dari substansi
atau materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama (nonmenclature)
perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian
hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan
Undang – undang[60].
Meskipun
Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat
sebagaimana terumuskan dalam konstitusi, Indonesia tetap dipandang perlu untuk
mengikatkan diri dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia.
Melalui pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian
dari hukum nasional (supreme law of the land), juga memberikan landasan legal
kepada warga negaranya untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi
manusia internasional, apabila ia (warga negara) merasa bahwa mekanisme
domestik telah mengalami exhausted (mentok).[61]
Sejak tahun
1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)
untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya
RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Melalui
RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003, telah disusun
skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumen-instrumen hak
asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua
(2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut
ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi
Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran
dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang
Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv)
Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau
rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri
dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
Sebagaimana
dipaparkan diatas, bahwa disamping termuat baik dalam UUD 1945 pasca amandemen
maupun UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jaminan konstitusional
dan legal hak asasi manusia juga telah diatur dalam beberapa undang-undang yang
merupakan hasil dari ratifikasi terhadap sejumlah konvensi internasional.
Indonesia telah mengadopsi sebagian besar instrumen normatif tentang hak asasi
manusia menjadi bagian dari hukum nasional. Dapat dikatakan bahwa berbagai
norma hak asasi manusia itu telah dituangkan kedalam sistem hukum nasional
melalui berbagai instrumen sebagai berikut :
1. UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi (International Convention on
The Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
2. UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
3. UU No. 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Pekerja Secara Paksa (ILO Convention
No. 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour)
4. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja (ILO Convention No.
105 Concerning Minimum Age For Admission to Employment)
5. UU No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO No. 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan (ILO Convention No.111
Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation)
6. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
7. UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan
Pengesahan Convention on the Political Rights of Women.
8. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan
Geneva Convention For The Amelioration of The Wounded and Sick in Armed Forces
in The field.
9. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan
Geneva Convention for the Amelioration of The Condition of the wounded and
Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, 1949.
10. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan
Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War, 1949
11. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Geneva
Convention Relative to the Protection of Civilian Peons in Time of War, 1949
12. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966
13. UU No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convenant Civil and Political Rights, 1966
14. UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan
International Convention For The Supression of The Financing of The Terorism,
1999
15. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Convention Againts Corruption, 2003
16. UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan
UU No. 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
17. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
18. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
19. UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
20. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia
21. Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
22. Keputusan Presiden No. 129 Tahun 1998
tentang Remcana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998”2003
23. Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004”2009
24. Dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar