Rabu, 02 Agustus 2017

MATERI MATA KULIAH HAK ASASI MANUSIA (HAM) BAB III



BAB III
TEORI DAN PRINSIP HAM

A.   TEORI HAM
Teori dapat berfungsi untuk menyediakan suatu alat analisis yang memungkinkan pertanyaan penting seperti di atas dapat diajukan dan jawaban tentatif dapat diberikan. Teori memungkinkan dibangunnyaparadigma yang memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai hak dan menyumbangkan suatu model yang dapat dipakai untuk mengkur hak-hak yang diandaikan itu. Teori juga menyediakan mekanisme yang dapat dipakai untuk menetapkan dengan tepat batas hak-hak yang eksistensinya telah disepakati.
Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan dalam agamaagama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengadaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan HAM, antara lain, yaitu:
1.       teori hak-hak kodrati (natural rights theory);
- HAM dimiliki setiap orang secara alami karena ia lahir sebagai manusia.
- HAM dapat berlaku secara universal.
- HAM tidak membutuhkan tindakan atau program dari pihak lain, apakah   individu, Kelompok, atau pemerintah.
2.       teori positivisme (positivist theory);
-          Menurut pandangan positivis,  HAM tidak keluar dari manapun, HAM telah dijamin oleh konstitusi, UU, atau kontrak. (Jeremy Bentham) “Right is a child of law; from real law come real rights, but from imaginary law, laws of nature, come imaginary rights. Natural rights is simply nonsense.
3.       teori relativisme budaya (cultural relativist theory).
-          Berpandangan bahwa tidak ada suatu HAM yang bersifat universal. Teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari identitas individu sebagai manusia. Berdasarkan teori ini,  tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban  membuat manusia menjadi berbeda. Maka, HAM pun tidak bisa diberlakukan secara universal, kecuali ketika manusia mengalami keadaan desosialisasi atau dekulturasi. Menolak teori tentang asal-usul HAM yang bersifat alami. Menurut mereka, negara atau kolektivitas merupakan tempat penyimpangan dari semua HAM, dan HAM individu baru dapat diakui jika diperkenankan oleh negara atau kelompok. Maka menurut pandangan Marxis, semua HAM didapatkan dari negara, dan tidak secara alami dimiliki oleh manusia berdasarkan atas kelahirannya.

B.     PRINSIP HAM

a.       Prinsip Kesetaraan
Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula.

b.      Prinsip Non Diskriminasi
Pelarangan terhadap diskriminasi non-diskriminasi merupakan salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Prinsip ini dikenal pula dengan nama prinsip nondiskriminasi. Dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu UDHR, ICCPR maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas.  bahkan sebelumnya, hal yang sama juga telah lebih dahulu ditegaskan dalam Piagam  PBB (United Nations Charter).

c. Prinsip Kewajiban Negara
Prinsip kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi logis dari adanya ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah pihak yang memegang HAM (right bearer) sedangkan negara berposisi sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk: melindungi (protect), menjamin (ensure) dan memenuhi (fulfill) HAM setiap individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar