Rabu, 02 Agustus 2017

MATERI MATA KULIAH HAK ASASI MANUSIA (HAM) BAB V



BAB V
PENGATURAN HAM NASIONAL

Pengaturan HAM dalam Hukum Positif Indonesia
Perkembangan teori dan praktek perlindungan hak asasi manusia telah melewati jalan yang cukup panjang. Para ahli biasa membagi tahap perkembangan hak asasi manusia dalam tiga generasi sesuai dengan pengelompokan menurut bidang-bidang yang dianggap memiliki kesamaan.
·        Hak asasi manusia generasi pertama mencakup hak-hak sipil dan politik;
·        Hak asasi manusia generasi kedua mencakup hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya;
·        Hak asasi manusia generasi ketiga mencakup hak-hak yang bersifat individual dan kolektif, termasuk didalamnya konsep tentang hak atas pembangunan (Right to Develompment).

Pada perkembangannya, pengertian-pengertian hak asasi manusia selain dari tiga generasi diatas yang dinamakan sebagai hak asasi manusia generasi keempat. Konsepsi HAM generasi keempat yang berkaitan dengan hak konsumen ketika berhadapan dengan produsen yang memiliki pengaruh dominan dalam pola kehidupan pasar.

Persepektif baru ini cukup urgen untuk diperhatikan dan dipromosikan, mengingat aktor yang menentukan keseimbangan yang diidealkan kehidupan kolektif dewasa ini, bukan hanya negara (state, tetapi juga para pemain di pasar (market) dan para aktor dikalangan masyarakat madani. Para aktor negara bernama organ-organ negara, para aktor di pasar bernama pengusaha atau business institution, dan para aktor dilingkungan civil society adalah kelompok-kelompok, organisasi-organisasi kemsyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketiganya harus sama-sama diperkuat secara seimbang, dan harus secara tegas dilarang untuk saling menindas satu sama lainnya.

Hak asasi manusia pada generasi pertama berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil mencakup :
Hak untuk menentukan nasib sendiri, Hak untuk hidup, Hak untuk tidak dihukum mati, Hak untuk tidak disiksa, Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang, Hak atas peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak.
Sedangkan hak-hak politik antara lain mencakup :
Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat, Hak untuk berkumpul, Hak untuk mendapatkan persamaan perlakukan didepan hokum, Hak untuk memilih dan dipilih
Hak-hak asasi manusia generasi kedua berkenaan dengan hak-hak dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Hak –hak yang menyangkut hak sosial dan ekonomi antara lain :
Hak untuk bekerja, Hak untuk mendapatkan upah yang sama, Hak untuk tidak dipaksa bekerja, Hak untuk cuti, Hak atas makanan, Hak atas perumahan, Hak atas kesehatan, Hak atas pendidikan
Sedangkan hak asasi dibidang budaya antara lain :
·         Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
·         Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
·         Hak untuik memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)

Konsepsi HAM terus mengalami pertumbuhan, dan sekarang telah berada pada tahap yang disebut dengan generasi ketiga, yaitu berkaitan dengan pengertian hak-hak dalam pembangunan (the rights to development). Hak-hak dalam bidang ini mencakup :
·         Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
·         Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
·         Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai

Pada era Orde Baru, pemerintah seakan-akan bersikap anti terhadap eksistensi suatu piagam hak asasi manusia. Setiap pertanyaan yang mengarah kepada perlunya piagam hak asasi manusia, cenderung untuk dijawab bahwa piagam semacam itu (pada saat itu) tidak dibutuhkan, karena masalah hak asasi manusia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sehingga tak heran, era orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah tercatat banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya.
Pada masa orde baru, kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas nampak dalam sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967, peristiwa Priok, dan penahanan serta penculikan aktivis partai pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo, dan pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang. Bahkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data pada triwulan pertama 1998 telah terjadi 1.629 pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak dapat dikurangi di 12 propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak tersebut adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari pemusnahan seketika, dan hak bebas dari penghilangan paksa.
Pada era reformasi, meskipun masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM warisan orde baru yang belum jelas penyelesaiannya, setidaknya sudah terlihat ada upaya pemerintah untuk mengakomodir hak asasi manusia kedalam serangkaian proses legislasi. Sebelum bergulirnya amandemen konstitusi, pemerintah (pada masa B.J Habibie) telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai derivasi dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya juga tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR)[17], International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR), International Convention on the Rights of Child, dan sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut. Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 yang mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi jika sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukanPengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).

HAM dalam UUD 1945 Pasca Reformasi
Memasukkan nilai-nilai dan ketentuan tentang hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salah satu ciri konstitusi modern. Setidaknya, dari 120-an konstitusi di dunia, ada lebih dari 80 persen diantaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas internasional, utamanya melalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Demikian juga adanya peralihan rezim dari orde baru ke reformasi, sedikit banyaknya membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi republik Indonesia. Bahkan perubahan UUD 1945 telah dianggap sebagai puncak aspirasi gerakan reformasi itu sendiri. Konsepsi HAM yang sebelumnya tidak tercantum secara tegas dalam UUD 1945, setelah perubahan kedua pada tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Meskipun dalam prosesnya diwarnai perdebatan seputar isu mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28 I UUD 1945.
Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya adalah bahwa pasal tersebut dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP).
Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, amandemen kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan sebuah prestasi yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan jaminan perlindungan konstitusional hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
Materi yang semula hanya berisi tujuh butir ketentuan jaminan terhadap hak asasi manusia pada UUD sebelum amandemen, sebanarnya tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan terhadap HAM. Melalui amandemen kedua, perumusan jaminan hak asasi manusia jauh lebih baik, lebih lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dan apabila meterinya digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaam dengan hak asasi manusia, Jimly membagi dari keseluruhan norma hukum mengenai hak asasi manusia kedalam empat kelompok yang memuat 37 butir ketentuan.
Kelompok pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi :
    Setiap orang berhak hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
    Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan  merendahkan martabat kemanusiaan;
    Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
    Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
    Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani;
    Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum;
    Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan;
    Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut ;
    Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keuturunan melalui perkawinan yang sah;
    Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
    Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
    Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
    Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi :
    Setiap warga negara berhak untuk berserikat (freedom of association), berkumpul (freedom of peaceful assembly), dan menyatakan pendapatnya secara damai (freedom of expression);
    Setiap warga berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum;
    Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
    Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; dan mendapat imbalan dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
    Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
    Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
    Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
    Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
    Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
    Negara menjamin atas penghormatan identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
    Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi :
    Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup dilingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
    Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
    Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
    Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
    Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari kekayaan alam;
    Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

    Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah, yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyakarat dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminatif.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi :
    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara;
    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan dam ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
    Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
    Untuk menjamin pelaksanaan hak-hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur undang-undang.
Disamping Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J UUD 1945 pasca amandemen, ada juga beberapa pasal yang dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia, yakni pasal 29 Ayat (2) :
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal tersebut dianggap Jimly sebagai pasal yang paling memenuhi syarat untuk disebut sebagai pasal hak asasi manusia yang diwarisi dari naskah asli UUD 1945. Sedangkan ketentuan lainnya seperti Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebelum perubahan bukanlah ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam arti sebenarnya, melainkan hanya berkaitan dengan pengertian hak warga negara.
Pasal 27 Ayat (1) menentukan :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dan dalam ayat (2) ditentukan :
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 30 ayat (1) menentukan :
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha perthanan dan keamanan negara.
Pasal 31 ayat (1) menentukan :
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Ketentuan diatas terkait dengan warga negara, bukan kepada seluruh manusia yang hidup di wilayah negara Indonesia. Dengan kata lain, keberadaan warga negara asing tidak terlindungi atau terkomodir dalam ketentuan-ketentuan tersebut. Ketentuan mengenai warga negara jelas berbeda dari hak asasi yang berlaku bagi semua manusia, terlepas dari apa status kewarganegaraannya. Meskipun yang bersangkutan berkwarganegaraan asing, sepanjang yang bersangkutan hidup dan tinggal berada diwilayah hukum Republik Indonesia, maka hak-hak dasarnya sebagai manusia wajib dihormati dan dilindungi, karena yang bersangkutan memiliki hak-hak yang wajib dihormati.
Pasal 28 UUD 1945 sebelum perubahan juga sebenarnya lebih tidak tegas lagi dalam memberikan jaminan konstitusional hak asasi manusia, melainkan hanya menyatakan bahwa jaminan itu akan diatur atau ditetapkan dengan undang-undang. Pasal ini merupakan rumusan asli UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Substansi ketentuan tersebut kemudian termuat juga dalam Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945 yang menentukan :
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Mengenai ketentuan pasal 28 yang merupakan redaksi asli UUD 1945 sebelum amandemen, Jimly berpendapat bahwa sebaiknya pasal 28 tersebut tidak perlu dicantumkan lagi dan diganti seluruhnya dengan pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J.

HAM dalam Peraturan Perundang-undangan
Perkembangan pergaulan internasional baik yang bersifat bilateral maupun global sangat berdampak pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya teknologi informasi dan komunikasi yang membuat dunia kian egaliter dan tanpa batas. Dalam masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.
Oleh karenanya perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia di dunia internasional juga membawa dampak yang begitu besar bagi Indonesia dalam rangka melakukan serangkaian legislasi kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
Perjanjian internasional tersebut pada hakikatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama, yakni instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama[54]. Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan–ketentuan yang mempunyai akibat hukum. Perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar akan menimbulkan kewajiban– kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta (para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara–negara untukmelaksanakan dengan itikad baik kewajiban– kewajibannya.
Namun demikian perbincangan mengenai eksistensi hukum internasional seringkali diletakkan dalam konteks dua ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis (monistic school). Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam praktiknya masih tumpang tindih, biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi jika kita lihat, hanya Amerika Serikat yang secara tegas menyatakan dalam konstitusinya bahwa “all treaties made or which shall be made, under the Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the judges in every State shall be bound thereby”.Hal inilah yang membedakan dengan Indonesia, Indonesia sepertinya lebih dekat dengan ajaran yang pertama, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945, [58] yakni mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses perundang-undangan domestik. Proses ini yang kemudian kita kenal dengan istilah ratifikasi atau aksesi.
Proses pengesahan perjanjian internasional juga telah diatur secara tersendiri dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-unadang ini mengatur mekanisme pengesahan konvensi internasional yang dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval)[59]. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, disebutkan bahwa dalam praktiknya ada dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan undang-undang dan keputusan presiden. Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional (akan diratifikasi dengan Undang- undang atau dengan keppres), dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama (nonmenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang – undang[60].
Meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat sebagaimana terumuskan dalam konstitusi, Indonesia tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Melalui pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila ia (warga negara) merasa bahwa mekanisme domestik telah mengalami exhausted (mentok).[61]
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
Sebagaimana dipaparkan diatas, bahwa disamping termuat baik dalam UUD 1945 pasca amandemen maupun UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jaminan konstitusional dan legal hak asasi manusia juga telah diatur dalam beberapa undang-undang yang merupakan hasil dari ratifikasi terhadap sejumlah konvensi internasional. Indonesia telah mengadopsi sebagian besar instrumen normatif tentang hak asasi manusia menjadi bagian dari hukum nasional. Dapat dikatakan bahwa berbagai norma hak asasi manusia itu telah dituangkan kedalam sistem hukum nasional melalui berbagai instrumen sebagai berikut :
    1. UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi (International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
    2. UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
    3. UU No. 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Pekerja Secara Paksa (ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour)
    4. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja (ILO Convention No. 105 Concerning Minimum Age For Admission to Employment)
    5. UU No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan (ILO Convention No.111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation)
    6. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
    7. UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Pengesahan Convention on the Political Rights of Women.
    8. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan Geneva Convention For The Amelioration of The Wounded and Sick in Armed Forces in The field.
    9. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan Geneva Convention for the Amelioration of The Condition of the wounded and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, 1949.
    10. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War, 1949
    11. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Peons in Time of War, 1949
    12. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966
    13. UU No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant Civil and Political Rights, 1966
    14. UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Supression of The Financing of The Terorism, 1999
    15. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Againts Corruption, 2003
    16. UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
    17. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
    18. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
    19. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
    20. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
    21. Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
    22. Keputusan Presiden No. 129 Tahun 1998 tentang Remcana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998”2003
    23. Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004”2009
    24. Dan lain sebagainya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar