BAB III
TEORI DAN
PRINSIP HAM
A.
TEORI HAM
Teori dapat berfungsi untuk menyediakan suatu alat
analisis yang memungkinkan pertanyaan penting seperti di atas dapat diajukan
dan jawaban tentatif dapat diberikan. Teori memungkinkan dibangunnyaparadigma
yang memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai hak
dan menyumbangkan suatu model yang dapat dipakai untuk mengkur hak-hak yang
diandaikan itu. Teori juga menyediakan mekanisme yang dapat dipakai untuk
menetapkan dengan tepat batas hak-hak yang eksistensinya telah disepakati.
Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak
ditemukan dalam agamaagama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan
(theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum
yang lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme
Being). Tentunya, teori ini mengadaikan adanya penerimaan dari doktrin yang
dilahirkan sebagai sumber dari HAM.
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan
persoalan HAM, antara lain, yaitu:
1. teori hak-hak
kodrati (natural rights theory);
- HAM dimiliki
setiap orang secara alami karena ia lahir sebagai manusia.
- HAM dapat berlaku secara universal.
-
HAM tidak membutuhkan tindakan atau program dari pihak lain, apakah individu, Kelompok, atau
pemerintah.
2. teori
positivisme (positivist theory);
-
Menurut pandangan positivis, HAM tidak keluar dari manapun, HAM telah
dijamin oleh konstitusi, UU, atau kontrak. (Jeremy Bentham) “Right is a child
of law; from real law come real rights, but from imaginary law, laws of nature,
come imaginary rights. Natural rights is simply nonsense.
3. teori
relativisme budaya (cultural relativist theory).
-
Berpandangan bahwa tidak ada suatu
HAM yang bersifat universal. Teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari
identitas individu sebagai manusia. Berdasarkan teori ini, tradisi yang berbeda dari budaya dan
peradaban membuat manusia menjadi
berbeda. Maka, HAM pun tidak bisa diberlakukan secara universal, kecuali ketika
manusia mengalami keadaan desosialisasi atau dekulturasi. Menolak teori tentang
asal-usul HAM yang bersifat alami. Menurut mereka, negara atau kolektivitas
merupakan tempat penyimpangan dari semua HAM, dan HAM individu baru dapat
diakui jika diperkenankan oleh negara atau kelompok. Maka menurut pandangan
Marxis, semua HAM didapatkan dari negara, dan tidak secara alami dimiliki oleh
manusia berdasarkan atas kelahirannya.
B. PRINSIP HAM
a. Prinsip Kesetaraan
Kesetaraan
mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus
diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada situasi yang
berbeda diperlakukan dengan berbeda pula.
b. Prinsip Non Diskriminasi
Pelarangan terhadap diskriminasi non-diskriminasi merupakan
salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka
seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif
yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Prinsip ini dikenal pula dengan nama
prinsip nondiskriminasi. Dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu
UDHR, ICCPR maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas. bahkan sebelumnya, hal yang sama juga telah
lebih dahulu ditegaskan dalam Piagam PBB
(United Nations Charter).
c. Prinsip
Kewajiban Negara
Prinsip
kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi logis dari adanya ketentuan
menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah pihak yang memegang HAM
(right bearer) sedangkan negara berposisi sebagai pemegang kewajiban (duty
bearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk: melindungi (protect), menjamin
(ensure) dan memenuhi (fulfill) HAM setiap individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar